PAJAK DI DALAM ISLAM
Seluruh negara-negara yang ada di dunia saat
ini didominasi oleh sistem ekonomi kapitalis sekular. Di dalam sistem ekonomi
kapitalis sumber-sumber keuangan negara bersandar kepada pajak. Tidak jarang
proporsi pajak mencapai 70%-80% dari penerimaan/pemasukan negara. Bagaimana
pandangan Islam tentang pajak? Apakah pajak dijadikan sebagai pilar utama
pendapatan negara Khilafah?
Pajak
–di dalam sistem ekonomi kapitalis- menjadi pos pendapatan unggulan. Sebagian
besar penerimaan negara diperoleh dari pajak. Sedemikian mengguritanya pajak
sehingga hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak dikenakan pajak. Sistem
ekonomi kapitalis mengajarkan kepada kita kezhaliman yang tiada duanya. Pajak
penghasilan, pajak badan/usaha perdagangan, pajak retribusi, pajak ekspor,
pajak impor, pajak pertambahan nilai, pajak investasi, dan lain-lain,
sampai-sampai orang yang mau pergi haji pun ongkos membayar hajinya dipajaki.
Selain
itu, pajak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, harga barang meningkat karena di
dalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak. Pajak
adalah kezhaliman yang dibungkus dengan peraturan sehingga negara merasa berhak
untuk mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Tidak
mengherankan jika banyak orang menghindari pajak.
Islam
telah melarang seluruh bentuk pungutan –apapun nama dan alasannya-. Pungutan
harus memiliki dalil (legislasi) syar’i.
]وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ[
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya diantara
kamu dengan jalan yang bathil. (TQS.
al-Baqarah [2]: 188)
Pungutan yang tidak ada dasar hukum Islamnya
disebut dengan ghulul (kecurangan).
Dan hal itu diharamkan. Firman Allah Swt:
]وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ[
Barangsiapa berbuat ghulul (curang terhadap harta) maka pada hari kiamat
ia akan datang membawa (harta) yang dicuranginya itu. (TQS. Ali Imran [3]: 161)
Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak
sebagai shahib al-maks, yaitu harta
(pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i. Pelakunya diganjar
dengan siksaan yang pedih dan kehinaan.
لا يدخل الجنة صاحب مكس
Tidak akan masuk surga orang-orang yang
memungut maks (yakni harta pungutan/retirbusi yang tidak syar’i).
Di dalam Islam pajak dengan pengertian seperti itu tidak
ada. Yang ada adalah dlaribah. Dlaribah adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum
Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang
diwajibkan atas mereka, pada saat kondisi di Baitul Mal tidak ada harta/uang1. Jadi, dlaribah
itu adalah pos pendapatan
yang diperoleh dari kaum Muslim untuk pembiayaan-pembiayaan yang bertujuan
untuk melayani kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak, sementara di
dalam Baitul Mal tidak ada uang. Artinya, pemasukan yang diperoleh dari
harta-harta milik umum (kaum Muslim) yang dikelola oleh negara sudah habis,
begitu juga yang menjadi pos-pos pendapatan negara (seperti ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, dan sebagainya) sedang tidak ada (karena habis digunakan),
sementara ada tuntutan untuk pembiayaan. Termasuk deposit harta zakat dan
sejenisnya, juga kosong. Pada kondisi seperti inilah negara Khilafah bisa
memungut dlaribah. Hanya saja besarnya pungutan dlaribah, tempo/waktu pungutan, dan
penggunaannya diatur oleh syariat Islam.
Dlaribah hanya boleh dilakukan pada saat kas negara (Baitul Mal)
kosong, dan di saat yang sama terdapat kebutuhan untuk pembiayaan. Dlaribah hanya ditujukan bagi
orang-orang (rakyat) yang mampu; tidak diwajibkan atas rakyat yang tidak mampu.
Dlaribah bisa dilakukan berkali-kali dalam satu tahun, selama
terdapat kebutuhan pembiayaan. Dlaribah bisa juga tidak pernah diterapkan selama puluhan atau
bahkan ratusan tahun, karena negara Khilafah memiliki anggaran dari pos-pos
pendapatan negara secara berlimpah. Dlaribah ditetapkan hanya sebatas kebutuhan pembiayaan untuk
saat itu ketika kas negara kosong, jadi tidak digunakan sebagai stand by capital (dana
cadangan untuk berjaga-jaga jika kas negara kosong).
