-->

DALAM DEMOKRASI, POLITIK HANYALAH KEKUASAAN, LALU BAGAIMANA DALAM ISLAM?




Dalam demokrasi, politik dilakukan hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan diperoleh dengan cara apa saja, yang penting dapat. Kekuasaan boleh diraih dengan menipu, permusuhan, dan menghalalkan segala cara. Sebab dalam alam demokrasi, kekuasaan adalah segala-galanya. Dengan kekuasaan, diperoleh semua kenikmatan dunia. Harta yang melimpah ruah, rumah yang super megah, kendaraan yang paling mewah, fasilitas yang serba wah, penghormatan dari semua kalangan dan lain sebagainya. Singkatnya, dengan kekuasaan, semua “nafsu” dapat terlampiaskan.
Dalam alam demokrasi tidak ada lawan dan kawan sejati. Yang ada hanya kepentingan dan nafsu untuk menguasai. Si A dan si B, berteman mesra ketika ingin meraih kepentingan yang sama. Kemana-mana bergandengan tangan. Berbaju dan berpakaian seragam, sungguh sangat serasi sekali. Seakan mereka pasangan yang telah ditakdirkan Tuhan untuk bersatu, yang tak ada kekuatan yang akan memisahkannya. Namun, tiba-tiba, tak ada angin dan hujan, setelah itu si A dan si B, menjadi musuh bebuyutan, yaitu ketika kepentingannya berbeda. Seakan-akan mereka tak kenal sebelumnya. Terjadilah perang yang sangat sengit. Seakan telah terjadi pertarungan antara “haq” dan “batil”. Lalu, mereka mengajak seluruh rakyat untuk berjihad melawan "musuhnya". Ustadz dan kyai diajak untuk berperang dalil dan ayat. Masyarakat diminta siap siaga untuk berjihad, dan para politisi menjanjikan “surga”, baik hidup atau mati. Salam pun berubah, jadi 1 jari atau 2 jari. Setelah semua berperang dalam ketegangan, korban pun berjatuhan, tetangga tak mau menyapa tetangganya, teman telah berubah jadi lawan, para ustadz dan kyai sudah terlanjur saling mengkafirkan atau membid’ahkan, dan rumah-rumah sudah terlanjur dibakar. Tiba-tiba, tak ada angin dan tak ada hujan, saat kepentingan kekuasaan berubah lagi, secepat kilat semua berubah. Si A dan si B menjadi teman sejati lagi. Rakyat pun hanya bisa gigit jari.
Saat berkuasa, mereka memang luar biasa. Gajinya luar biasa tinggi. Fasilitas yang diberikan luar biasa lengkap. Kenyamanan yang diperoleh luar biasa sempurna. Gratifikasi yang diperoleh luar biasa menggiurkan. Tidak salah jika semua itu diperoleh dengan modal dan ongkos yang teramat-sangat besar. Ibarat pepatah: no pain no gain. Semua orang bersujud di telapak kakinya untuk meminta belas kasihan. Semua media meliput seluruh aktivitasnya, meski yang dilakukan sesuatu yang remeh temeh. Pada saat blusukan ke pasar, ia menjadi berita besar di semua media, seakan-akan malaikat turun dari surga, yang mampu menyelesaikan semua masalah. Saat ia naik sepeda ke kantor, menjadi hot issue di semua media, padahal antara kantor dan rumah dinasnya hanya beberapa meter. Saat mendatangi masyarakat, mereka dielu-elukan seakan “dewa penolong”. Pencitraan berjalan dengan nyaris sempurna.
Padahal saat berkuasa, kebijakan yang dilakukan sungguh sangat tak berpihak kepada rakyat. Dengan sadis dan tak kenal kasihan, ia menaikkan harga BBM, TDL dan tarif-tarif lain, demi menyenangkan para cukong. Kata mereka, subsidi membebani anggaran negara dan menyebabkan negara kolaps. Tapi untuk membiayai semua fasilitas mereka yang sangat mewah, untuk foya-foya para pejabat, tak ada istilah membebani negara, apalagi menyebabkan negara kolaps. Sumber daya alam dibagi-bagikan secara gratis, atau paling tidak dengan harga yang sangat murah kepada para kapitalis yang membiayai dan menjadi bakcing saat pencalonannya. Korupsi semakin menjadi-jadi. Gaji dan tunjangan mereka memang sangat besar, bisa mencapai ratusan juta per bulan, tetapi tentu saja tetap tidak sebanding dengan modal kampanye yang mereka keluarkan. Konon katanya, untuk kampanye presiden, mereka bisa habis lebih dari 1T atau 1000 milyar. Seandainya gaji bersih mereka 100 juta perbulan, maka dalam 1 tahun baru terkumpul 1,2 milyar. Jika ia menjabat 5 tahun, baru terkumpul 6 milyar. Padahal untuk kampanye mereka habis 1000 milyar. Dari mana mereka bisa BEP apalagi mendapatkan keuntungan? Maka, jawabnya adalah korupsi dan menyalah-gunakan wewenang. Bagi mereka korupsi itu sah-sah saja yang penting tidak ketahuan dan tak melanggar peraturan perundangan. Jika melanggar, gampang, aturannya diganti saja. Beres. Gitu aja kok repot!.
