Khutbah Jum’at – Musyawarah & Demokrasi
Diantara pemikiran yang populer ditengah umat Islam saat ini, namun patut kita cermati adalah pemikiran demokrasi. Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Sebagian orang memahami bahwa demokrasi itu sama dengan musyawarah yang diperintahkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah swt:
… فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ …
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Musyawarah yang dituntut Islam jauh berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi. Suara mayoritas bahkan permufakatan seluruh rakyat sekalipun tidak menjadi penentu diberlakukannya suatu aturan atau tidak.
Dalam masalah-masalah tasyri’ (legalisasi hukum syariah), pijakannya hanyalah kekuatan dalil. Suatu hal yang sudah jelas halal/haramnya tidak akan berubah statusnya gara-gara suara mayoritas menentangnya. Rasulullah memberikan contoh yang jelas dalam masalah ini. Ketika kaum muslimin tidak sepakat dengan isi perjanjian Hudaybiyyah, bahkan ‘Umar bin Khattab r.a terang-terangan menyampaikan keberatannya, beliau saw tidak merubah ketetapannya, beliau saw berkata:
إِنِّي رَسُولُ اللهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Sesungguhnya aku ini utusan Allah, aku takkan bermaksiyat kepada-Nya, dan Dialah penolongku.” (HR. Al Bukhari)
Begitu pula perkara-perkara pemikiran yang memerlukan pengkajian mendalam, analisis, keahlian dan berbagai pengetahuan spesifik, maka perkara-perkara demikian diambil pendapatnya dari para ahlinya masing-masing, bukan dari pendapat mayoritas. Dalilnya adalah ketika Hubâb bin al Mundzir r.a dalam perang Badar mempertanyakan posisi pasukan kaum muslimin:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ هَذَا الْمَنْزِلَ، أَمَنْزِلًا أَنْزَلَكَهُ اللَّهُ لَيْسَ لَنَا أَنْ نَتَقَدَّمَهُ، وَلَا نَتَأَخَّرَ عَنْهُ، أَمْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيدَةُ؟
“Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu tentang tempat ini, apakah ini tempat yang diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga kami tidak boleh bergeser maju atau mundur? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya?
Rasul saw menjawab:
بَلْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيدَةُ
Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.
Kemudian Hubâb menunjukkan suatu posisi yang lebih strategis, Nabi pun kemudian mengikuti pendapat Hubâb tanpa mengambil suara mayoritas kaum muslimin [Ibnu Hisyam (w.213 H), Sirah Nabawiyah, hal 598].
Pendapat mayoritas bersifat mengikat hanya dalam perkara- perkara praktis yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat yang tidak memerlukan pengkajian dan analisis mendalam, seperti penyediaan berbagai pelayanan penting untuk rakyat; dalam aspek pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, perindustrian, pertanian, dll; penjagaan keamanan mereka, serta penghilangan bahaya musuh dari mereka, sebagaimana dalam kasus perang Uhud, Nabi saw mengikuti pendapat mayoritas untuk keluar Madinah menyongsong dan melawan musuh, walaupun beliau saw dan para sahabat senior tidak sependapat dengan hal tersebut. Namun kemudian, setelah sampai di medan Uhud Rasulullah tidak menyerahkannya strategi perang kepada pendapat mayoritas, beliau mengatur sendiri strategi tersebut.
Berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi, sistem yang berlaku saat ini di negeri ini, apapun yang diputuskan parlemen, maka itulah yang diterapkan pada masyarakat, tanpa memandang halal-haramnya keputusan tersebut. Tidak aneh kalau homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap ditolerir asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[1]. Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan, sebagaimana Pasal 284 KUHP. Sebaliknya jika umurnya baru 17 tahun, menikahpun tidak dibolehkan bahkan diancam penjara.
Meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, disamping bertentangan dengan Islam, karena kedaulatan (hak menetapkan hukum) hanyalah milik Allah, juga menjadikan pemborosan. Untuk menyusun satu RUU usulan DPR, anggaran yang digunakan sekitar Rp1,8 miliar di tahun 2011 dan meningkat menjadi Rp5,2 miliar pada tahun 2012. Itu baru tahap penyusunan[2]. Ketika sudah jadi undang-undangpun, banyak yang tidak layak. Dr. Bayu Dwianggono menyatakan bahwa dari 428 UU produk DPR itu setidaknya ada 14 UU yang tidak layak diundangkan[3]. Hal ini tidak akan terjadi dalam jika Islam yang dipakai, karena Allah swt telah memberikan aturan (undang-undang) yang terbaik, tanpa perlu biaya.
Demokrasi juga menjadi pintu intervensi dan penjajahan, hal ini karena untuk menjadi wakil rakyat mengharuskan mereka mengeluarkan biaya tinggi. Adalah ‘wajar’ ketika mereka sudah mendapatkan jabatan yang dikehendaki, maka hal utama yang dipikirkan adalah bagaimana bisa ‘balik modal’, bagaimana bisa melunasi hutang atau bagaimana cara ‘membalas budi’ kepada pihak yang mendanai. Sementara ‘nilai jual’ jabatan wakil rakyat hanyalah hak mereka untuk membuat peraturan (undang-undang), inilah celah masuknya intervensi pemilik modal, bahkan menjadi celah ‘legalisasi’ penjajahan. Menurut anggota DPR, Eva Kusuma, selama 12 tahun pasca reformasi ada 76 undang-undang yang draftnya dari asing[4]. Disamping itu, tercatat 1800 perda dihapus untuk memuluskan dominasi penjajah dengan mengatasnamakan investasi[5].
Semoga Allah membersihkan pikiran kita dari pemikiran-pemikiran yang rusak, dan menjadikan kita meyakini bahwa tidak ada ketentuan yang lebih baik daripada ketentuan Allah swt, sebagaimana firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al Ma-idah 50).[M. Taufik NT]
Download selengkapnya di <<sini>>
Sebagian orang memahami bahwa demokrasi itu sama dengan musyawarah yang diperintahkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah swt:
… فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ …
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Musyawarah yang dituntut Islam jauh berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi. Suara mayoritas bahkan permufakatan seluruh rakyat sekalipun tidak menjadi penentu diberlakukannya suatu aturan atau tidak.
Dalam masalah-masalah tasyri’ (legalisasi hukum syariah), pijakannya hanyalah kekuatan dalil. Suatu hal yang sudah jelas halal/haramnya tidak akan berubah statusnya gara-gara suara mayoritas menentangnya. Rasulullah memberikan contoh yang jelas dalam masalah ini. Ketika kaum muslimin tidak sepakat dengan isi perjanjian Hudaybiyyah, bahkan ‘Umar bin Khattab r.a terang-terangan menyampaikan keberatannya, beliau saw tidak merubah ketetapannya, beliau saw berkata:
إِنِّي رَسُولُ اللهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Sesungguhnya aku ini utusan Allah, aku takkan bermaksiyat kepada-Nya, dan Dialah penolongku.” (HR. Al Bukhari)
Begitu pula perkara-perkara pemikiran yang memerlukan pengkajian mendalam, analisis, keahlian dan berbagai pengetahuan spesifik, maka perkara-perkara demikian diambil pendapatnya dari para ahlinya masing-masing, bukan dari pendapat mayoritas. Dalilnya adalah ketika Hubâb bin al Mundzir r.a dalam perang Badar mempertanyakan posisi pasukan kaum muslimin:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ هَذَا الْمَنْزِلَ، أَمَنْزِلًا أَنْزَلَكَهُ اللَّهُ لَيْسَ لَنَا أَنْ نَتَقَدَّمَهُ، وَلَا نَتَأَخَّرَ عَنْهُ، أَمْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيدَةُ؟
“Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu tentang tempat ini, apakah ini tempat yang diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga kami tidak boleh bergeser maju atau mundur? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya?
