Kriminalisasi Mahasiswa dan Pasal Karet UU ITE
Dakwah Media - Gagasan, wacana dan pendapat kritis merupakan hal biasanya dikalangan intelektual pada umumnya khususnya kaula muda para mahasiswa. Merunut sejarah pada masa pasca kemerdekaan Indonesia 1945 pembentukan dan penyusunan RUU negara juga dimulai dari gagasan yang melahirkan berbagai produk aturan yang kita pakai hingga saat ini. Gagasan ini, wacana dan pendapat kritis ini menyumbang hal penting bagi konstruksi kebijaan-kebijakan yang ada. Gagasan dan wacana ini merupakan bagian dari hak berpendapat yang sangat fundamental bagi siapupun.
Mahasiswa sebagai salah satu tokoh intelektual dalam lingkungan kampus dan tonggak perubahan bangsa juga memilki hak berpendapat. Hak berpendapat inilah yang digunakan untuk melihat, menilai dan menyimpulkan suatu fakta, pemikiran bahkanpun kebijakan yang ada. Adalah hal yang wajar ketika mahasiswa menggunakan hak ini untuk ketiga kepentingan diatas. Menggunakan hak berpendapat untuk berdiskusi, berdebat hingga mengkritik adalah hal yang lumrah dalam lingkungan kampus. Melalui hak berpendapat, sistem dalam kehidupan mampu menjadi lebih baik. Tentunya dengan berpendapat dengan cara yang baik dan benar. Kampus sebagai wadah dari penuangan hak berpendapat ini selayaknyalah menyediakan ruang dialog untuk mengakomodasi dari setiap jajak pendapat yang ada meskipun pendapat yang ada bertentangan dengan mainstream birokrasi kampus dan pemerintahan.
Namun hak berpendapat yang seharusnya dilindungi dan diakomodasi, tercederai dengan adanya kasus kriminalisasi terhadap dua orang mahasiswa di salah satu PTN di Semarang. Kedua mahasiswa tersebut dilaporkan ke Polrestabes karena dugaan melakukan pencemaran nama baik Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir. Sebelumnya kedua mahasiswa tersebut dilaporkan setelah mengunggah foto piagam bertuliskan penghargaan untuk Mohamad atas capaian mencederai asas ketunggalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Perguruan Tinggi, ke media sosial.
Suara kritik dan pendapat mahasiswa yang mengkritisi wacana UKT yang seharusnya diselesaikan secara dialog diskusi oleh pihak kampus untuk mencari solusi bersama, tapi malah diriminalisasi dan dilaporkan ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik dengan menggunakan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan 310 KUHP, yang selama ini dianggap pasal karet. Inikan sebuah kemunduran dalam dunia pendidikan dan arogansi yang nyata dari pihak kampus sendiri.
Bukankah dalam pengambilan kebijakan yang transparan diperlukan peran yang seimbang antar subjek dan objek aturan. Suara kritis dan kritik mahasiswa adalah salah satu bagian yang penting dalam mwujudkan kebijakan yang ideal dan tidak merugikan salah satu pihak. Suara kritis ini hendaknya didengar meskipun bertentangan dengan keputusan pembuat kebijakan, bukannya malah dikrimanalisasi. Inikan mematikan nalar kritis an mencedari hak berpendapat mahasiswa.
Tradisi pelarangan-pembungkaman ini sebenarnya bukan ceritra baru melainkan cerita lama yang terus diulang-ulang. Dalam dunia pendidikan di Indonesia tradisi ini bisa dilacak melalui catatan-catatan sejarah. Dalam catatan sejarah, kita dapat menelitinya dari era kolonialisme, dimana rakyat pribumi tidak dibolehkan untuk melawan kebijakan otoritas kolonial, kebijakan kolonial adalah kebenaran mutlak dan seluruh rakyat pribumi harus patuh dan taat padanya. Hal ini berlanjut di era kemerdekaan, di akhir era orde lama pemerintahan Soekarno mulai bertindak otoriter, tak ada ruang untuk berbeda pendapat. Orde lama pada akhirnya mulai alergi terhadap kritik, protes dan beragam pendapat yang berbeda dengannya. Akhirnya pemerintah pun mulai berbuat otoriter, pendapat yang bertentangan dengan rezim pemerintahan dilarang. [1]
Sementara itu, penjeratan kasus ini menggunakan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang merupakan pasal karet harus ditinjau ulang dan teliti. Pasalnya pasal ini kerap dijadikan senjata untuk menjerat hukum pelaku dugaan pencemaran nama baik dan lainnya. Apalagi hukuman pidana Pasal 45 UU ITE terkait pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3 UU ITE) karena tidak memiliki kriteria yang jelas. Apalagi regulasi dan pemerintah selama ini tidak membeberkan perbedaan yang jelas antara kritik, pencemaran nama baik, ataupun pendapat. [2]
Apakah pembungkaman suara kritis mahasiswa ingin dilakukan lagi. Sudah seharusnya kampus lebih akomodatif terhadap kritik dan wacana keilmuan mahasiswanya. Sebagai khazanah keilmuan untuk membangun suasana kampus yang nyaman dan terbuka.
Oleh : Eko Purnomo (Humas GEMA Pembebasan Daerah Semarang)
Sumber:
1. M. Yunasri Ridhoh.2017. https://mahasiswabicara.id.
2. Bintoro Agung Sugiharto.2016. https://www.cnnindonesia.com.
Related
Suara kritik dan pendapat mahasiswa yang mengkritisi wacana UKT yang seharusnya diselesaikan secara dialog diskusi oleh pihak kampus untuk mencari solusi bersama, tapi malah diriminalisasi dan dilaporkan ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik dengan menggunakan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan 310 KUHP, yang selama ini dianggap pasal karet. Inikan sebuah kemunduran dalam dunia pendidikan dan arogansi yang nyata dari pihak kampus sendiri.
Bukankah dalam pengambilan kebijakan yang transparan diperlukan peran yang seimbang antar subjek dan objek aturan. Suara kritis dan kritik mahasiswa adalah salah satu bagian yang penting dalam mwujudkan kebijakan yang ideal dan tidak merugikan salah satu pihak. Suara kritis ini hendaknya didengar meskipun bertentangan dengan keputusan pembuat kebijakan, bukannya malah dikrimanalisasi. Inikan mematikan nalar kritis an mencedari hak berpendapat mahasiswa.
Sementara itu, penjeratan kasus ini menggunakan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang merupakan pasal karet harus ditinjau ulang dan teliti. Pasalnya pasal ini kerap dijadikan senjata untuk menjerat hukum pelaku dugaan pencemaran nama baik dan lainnya. Apalagi hukuman pidana Pasal 45 UU ITE terkait pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3 UU ITE) karena tidak memiliki kriteria yang jelas. Apalagi regulasi dan pemerintah selama ini tidak membeberkan perbedaan yang jelas antara kritik, pencemaran nama baik, ataupun pendapat. [2]
Apakah pembungkaman suara kritis mahasiswa ingin dilakukan lagi. Sudah seharusnya kampus lebih akomodatif terhadap kritik dan wacana keilmuan mahasiswanya. Sebagai khazanah keilmuan untuk membangun suasana kampus yang nyaman dan terbuka.
Oleh : Eko Purnomo (Humas GEMA Pembebasan Daerah Semarang)
1. M. Yunasri Ridhoh.2017. https://mahasiswabicara.id.
2. Bintoro Agung Sugiharto.2016. https://www.cnnindonesia.com.
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Kriminalisasi Mahasiswa dan Pasal Karet UU ITE"
Post a Comment