Bagaimana dengan kekuasaan di bawahnya presiden? Sama saja. Gubernur, bupati, walikota, DPR, DPRD dan semua pejabat yang ada menempuh modus yang sama. Akhirnya korupsi berjamaah terjadi dimana-mana.
Lalu, semua pelayanan dijual dengan harga yang fantastis, pendidikan menjadi sangat mahal, apalagi kesehatan. Bahkan dengan alasan keadilan, kesehatan telah dijadikan sarana untuk memaksa semua rakyat ikut asuransi. Tentu saja keuntungannya sangat besar yang hanya dinikmati segelintir orang. Tak peduli rakyat bisa makan atau tidak, premi asuransi harus dibayar, kalau tidak polisi akan bertindak tegas, karena rakyat dianggap melakukan kejahatan.
Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, tak peduli rakyat bisa membeli atau tidak. Inflasi meningkat luar biasa tinggi. Perusahaan-perusahaan banyak yang gulung tikar. Pengangguran meraja lela. Para buruh demo dimana-mana menuntut kenaikan gaji. Sebab, mereka memang digaji hanya sekedar hidup agar terus bisa berproduksi. Petani? Apalagi. Jangan tanyakan nasib mereka. Saat beli pupuk, harganya selangit, karena permainan para pemilik modal. Sementara saat panen, para penguasa justru mengimpor hasil pertanian. Walhasil harga pertanian hancur. Lagi-lagi petani hanya bisa gigit jari, sambil membayangkan kenikmatan hidup di alam maya demokrasi.
Itulah politik model demokrasi, yang telah “menyihir” pengikut setianya. Tentu saja, kenyataan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari paradigma politik sekular yang selama ini diterapkan. Berbicara politik dalam kacamata Barat sekular berarti berbicara tentang kekuasaan. Artinya, orang-orang yang berkiprah dalam dunia politik sekarang senantiasa memfokuskan perhatiannya pada bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan. Jika tidak dapat berkuasa sendirian, maka bagaimana kekuasaan itu dibagi-bagi (power sharing). Terjadilah kompromi untuk sama-sama mempertahankan kekuasaan.
Muaranya politik adalah kekuasaan dan kepentingan. Sayang, kepentingan tersebut lebih didominasi oleh kepentingan pribadi dan golongan/partai dengan mengatasnamakan konstituen partai. Berdasarkan paradigma seperti itu, wajar jika politik sekular lebih mengedepankan kepentingan. Wujudnya adalah kekuasaan, jabatan, atau fasilitas.
Karena politik artinya adalah kekuasaan, maka para politisi hanya berpikir tentang kekuasaan. Tidak lebih. Problem ini memang bermula dari MAKNA dan PARADIGMA politik yang SALAH KAPRAH dalam alam demokrasi. Maka, tidak salah, jika dikatakan bahwa politik itu “kotor”. Tapi harus diingat, ini hanya dalam kerangka politik demokrasi.
*****
Fenomena ini sangat kontras dengan Islam. Dalam Islam, arti politik bukan kekuasaan, tetapi pelayanan. Jadi, dalam Islam politik, bukan sesuatu yang kotor. Karena itu seandainya orang berpolitik dan mendapat kekuasaan, maka kekuasaan diperoleh bukan untuk memuaskan nafsu syahwat, tapi untuk melayani kebutuhan masyarakat dan menerapkan hukum Allah. Makanya bisa dipahami mengapa sikap para sahabat Nabi begitu luar biasa. Misalnya, saat Said bin Amir Aljumahi ditawari jabatan wali (gubernur) oleh Khalifah Umar, beliau menjawab: "Aku nasihati engkau wahai Umar, janganlah engkau memfitnahku". Dalam islam, politik adalah aktivitas pelayanan masyarakat dan tentu saja politik adalah bagian dari amanah. Berikut ini penjelasan lebih lanjut:
Pertama, dalam islam politik adalaha aktivitas pelayanan terhadap masyarakat. Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, dalam buku-buku para ulama salaf ash-shalih dikenal istilah siyasah syar‘iyyah, misalnya. Diantara kitab Syeikh Ibu Taimiyah ada yang berjudul “as siyasah asy syar’iyah”. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, siyasah berasal dari akar kata: sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang bermakna mengurus/mengatur. Pelakunya dinamai politisi (siyâsiyun). Dengan kata lain, politik berarti memelihara (ri‘ayah), memperbaiki (ishlah), meluruskan (taqwim), mengarahkan (irsyad), dan mendidik (ta’dib).
