MENDADAK NULIS (Dr Zakir Naik 'VS' Ismail Yusanto)
Dakwah Media - Prolog
Saya Tachta Rizqi Yuandri, pelaku wirausaha kecil-kecilan yang mencoba peruntungan melalui berjualan tenda dan tas. Mulai Mei 2017 lalu, saya resmi meninggalkan pekerjaan saya sebagai salah satu jurnalis di Harian Umum Pikiran Rakyat (PR). Sebelum bekerja di PR, saya juga sempat menjadi reporter di TRANS 7 selama sekitar 1 tahun. Adapun di PR, saya sempat bekerja sekitar 5 tahun sebelum akhirnya resign atas keinginan sendiri.
Sebelum menjadi jurnalis, saya mengenyam pendidikan jurnalistik di Fikom Unpad. Karena IQ saya yang pas-pasan dan kuliah sering keteteran, saya pun baru lulus setelah sekitar 7 tahun (2 tahun dasar komunikasi dan 5 tahun jurnalistik) kuliah di tempat tersebut. Jadi hingga saat ini, masih lebih lama kuliah ketimbang bekerja sebagai jurnalis :-D.
Lulus dengan IPK di atas 3 sangat membanggakan bagi saya yang pernah mendapatkan IPK 1,8 pada pertengahan masa kuliah. Sebuah 7 tahun yang penuh petualangan. Jadi yang sekarang IPK masih 1 atau 2, tetap semangat dan jangan pernah menyerah :-D.
Yang menjadi catatan penting, baik sebagai jurnalis dan mahasiswa, prestasi saya tidak menonjol, alias biasa biasa saja. Akan tetapi, bagaimanapun, saya merasa terdorong untuk menyampaikan hal ini.
Analisis Singkat
Dr Zakir Naik
Sepanjang saya menjadi jurnalis dan bertemu ratusan narasumber, saya hanya luar biasa kagum terhadap satu orang, yakni Dr Zakir Naik (DZN). Saya melihat secara langsung bagaimana DZN selama sekitar 60 menit menjawab pertanyaan sejumlah wartawan Indonesia ketika konferensi pers di Hotel GH Universal, Bandung beberapa waktu lalu.
Yang saya kagumi adalah, bagaimana DZN secara fasih, ringkas, lugas, dan efektif dapat menjawab seluruh pertanyaan wartawan. Hal yang sangat jarang saya dapatkan sebagai seorang jurnalis. Otomatis, momen itu pun menjadi momen yang tidak terlupakan bagi saya. Saya juga sangat kagum dan terkejut ketika DZN melontarkan sejumlah pernyataan lugas terkait perlunya Umat Islam bersatu dan mendirikan Khilafah.
Itulah yang akhirnya memberanikan diri saya untuk memeluk dirinya mengatakan betapa saya sangat mengaguminya. Selama saya menjadi jurnalis, belum pernah saya bertemu dengan sosok luar biasa seperti DZN. Sebelumnya, kekaguman saya sebatas hanya menonton DZN di YouTube saja.
Ismail Yusanto
Hari ini, saya dibuat tercengang oleh salah satu narasumber asal Indonesia. Narasumber tersebut adalah Jubir HTI, Ismail Yusanto (IY). Alhamdulillah, saya memiliki kesempatan untuk menonton wawancara antara IY dengan Aiman melalui salah satu akun YouTube (pada saat itu belum dihapus). Konon kabarnya, video yang saya tonton adalah video versi full tanpa diedit.
Ada beberapa poin menarik yang menjadi perhatian saya ketika menyimak video berdurasi sekitar 38 menit 33 detik tersebut.
1. Selama sekitar 25 menit melakukan wawancara dengan Aiman, tidak satu kalipun saya melihat IY melakukan salah ucap atau meminta kru TV untuk melakukan ralat. Menonton video tersebut bagaikan menonton tayangan langsung seorang pembaca berita menggunakan teleprompter. Padahal, kalau IY mau, dia bisa saja berbicara seenaknya dan meminta bagian tertentu untuk di "cut". Tapi masya Allah, sedikitpun IY tidak melakukan hal itu.
Menurut saya, disanalah letak perbedaan antara narasumber yang sangat menjaga kehati-hatian dalam bertutur dengan narasumber yang kerap berbicara seenaknya dan akhirnya hanya bisa menyesal dan minta maaf.
