PERPPU Ormas Jadi Ajang Pertontonan Keculasan Demokrasi Oleh Para Tokoh Politik Pengkhianat Rakyat
HIPOKRITME POLITIK
Oleh: Nasrudin Joha
Dakwah Media - "Saya perlu tegaskan bahwa persetujuan PPP terhadap Perppu kemarin bersyarat yaitu adanya revisi. Karena itu, kami akan menjadi fraksi yang pertama kali mengusulkan revisi ini pada masa sidang," Rochmamurrozy
Rupanya sifat hipokrit, culas, muka badak, pengkhianat berpoles bedak pembela umat, tidak hanya menjangkiti satu dua tokoh di negeri ini. Hipokritme politik adalah realitas wajar dan natural sebagai produk anak kandung sistem demokrasi. Demokrasi tidak mengajari kejujuran, keimanan, keistiqomahan. Demokrasi hanya mengajari sumber legitimasi adalah rakyat. Jika dengan menipu, menebar uang, kaos, sembako, suara dan legitimasi rakyat diperoleh, demokrasi menghalalkannya.
Setelah sebelumnya SBY berbusa-busa membuat statement di sosial media, berparodi politik menemui penguasa agar mengindahkan "suara meracau" untuk merevisi UU ormas yang baru saja di sahkan, kini giliran PPP mengikuti jejak Demokrat. Romi, nampaknya tidak mau ketularan kualat karena menentang kehendak umat. Apalagi, Romi paham betul basis pemilih PPP adalah umat Islam.
Realitas politik ini mengkonfirmasi beberapa hal. Pertama, betapapun kompensasi dan tekanan politik begitu kuat dari penguasa, hanya saja mendukung Perppu ormas adalah pilihan politik yang memiliki konsekuensi serius. Melawan arus umat, berarti berani ditinggalkan umat. Kondisi ini tidak mungkin diinginkan, baik oleh parpol yang tegas menjadi penguasa atau partai satelit pendukung penguasa.
Kedua, betapapun pilihan politik itu telah berakhir dengan ditutupnya sidang paripurna pengesahan Perppu ormas, namun dampak ikutan dari keputusan politik ini akan berbuntut panjang. Tidak saja pada ajang pemilu di tahun 2019, tetapi berimplikasi serius pada seluruh gelaran Pilkada di 2018.
Ketiga, sesungguhnya sikap hipokrit ini menunjukan betapa rapuhnya bangunan koalisi politik yang dikomandani PDIP. Hanya PDIP yang berani Pasang badan bahkan lancang menyebut tidak takut ditinggal pemilih muslim. Sementara partai lainnya, tetap bermain di dua kaki. Pijakan kaki di istana untuk memperoleh kompensasi kekuasaan, pijakan kaki ditengahi umat untuk memperoleh legitimasi, dukungan, suara.
Keempat, sesungguhnya hal ini menggambarkan betapa tidak piawainya PDIP mengurus mitra koalisi dan betapa PDIP untuk kali yang kedua akan dikhianati mitranya. Pada pemilu 2014 yang lalu, PDIP dipecundangi partai lain dengan manuver UU MD3. PDIP sebagai partai pemenang tidak bisa menduduki kursi ketua DPR RI. Golkar mampu bermain dan mencuri kursi PDIP. Dalam konteks Perppu, jika PDIP teledor -dan faktanya indikasi keteledoran itu begitu kuat- akan mengantarkan PDIP pada realitas dipecundangi untuk yang kedua kalinya.
Kelima, sesungguhnya umat wajib mengindera secara jelas agar amarah, perasaan, emosi dan preferensi umat tidak dipermainkan partai. Umat wajib melihat dengan seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya segera menghukum partai pendukung Perppu ormas atau partai yang bermitra (koalisi) dengan partai pendukung Perppu ormas. Tidak boleh ada kompromi !
Keenam, sesungguhnya hal ini wajib memantik kesadaran politik umat untuk membangun rel politik sendiri yang mewajibkan semua ulama, partai dan umat berdiri dan berpijak di atasnya. Inilah rel politik, dimana hukum syara menjadi batas pilah dan pilar kokoh alas kedudukannya.
Romi, Masa Tangguh Anda Sudah Habis
PPP setelah ikut dalam koalisi pendukung Penista agama di Pilkada DKI Jakarta, semestinya segera menggunakan momentum Perppu ormas untuk mengadakan Islam dengan umat Islam. Nyatanya, PPP justru masuk dalam Wasqitoh Kebatilan bersama PDIP and the Gank.
Sulit bagi umat jika tidak bisa dikatakan mustahil, untuk berdamai dengan partai pendukung Perppu ormas. Apalagi, jangankan dengan umat, dengan kubu Dzan Faridz saja Romi tidak mampu berislah.
Romi telah membawa partai para ulama dengan lambang ka'bah terperosok jauh pada kubangan pragmatisme politik. Hipokritme menjadi lumrah manakala yang jadi pertimbangan adalah kepentingan politik, bukan syariat Islam.
Hipokritme ini tidak saja menjerumuskan pelakunya tetapi bisa membawa jamaah partai melenceng bahkan bisa menjadi penentang agama Allah SWT. Umat akan mengindera dengan jelas, setiap noktah dan mimik wajah-wajah penjual agama Allah SWT.
Beta pun topeng itu dibuat, betapapun bedak itu ditebalkan bahkan hingga menggunakan bahan dempul, niscaya kerusakan wajah-wajah pengkhianat umat akan mampu dikenali. Masih ada waktu untuk berbenah, setidaknya nasihat itu berlaku untuk pribadi Anda bukan terhadap partai Anda. [].