Politik tidak sesempit seperti dalam definisi demokrasi, dimana politik hanya diartikan berebut kekuasaan. Dalam islam, politik itu memiliki makna yang mulia, yaitu PELAYANANn terhadap masyarakat. Saat tetangga kita kelaparan, lalu kita membantunya, dalam Islam, aktivitas ini dinamakan politik. Saat anak-anak di lingkungan kita tidak bisa baca alqur’an, lalu kita mengumpulkan dan mengajari mereka, maka hal ini adalah aktivitas pelayanan masyarakat atau politik. Saat got di perkampungan kita mampet, lalu kita berinisiatif mengumpulkan warga dan mencari solusi, maka hal ini adalah aktivitas politik. Saat pemimpin mendzalimi rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat, lalu kita mengoreksi penguasa tersebut, hal ini adalah aktivitas politik. Saat pemimpin mengambil kebijakan mensubsidi kebutuhan pokok rakyatnya, maka hal ini adalah aktivitas politik. Politik artinya adalah pelayanan terhadap umat. Karena itu kekuasaan hanyalah bagian dari politik, dan kekuasaan harus didedikasikan untuk pelayanan masyarakat.
Makna politik seperti ini diambil dari hadits Rasulullah:
«فَاْلإِمَامُ الَّذِيْ عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Imam (khalifah, penguasa) yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala; dia akan dimintai pertanggung-jawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim).
Jadi, aktivitas politik itu intinya adalah pelayanan, dan sepktrumnya sangat luas, tidak hanya sekedar bertengkar untuk berebut kekuasaan, seperti para pemuja demokrasi.
Kedua, dalam islam, kekuasan yang merupakan bagian dari politik Islam itu adalah amanah. Kepemimpinan atau jabatan apapun, merupakan amanah. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Abu Dzar yang meminta jabatan:
«إِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا»
“Sesungguhnya jabatan itu merupakan suatu amanah (titipan). Jabatan itu nanti pada Hari Kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang dapat memanfaatkan haknya dan menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.” (HR Muslim).
Kepemimpinan apapun akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak. Kata Nabi saw., jabatan hanya akan menjadi sumber kehinaan dan penyesalan bagi pemegangnya kelak di akhirat jika tidak berdasarkan pada aturan Islam serta ditujukan untuk kepentingan Islam dan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, sekali lagi Rasulullah saw. menegaskan:
«إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Sesungguhnya kalian akan berambisi untuk dapat memegang suatu jabatan, tetapi nanti pada Hari Kiamat jabatan itu akan menjadi suatu penyesalan.” (HR al-Bukhari).
Ketiga, politik adalah aktivitas para Nabi dan Rasul. Rasulullah saw. sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Bani Israil itu diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak khalifah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tasusu dalam hadits di atas berasal dari kata sasa-yasusu-tasusu-siyasatan, yang artinya pelayanan urusan umat. Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Untuk itu, perlu diketahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum Muslim; bagaimana mengingkari keburukan penguasa, menasihati penguasa yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawâhan) seperti ditegaskan dalam banyak hadis terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah saw.
*****
Jadi, sekali lagi, paradigma politik dalam Islam adalah pengurusan urusan umat. Karenanya, yang pertama kali harus dikedepankan adalah tanggung jawab penguasa terhadap kaum Muslim dan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Karena itu bicara politik dalam Islam pasti bicara tentang kepemimpinan atau khilafah. Orang yang bicara politik, tetapi tidak dalam kerangka khilafah, pasti yang dibicarakan bukan politik Islam, meskipun ia orang islam, bahkan seorang ustadz atau ulama.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dalam Tarikh Al-madzahib Al-islamiyyah, juz I, halaman 21:
المذاهب السياسية كلها تدور حول الخلافة وهي الإمامة الكبرى
“Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan selalu beredar di sekitar pembahasan khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah agung).”
Karena itu, saat ada orang bicara politik, kita harus benar-benar mencermati, apakah politik Islam atau politik dalam demokrasi. Politik dalam islam adalah keharusan karena pelayanan kepada umat, sementara politik dalam demokrasi adalah racun yang mematikan, karena hanya terfokus pada kekuasaan. Karena, umat perlu cerdas dalam mengetahui siapa sebenarnya di antara kaum Muslim yang sungguh-sungguh berjuang bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat berdasarkan hukum Islam.
Jadi, sungguh sangat kontras antara politik dalam Islam dengan dalam demokrasi. Yang sangat mengherankan, dalam demomrasi, masyarakat begitu BANGGA menjadi korban politik dan pemuasan nafsu dari para penguasa atau calon penguasa. Sementara menolak politik islam yang agung dan diajarkan oleh Rasulullah.
Terakhir, apakah politik dalam Islam itu kotor? Jika politik (seperti dalam definisi Islam) itu kotor, maka para Nabi dan Rasul adalah orang-orang kotor. Sebab, sebagaimna dalam hadits shohih riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim, aktivitas para Nabi dan rasul adalah tasusu al ummah.
Ya Allah, kamu berlindung dari ucapan yang kotor terhadap para Nabi dan rasulMu. Wal iyaadzu billah.
Wallahu a’lam.

0 Response to "DALAM DEMOKRASI, POLITIK HANYALAH KEKUASAAN, LALU BAGAIMANA DALAM ISLAM?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close