Yang menarik adalah, justru pewawancara sendiri yang kerap melakukan salah ucap (menit 18 detik 15), bahkan meminta waktu khusus karena mungkin terdistraksi oleh adzan yang tengah berkumandang (menit 18 detik 25). Di Barat, mungkin Anda pernah mendengar istilah saved by the bell. Kali ini, pewawancara bisa sedikit menyusun pertanyaan sambil menunggu adzan (saved by The Adzan)
2. Menarik ketika IY menjawab pertanyaan terkait Pancasila dan Khalifah. Ada atau tidak adanya Pancasila ketika Khilafah tegak dan siapa Khalifah ketika Khilafah tegak, merupakan hal yang tidak bisa dijawab oleh HTI. Sebab, hal itu memang bukan domain HTI untuk menjawab. Hanya waktu yang bisa menjawab melalui sebuah proses perubahan yang ada dalam sebuah masyarakat.
Masih melekat dalam ingatan saya, banyaknya sindiran-sindiran terhadap orang yang sangat mudah menjawab dan berjanji. Jawaban dan janji tersebut sangat manis. Akan tetapi, ternyata waktu juga yang membuktikan janji tersebut hanya penarik suara dalam pemilu. Masyarakat mungkin lupa, tapi Allah tidak pernah lupa.
Mungkin Anda masih ingat terhadap seseorang yang pernah berjanji tidak akan menaikan TDL dan berjanji tidak akan menambah utang negara. Saat ini, Anda dapat menilai sendiri bagaimana sebuah janji hanya tinggal janji. Sekali lagi, waktu yang ternyata bisa menjawabnya. Sekali lagi, masyarakat mungkin lupa, tapi Allah tidak pernah lupa.
Adapun IY, tidak memanjakan pewawancara dan pemirsa dengan jawaban-jawaban instan yang bersifat manis. Tidak ada kepentingan IY untuk memberikan janji manis terhadap pewawancara atau pemirsa. Ketika tidak memiliki domain untuk menjawab, maka IY sampaikan hal tersebut apa adanya.
Apakah hal itu memiliki konsekuensi di mata pemirsa? Jelas. Tapi ada satu konsekuensi yang paling mendasar. Yakni konsekuensi dalam pandangan Allah. Alih-alih memanjakan pewawancara dan pemirsa dengan jawaban instan, IY memilih jawaban yang aman. Lebih tepatnya jawaban yang aman dari murka Allah, bukan jawaban yang aman dari penilaian Aiman. Jawaban apa adanya.
3. Usai wawancara, IY langsung mempersilakan kru TV untuk melaksanakan sholat di Mushola yang berada di lantai 2. Lalu sambil melepaskan clip on, IY juga menyempatkan diri meluruskan fitnah bahwa HTI dekat dengan ISIS. Bahkan menegaskan, justru ada sejumlah tokoh HT (di negara lain) yang dibunuh oleh ISIS.
Saya menilai, bahkan pada saat 'injury time' sempat-sempatnya IY melakukan dakwah terhadap para kru TV. Narasumber tersebut, IY, tetap berdakwah, baik di 'depan' maupun di 'belakang' kamera. Sungguh sebuah komunikasi beresensi, efektif, efisien, dan tetap santun.
Penutup
Penilaian saya mungkin berlebihan, mengingat prestasi ibadah dan prestasi akademis saya yang biasa-biasa saja, bahkan mungkin minim. Tapi entahlah, di mata saya, kedua sosok tersebut sangat saya kagumi.
Dengan segala keterbatasan, saya mencoba memberikan analisis singkat yang mungkin bisa berikan sedikit kontribusi pada Dakwah Islam. Lebih jauh lagi, memberikan sedikit hiburan bagi mereka yang mungkin sedikit kesal dengan framing yang dilakukan acara AIMAN di Kompas TV bertajuk Mendadak Khilafah.