Rasul saw menjawab:
بَلْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيدَةُ
Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.
Kemudian Hubâb menunjukkan suatu posisi yang lebih strategis, Nabi pun kemudian mengikuti pendapat Hubâb tanpa mengambil suara mayoritas kaum muslimin [Ibnu Hisyam (w.213 H), Sirah Nabawiyah, hal 598].
Pendapat mayoritas bersifat mengikat hanya dalam perkara- perkara praktis yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat yang tidak memerlukan pengkajian dan analisis mendalam, seperti penyediaan berbagai pelayanan penting untuk rakyat; dalam aspek pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, perindustrian, pertanian, dll; penjagaan keamanan mereka, serta penghilangan bahaya musuh dari mereka, sebagaimana dalam kasus perang Uhud, Nabi saw mengikuti pendapat mayoritas untuk keluar Madinah menyongsong dan melawan musuh, walaupun beliau saw dan para sahabat senior tidak sependapat dengan hal tersebut. Namun kemudian, setelah sampai di medan Uhud Rasulullah tidak menyerahkannya strategi perang kepada pendapat mayoritas, beliau mengatur sendiri strategi tersebut.
Berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi, sistem yang berlaku saat ini di negeri ini, apapun yang diputuskan parlemen, maka itulah yang diterapkan pada masyarakat, tanpa memandang halal-haramnya keputusan tersebut. Tidak aneh kalau homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap ditolerir asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[1]. Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan, sebagaimana Pasal 284 KUHP. Sebaliknya jika umurnya baru 17 tahun, menikahpun tidak dibolehkan bahkan diancam penjara.
Meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, disamping bertentangan dengan Islam, karena kedaulatan (hak menetapkan hukum) hanyalah milik Allah, juga menjadikan pemborosan. Untuk menyusun satu RUU usulan DPR, anggaran yang digunakan sekitar Rp1,8 miliar di tahun 2011 dan meningkat menjadi Rp5,2 miliar pada tahun 2012. Itu baru tahap penyusunan[2]. Ketika sudah jadi undang-undangpun, banyak yang tidak layak. Dr. Bayu Dwianggono menyatakan bahwa dari 428 UU produk DPR itu setidaknya ada 14 UU yang tidak layak diundangkan[3]. Hal ini tidak akan terjadi dalam jika Islam yang dipakai, karena Allah swt telah memberikan aturan (undang-undang) yang terbaik, tanpa perlu biaya.
Demokrasi juga menjadi pintu intervensi dan penjajahan, hal ini karena untuk menjadi wakil rakyat mengharuskan mereka mengeluarkan biaya tinggi. Adalah ‘wajar’ ketika mereka sudah mendapatkan jabatan yang dikehendaki, maka hal utama yang dipikirkan adalah bagaimana bisa ‘balik modal’, bagaimana bisa melunasi hutang atau bagaimana cara ‘membalas budi’ kepada pihak yang mendanai. Sementara ‘nilai jual’ jabatan wakil rakyat hanyalah hak mereka untuk membuat peraturan (undang-undang), inilah celah masuknya intervensi pemilik modal, bahkan menjadi celah ‘legalisasi’ penjajahan. Menurut anggota DPR, Eva Kusuma, selama 12 tahun pasca reformasi ada 76 undang-undang yang draftnya dari asing[4]. Disamping itu, tercatat 1800 perda dihapus untuk memuluskan dominasi penjajah dengan mengatasnamakan investasi[5].
Semoga Allah membersihkan pikiran kita dari pemikiran-pemikiran yang rusak, dan menjadikan kita meyakini bahwa tidak ada ketentuan yang lebih baik daripada ketentuan Allah swt, sebagaimana firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al Ma-idah 50).[M. Taufik NT]
Download selengkapnya di <<sini>>
0 Response to "Khutbah Jum’at – Musyawarah & Demokrasi"
Post a Comment