Rupanya sifat hipokrit, culas, muka badak, pengkhianat berpoles bedak pembela umat, tidak hanya menjangkiti satu dua tokoh di negeri ini. Hipokritme politik adalah realitas wajar dan natural sebagai produk anak kandung sistem demokrasi. Demokrasi tidak mengajari kejujuran, keimanan, keistiqomahan. Demokrasi hanya mengajari sumber legitimasi adalah rakyat. Jika dengan menipu, menebar uang, kaos, sembako, suara dan legitimasi rakyat diperoleh, demokrasi menghalalkannya.
Setelah sebelumnya SBY berbusa-busa membuat statement di sosial media, berparodi politik menemui penguasa agar mengindahkan "suara meracau" untuk merevisi UU ormas yang baru saja di sahkan, kini giliran PPP mengikuti jejak Demokrat. Romi, nampaknya tidak mau ketularan kualat karena menentang kehendak umat. Apalagi, Romi paham betul basis pemilih PPP adalah umat Islam.
Related
Realitas politik ini mengkonfirmasi beberapa hal. Pertama, betapapun kompensasi dan tekanan politik begitu kuat dari penguasa, hanya saja mendukung Perppu ormas adalah pilihan politik yang memiliki konsekuensi serius. Melawan arus umat, berarti berani ditinggalkan umat. Kondisi ini tidak mungkin diinginkan, baik oleh parpol yang tegas menjadi penguasa atau partai satelit pendukung penguasa.
Kedua, betapapun pilihan politik itu telah berakhir dengan ditutupnya sidang paripurna pengesahan Perppu ormas, namun dampak ikutan dari keputusan politik ini akan berbuntut panjang. Tidak saja pada ajang pemilu di tahun 2019, tetapi berimplikasi serius pada seluruh gelaran Pilkada di 2018.
Ketiga, sesungguhnya sikap hipokrit ini menunjukan betapa rapuhnya bangunan koalisi politik yang dikomandani PDIP. Hanya PDIP yang berani Pasang badan bahkan lancang menyebut tidak takut ditinggal pemilih muslim. Sementara partai lainnya, tetap bermain di dua kaki. Pijakan kaki di istana untuk memperoleh kompensasi kekuasaan, pijakan kaki ditengahi umat untuk memperoleh legitimasi, dukungan, suara.
Keempat, sesungguhnya hal ini menggambarkan betapa tidak piawainya PDIP mengurus mitra koalisi dan betapa PDIP untuk kali yang kedua akan dikhianati mitranya. Pada pemilu 2014 yang lalu, PDIP dipecundangi partai lain dengan manuver UU MD3. PDIP sebagai partai pemenang tidak bisa menduduki kursi ketua DPR RI. Golkar mampu bermain dan mencuri kursi PDIP. Dalam konteks Perppu, jika PDIP teledor -dan faktanya indikasi keteledoran itu begitu kuat- akan mengantarkan PDIP pada realitas dipecundangi untuk yang kedua kalinya.
Kelima, sesungguhnya umat wajib mengindera secara jelas agar amarah, perasaan, emosi dan preferensi umat tidak dipermainkan partai. Umat wajib melihat dengan seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya segera menghukum partai pendukung Perppu ormas atau partai yang bermitra (koalisi) dengan partai pendukung Perppu ormas. Tidak boleh ada kompromi !
Keenam, sesungguhnya hal ini wajib memantik kesadaran politik umat untuk membangun rel politik sendiri yang mewajibkan semua ulama, partai dan umat berdiri dan berpijak di atasnya. Inilah rel politik, dimana hukum syara menjadi batas pilah dan pilar kokoh alas kedudukannya.
Romi, Masa Tangguh Anda Sudah Habis
PPP setelah ikut dalam koalisi pendukung Penista agama di Pilkada DKI Jakarta, semestinya segera menggunakan momentum Perppu ormas untuk mengadakan Islam dengan umat Islam. Nyatanya, PPP justru masuk dalam Wasqitoh Kebatilan bersama PDIP and the Gank.
Sulit bagi umat jika tidak bisa dikatakan mustahil, untuk berdamai dengan partai pendukung Perppu ormas. Apalagi, jangankan dengan umat, dengan kubu Dzan Faridz saja Romi tidak mampu berislah.
Romi telah membawa partai para ulama dengan lambang ka'bah terperosok jauh pada kubangan pragmatisme politik. Hipokritme menjadi lumrah manakala yang jadi pertimbangan adalah kepentingan politik, bukan syariat Islam.
Hipokritme ini tidak saja menjerumuskan pelakunya tetapi bisa membawa jamaah partai melenceng bahkan bisa menjadi penentang agama Allah SWT. Umat akan mengindera dengan jelas, setiap noktah dan mimik wajah-wajah penjual agama Allah SWT.
Beta pun topeng itu dibuat, betapapun bedak itu ditebalkan bahkan hingga menggunakan bahan dempul, niscaya kerusakan wajah-wajah pengkhianat umat akan mampu dikenali. Masih ada waktu untuk berbenah, setidaknya nasihat itu berlaku untuk pribadi Anda bukan terhadap partai Anda. [].
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "PERPPU Ormas Jadi Ajang Pertontonan Keculasan Demokrasi Oleh Para Tokoh Politik Pengkhianat Rakyat"
Post a Comment