Pesan
Saudaraku Yang Setia Membaca Tulisan Ini Sampai Menjelang Akhir, Ingatlah Ketiga Hal Ini
1. HTI Kampanyekan 'Haram Pemimpin Kafir'. Lalu HTI Dibully Habis Habisan. Akan Tetapi, HTI Istiqomah. Berikutnya, Tidak Sampai 2 Tahun, Pemimpin Kafir Itu Tumbang (Oleh Kesombongannya Sendiri)
2. HTI Dibubarkan. Acara acaranya Berusaha Digagalkan. Akan Tetapi, HTI Istiqomah. Berikutnya, Yusril Ihza Mahendra Dan Gerakan 1.000 Advokat Membela HTI. Belum Lagi Dukungan Dari Presidium 212 Dan Sejumlah Organisasi Islam Lainnya. Bahkan, Wiranto Pun Sampai Mengatakan Bahwa Kasus HTI Libur Dulu. Lebih Jauh Lagi, Profil HTI Berikut Idenya Tersebar Di Sejumlah Media Massa Nasional. Ini Adalah Iklan Dan Promosi Gratis Bernilai Ratusan Miliar Yang Belum Pernah Didapatkan HTI Sebelumnya. Saya Pribadi Dulu 'Mati Matian' Membuka Dialog Mengenai Syariah Dan Khilafah. Saat Ini, Justru Tidak Sedikit Orang Yang Bertanya Pada Saya Mengenai HTI, Syariah, dan Khilafah.
3. HTI disudutkan oleh acara AIMAN. Lalu, Apa Yang Akan HTI Lakukan? Tentu Saja Kita Harap Tetap Istiqomah. Dan Bila Anda Bersama HTI, Berarti Anda Juga Mesti Tetap Istiqomah. Kita Lihat, Apa Yang Akan Terjadi Ke Depan. Kesal Ya Boleh Boleh Saja, Manusiawi. Siapa Yang Tidak Kesal Dengan Framing Ala Media Massa Sekuler. Tapi Kekesalan Tersebut Mesti Berbuah Sesuatu. Saya Tidak Memiliki Keahlian Dalam Bidang Apapun, Kecuali Menulis. Maka Saya Lakukan Apa Yang Saya Bisa Untuk 'Menyerang' Balik.
Siapa Yang Sangka Adanya Acara AIMAN Ternyata Mendorong Saya Untuk Kembali Menulis Setelah Beberapa Pekan 'Libur' Dari Menulis.
Rabu 14 Juni 2017, 00.00 WIB
Oleh : Tachta Rizqi Yuandri
Saya Tachta Rizqi Yuandri, pelaku wirausaha kecil-kecilan yang mencoba peruntungan melalui berjualan tenda dan tas. Mulai Mei 2017 lalu, saya resmi meninggalkan pekerjaan saya sebagai salah satu jurnalis di Harian Umum Pikiran Rakyat (PR). Sebelum bekerja di PR, saya juga sempat menjadi reporter di TRANS 7 selama sekitar 1 tahun. Adapun di PR, saya sempat bekerja sekitar 5 tahun sebelum akhirnya resign atas keinginan sendiri.
Sebelum menjadi jurnalis, saya mengenyam pendidikan jurnalistik di Fikom Unpad. Karena IQ saya yang pas-pasan dan kuliah sering keteteran, saya pun baru lulus setelah sekitar 7 tahun (2 tahun dasar komunikasi dan 5 tahun jurnalistik) kuliah di tempat tersebut. Jadi hingga saat ini, masih lebih lama kuliah ketimbang bekerja sebagai jurnalis :-D.
Lulus dengan IPK di atas 3 sangat membanggakan bagi saya yang pernah mendapatkan IPK 1,8 pada pertengahan masa kuliah. Sebuah 7 tahun yang penuh petualangan. Jadi yang sekarang IPK masih 1 atau 2, tetap semangat dan jangan pernah menyerah :-D.
Yang menjadi catatan penting, baik sebagai jurnalis dan mahasiswa, prestasi saya tidak menonjol, alias biasa biasa saja. Akan tetapi, bagaimanapun, saya merasa terdorong untuk menyampaikan hal ini.
Analisis Singkat
Dr Zakir Naik
Sepanjang saya menjadi jurnalis dan bertemu ratusan narasumber, saya hanya luar biasa kagum terhadap satu orang, yakni Dr Zakir Naik (DZN). Saya melihat secara langsung bagaimana DZN selama sekitar 60 menit menjawab pertanyaan sejumlah wartawan Indonesia ketika konferensi pers di Hotel GH Universal, Bandung beberapa waktu lalu.
