Framing Kompas TV tidak Layak dikonsumsi Publik, Masyarakat Wajib Tabayun Kepada HTI
Dakwah Media - Menanggapi acara Kompas TV yang bertajuk “Jika Khilafah Berdiri, Apakah Pancasila Tetap Ada?” semalam, pada Senin (12/6) pukul 20.00 wib, sangat terlihat framing media yang tidak layak dikonsumsi publik. Karena pembahasan-pembahasan tentang ide Khilafah sudah banyak dibahas pada berbagai media atau forum yang menurut saya porsinya cukup. Namun acara semalam dibahas kembali dengan gaya yang bisa dibilang “sok Eksklusif” dengan berkunjung langsung ke Kantor HTI, yang pada ujungnya memakai pisau Pancasila, dan ISIS dalam kelicikan framing media.
Framing sendiri adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media.
Ada dua aspek dalam framing, yaitu memilih fakta dan menuliskan fakta. Kita coba bahas secara singkat aspek yang pertama saja, yaitu memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, seorang pewawancara (interviuwer) tidak mungkin melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Mengutip pernyataan dari Frank D. Durham, bahwa framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti. Tinggal, framing tersebut, apakah proporsional atau tidak?. Karena framing itu dibuat oleh salah satu media yang memang pro terhadap kekuasaan politik saat ini. Jika tidak proporsional, justru makna realitas akan membuat masyarakat semakin pecah dan mengandung unsur fitnah, yang ini merupakan kejahatan intelektual.
Benar saja, kembali isu ISIS dimunculkan, disandingkan cukup rapi dengan gagasan Khilafah. Kemudian memunculkan seolah-olah HTI “sebelas-dua belas” dengan ISIS, hanya ide pendirian khilafah oleh ISIS dengan cara kekerasan, dan dengan cara bom bunuh diri, sedangkan HTI memperjuangan khilafah dengan diplomasi, namun tetap satu ide, disinilah penekanannya.
Padahal sudah disampaikan secara tegas oleh Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI dalam berbagai forum, termasuk terkait ISIS dalam acara ILC TV One (25/03) pada tahun 2015 lalu, bahwa Hizbut Tahrir sudah memberikan pernyataan terkait sikapnya terhadap ISIS, yakni tidak mengakui keabsahan Khilafah yang dideklarasikan. Dan dengan penjelasan ini maka seluruh anggota Hizbut Tahrir, termasuk Hizbut Tahrir di Indonesia mempunyai sikap yang sama dalam persoalan ini, yakni tidak mengakui Khilafah yang dideklarasikan ISIS.
Hal ini menunjukkan dua hal, pertama apakah kekuasaan politik yang memanfaatkan frame media ataukah frame media yang mendukung secara “ikhlas” kekuasaan politik tertentu (read : pemerintah). Acara semalam seolah-olah ingin memperkuat opini yang dibangun oleh pemerintah ditengah-tengah masyarakat tentang HTI dan Khilafah. Namun, hal ini justru bagi kalangan yang kritis, acara semalam menunjukkan gambaran rezim yang terus-menerus berusaha meng-kriminalisasi ormas Islam beserta ide atau ajaran Islam (read : Khilafah). Maka dalam hal ini, masyarakat wajib untuk tabayyun secara kaffah terhadap HTI!.
Wallahu a'lam biashowab
Framing sendiri adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media.
Ada dua aspek dalam framing, yaitu memilih fakta dan menuliskan fakta. Kita coba bahas secara singkat aspek yang pertama saja, yaitu memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, seorang pewawancara (interviuwer) tidak mungkin melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Mengutip pernyataan dari Frank D. Durham, bahwa framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti. Tinggal, framing tersebut, apakah proporsional atau tidak?. Karena framing itu dibuat oleh salah satu media yang memang pro terhadap kekuasaan politik saat ini. Jika tidak proporsional, justru makna realitas akan membuat masyarakat semakin pecah dan mengandung unsur fitnah, yang ini merupakan kejahatan intelektual.
Benar saja, kembali isu ISIS dimunculkan, disandingkan cukup rapi dengan gagasan Khilafah. Kemudian memunculkan seolah-olah HTI “sebelas-dua belas” dengan ISIS, hanya ide pendirian khilafah oleh ISIS dengan cara kekerasan, dan dengan cara bom bunuh diri, sedangkan HTI memperjuangan khilafah dengan diplomasi, namun tetap satu ide, disinilah penekanannya.
Padahal sudah disampaikan secara tegas oleh Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI dalam berbagai forum, termasuk terkait ISIS dalam acara ILC TV One (25/03) pada tahun 2015 lalu, bahwa Hizbut Tahrir sudah memberikan pernyataan terkait sikapnya terhadap ISIS, yakni tidak mengakui keabsahan Khilafah yang dideklarasikan. Dan dengan penjelasan ini maka seluruh anggota Hizbut Tahrir, termasuk Hizbut Tahrir di Indonesia mempunyai sikap yang sama dalam persoalan ini, yakni tidak mengakui Khilafah yang dideklarasikan ISIS.
Hal ini menunjukkan dua hal, pertama apakah kekuasaan politik yang memanfaatkan frame media ataukah frame media yang mendukung secara “ikhlas” kekuasaan politik tertentu (read : pemerintah). Acara semalam seolah-olah ingin memperkuat opini yang dibangun oleh pemerintah ditengah-tengah masyarakat tentang HTI dan Khilafah. Namun, hal ini justru bagi kalangan yang kritis, acara semalam menunjukkan gambaran rezim yang terus-menerus berusaha meng-kriminalisasi ormas Islam beserta ide atau ajaran Islam (read : Khilafah). Maka dalam hal ini, masyarakat wajib untuk tabayyun secara kaffah terhadap HTI!.
Wallahu a'lam biashowab
Oleh : Septian Wahyu (Analis Nusantara Politic Watch, Koordinator FPMBI Kota Semarang)
0 Response to "Framing Kompas TV tidak Layak dikonsumsi Publik, Masyarakat Wajib Tabayun Kepada HTI"
Post a Comment