Yang saya kagumi adalah, bagaimana DZN secara fasih, ringkas, lugas, dan efektif dapat menjawab seluruh pertanyaan wartawan. Hal yang sangat jarang saya dapatkan sebagai seorang jurnalis. Otomatis, momen itu pun menjadi momen yang tidak terlupakan bagi saya. Saya juga sangat kagum dan terkejut ketika DZN melontarkan sejumlah pernyataan lugas terkait perlunya Umat Islam bersatu dan mendirikan Khilafah.
Itulah yang akhirnya memberanikan diri saya untuk memeluk dirinya mengatakan betapa saya sangat mengaguminya. Selama saya menjadi jurnalis, belum pernah saya bertemu dengan sosok luar biasa seperti DZN. Sebelumnya, kekaguman saya sebatas hanya menonton DZN di YouTube saja.
Ismail Yusanto
Hari ini, saya dibuat tercengang oleh salah satu narasumber asal Indonesia. Narasumber tersebut adalah Jubir HTI, Ismail Yusanto (IY). Alhamdulillah, saya memiliki kesempatan untuk menonton wawancara antara IY dengan Aiman melalui salah satu akun YouTube (pada saat itu belum dihapus). Konon kabarnya, video yang saya tonton adalah video versi full tanpa diedit.
Ada beberapa poin menarik yang menjadi perhatian saya ketika menyimak video berdurasi sekitar 38 menit 33 detik tersebut.
1. Selama sekitar 25 menit melakukan wawancara dengan Aiman, tidak satu kalipun saya melihat IY melakukan salah ucap atau meminta kru TV untuk melakukan ralat. Menonton video tersebut bagaikan menonton tayangan langsung seorang pembaca berita menggunakan teleprompter. Padahal, kalau IY mau, dia bisa saja berbicara seenaknya dan meminta bagian tertentu untuk di "cut". Tapi masya Allah, sedikitpun IY tidak melakukan hal itu.
Menurut saya, disanalah letak perbedaan antara narasumber yang sangat menjaga kehati-hatian dalam bertutur dengan narasumber yang kerap berbicara seenaknya dan akhirnya hanya bisa menyesal dan minta maaf.
Yang menarik adalah, justru pewawancara sendiri yang kerap melakukan salah ucap (menit 18 detik 15), bahkan meminta waktu khusus karena mungkin terdistraksi oleh adzan yang tengah berkumandang (menit 18 detik 25). Di Barat, mungkin Anda pernah mendengar istilah saved by the bell. Kali ini, pewawancara bisa sedikit menyusun pertanyaan sambil menunggu adzan (saved by The Adzan)
2. Menarik ketika IY menjawab pertanyaan terkait Pancasila dan Khalifah. Ada atau tidak adanya Pancasila ketika Khilafah tegak dan siapa Khalifah ketika Khilafah tegak, merupakan hal yang tidak bisa dijawab oleh HTI. Sebab, hal itu memang bukan domain HTI untuk menjawab. Hanya waktu yang bisa menjawab melalui sebuah proses perubahan yang ada dalam sebuah masyarakat.
Masih melekat dalam ingatan saya, banyaknya sindiran-sindiran terhadap orang yang sangat mudah menjawab dan berjanji. Jawaban dan janji tersebut sangat manis. Akan tetapi, ternyata waktu juga yang membuktikan janji tersebut hanya penarik suara dalam pemilu. Masyarakat mungkin lupa, tapi Allah tidak pernah lupa.
Mungkin Anda masih ingat terhadap seseorang yang pernah berjanji tidak akan menaikan TDL dan berjanji tidak akan menambah utang negara. Saat ini, Anda dapat menilai sendiri bagaimana sebuah janji hanya tinggal janji. Sekali lagi, waktu yang ternyata bisa menjawabnya. Sekali lagi, masyarakat mungkin lupa, tapi Allah tidak pernah lupa.
Adapun IY, tidak memanjakan pewawancara dan pemirsa dengan jawaban-jawaban instan yang bersifat manis. Tidak ada kepentingan IY untuk memberikan janji manis terhadap pewawancara atau pemirsa. Ketika tidak memiliki domain untuk menjawab, maka IY sampaikan hal tersebut apa adanya.
Apakah hal itu memiliki konsekuensi di mata pemirsa? Jelas. Tapi ada satu konsekuensi yang paling mendasar. Yakni konsekuensi dalam pandangan Allah. Alih-alih memanjakan pewawancara dan pemirsa dengan jawaban instan, IY memilih jawaban yang aman. Lebih tepatnya jawaban yang aman dari murka Allah, bukan jawaban yang aman dari penilaian Aiman. Jawaban apa adanya.
3. Usai wawancara, IY langsung mempersilakan kru TV untuk melaksanakan sholat di Mushola yang berada di lantai 2. Lalu sambil melepaskan clip on, IY juga menyempatkan diri meluruskan fitnah bahwa HTI dekat dengan ISIS. Bahkan menegaskan, justru ada sejumlah tokoh HT (di negara lain) yang dibunuh oleh ISIS.
Saya menilai, bahkan pada saat 'injury time' sempat-sempatnya IY melakukan dakwah terhadap para kru TV. Narasumber tersebut, IY, tetap berdakwah, baik di 'depan' maupun di 'belakang' kamera. Sungguh sebuah komunikasi beresensi, efektif, efisien, dan tetap santun.
Penutup
Penilaian saya mungkin berlebihan, mengingat prestasi ibadah dan prestasi akademis saya yang biasa-biasa saja, bahkan mungkin minim. Tapi entahlah, di mata saya, kedua sosok tersebut sangat saya kagumi.
Dengan segala keterbatasan, saya mencoba memberikan analisis singkat yang mungkin bisa berikan sedikit kontribusi pada Dakwah Islam. Lebih jauh lagi, memberikan sedikit hiburan bagi mereka yang mungkin sedikit kesal dengan framing yang dilakukan acara AIMAN di Kompas TV bertajuk Mendadak Khilafah.
Pesan
Saudaraku Yang Setia Membaca Tulisan Ini Sampai Menjelang Akhir, Ingatlah Ketiga Hal Ini
1. HTI Kampanyekan 'Haram Pemimpin Kafir'. Lalu HTI Dibully Habis Habisan. Akan Tetapi, HTI Istiqomah. Berikutnya, Tidak Sampai 2 Tahun, Pemimpin Kafir Itu Tumbang (Oleh Kesombongannya Sendiri)
2. HTI Dibubarkan. Acara acaranya Berusaha Digagalkan. Akan Tetapi, HTI Istiqomah. Berikutnya, Yusril Ihza Mahendra Dan Gerakan 1.000 Advokat Membela HTI. Belum Lagi Dukungan Dari Presidium 212 Dan Sejumlah Organisasi Islam Lainnya. Bahkan, Wiranto Pun Sampai Mengatakan Bahwa Kasus HTI Libur Dulu. Lebih Jauh Lagi, Profil HTI Berikut Idenya Tersebar Di Sejumlah Media Massa Nasional. Ini Adalah Iklan Dan Promosi Gratis Bernilai Ratusan Miliar Yang Belum Pernah Didapatkan HTI Sebelumnya. Saya Pribadi Dulu 'Mati Matian' Membuka Dialog Mengenai Syariah Dan Khilafah. Saat Ini, Justru Tidak Sedikit Orang Yang Bertanya Pada Saya Mengenai HTI, Syariah, dan Khilafah.
3. HTI disudutkan oleh acara AIMAN. Lalu, Apa Yang Akan HTI Lakukan? Tentu Saja Kita Harap Tetap Istiqomah. Dan Bila Anda Bersama HTI, Berarti Anda Juga Mesti Tetap Istiqomah. Kita Lihat, Apa Yang Akan Terjadi Ke Depan. Kesal Ya Boleh Boleh Saja, Manusiawi. Siapa Yang Tidak Kesal Dengan Framing Ala Media Massa Sekuler. Tapi Kekesalan Tersebut Mesti Berbuah Sesuatu. Saya Tidak Memiliki Keahlian Dalam Bidang Apapun, Kecuali Menulis. Maka Saya Lakukan Apa Yang Saya Bisa Untuk 'Menyerang' Balik.
Siapa Yang Sangka Adanya Acara AIMAN Ternyata Mendorong Saya Untuk Kembali Menulis Setelah Beberapa Pekan 'Libur' Dari Menulis.
Rabu 14 Juni 2017, 00.00 WIB
Oleh : Tachta Rizqi Yuandri
0 Response to "MENDADAK NULIS (Dr Zakir Naik 'VS' Ismail Yusanto)"
Post a Comment