Di dalam kehidupan bernegara, kebutuhan pembiayaan
sangatlah besar, sehingga bisa saja kas negara Khilafah tidak mampu
memenuhinya. Pada saat itu kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan dialihkan
dari negara (yang tidak mampu lagi waktu itu membiayainya karena kas kosong)
kepada kaum Muslim. Hal ini bisa dipahami karena kekuasaan itu sejatinya adalah
milik umat (as-sulthah lil ummah). Dan umatlah yang memilih dan mengangkat Khalifah
yang bertugas untuk mengatur dan memelihara mereka berdasarkan Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya. Dengan demikian, apabila Khalifah mengatakan bahwa di dalam
Baitul Mal –saat itu- tidak ada lagi harta/uang untuk membiayai pos-pos
pengeluaran yang menjadi tanggungannya, maka seakan-akan Khalifah mengembalikan
perkara (pemibiayaan) ini kepada kaum Muslim.
Disamping itu jika pos-pos pengeluaran tersebut tidak
segera dipecahkan dengan pembiayaan, maka dikhawatirkan akan muncul bencana
(kemudharatan) atas kaum Muslim dan negara Khilafah, karena tidak adanya harta
sama sekali. Padahal Rasulullah saw bersabda:
لاضرر ولا ضرار
Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan tidak
boleh (saling) membahayakan.
Allah Swt memberikan kepada
negara hak untuk memperoleh harta guna menutupi berbagai pos-pos pengeluaran
yang ada itu dari kaum Muslim.
Adapun penggunaan harta dlaribah
adalah:
1. Pembiayaan jihad fi sabilillah dan
seluruh perkara yang berhubungan dengan jihad. Misalnya untuk mobilisasi
pasukan, latihan militer, pengadaan peralatan militer, logistik dan sejenisnya.
Apalagi jihad merupakan kewajiban atas kaum Muslim, baik dengan jiwa, harta
maupun pendapat (tentang strategi perang).
2. Pembiayaan industri militer
dan seluruh industri penunjangnya yang memungkinkan negara Khilafah memiliki
industri persenjataan yang sangat kuat. Misalnya, industri pesawat terbang
tempur, pembom, pengangkut; galangan kapal selam nuklir, kapal induk, kapal
perusak, kapal penjelajah, kapal pengangkut pasukan dan persenjataan; kendaraan
tempur militer, tank baja, truk-truk militer; amunisi dan persenjataan canggih
yang mampu menggentarkan musuh; reaktor-reaktor tenaga nuklir yang mampu
menghasilkan bahan-bahan untuk membuat senjata nuklir; laboratorium-laboratorium
untuk mengembangkan persenjataan dan industri militer; pesawat angkasa luar
yang mengangkut dan mengembangkan satelit-satelit militer untuk keperluan
intelijen; perangkat-perangkat elektronik seperti radar, sonar, komunikasi; dan
logistik. Semua itu memerlukan pembiayaan yang sangat besar bagi negara
Khilafah yang menjalankan jihad fi sabilillah dan negaranya bersifat negara ideologis.
3. Pembiayaan fakir miskin
maupun ibnu sabil. Jika di dalam Baitul Mal tidak ada uang untuk itu, bahkan di
dalam pos penerimaan zakat juga kosong, maka kewajiban itu berpindah kepada
kaum Muslim.
4. Pembiayaan untuk gaji/upah
tentara, pegawai negeri, para hakim, para guru, tenaga paramedis, dan petugas
yang melayani kepentingan masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang –dalam kondisi
normal- memperoleh gaji dari Baitul Mal. Tugas mereka adalah untuk melayani
urusan dan kepentingan masyarakat, juga untuk menjaga eksistensi negara
Khilafah yang menjadi tempat tinggal bagi kaum Muslim. Oleh karena itu jika di
dalam Baitul mal tidak ada harta untuk menggaji mereka, kewajiban tersebut
dikembalikan kepada kaum Muslim berupa dlaribah.
5. Pembiayaan yang harus
dikeluarkan untuk kepentingan masyarakat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan.
Apabila tidak segera dicukupi, maka bahaya akan menimpa umat. Seperti
pembangunan sarana–sarana transportasi utama (jalan, alur sungai maupun rel
kereta api), pengadaan saluran air minum, listrik, rumah sakit, sekolah,
masjid, pasar, dan sejenisnya. Seluruh sarana ini untuk kepentingan masyarakat,
sehingga jika di dalam baitul Mal tidak ada uang untuk pembangunannya atau
pemeliharaannya, maka kewajiban itu dikembalikan kepada kaum Muslim.
Berdasarkan pemaparan ini,
fungsi dan kedudukan dlaribah di dalam sistem ekonomi Islam, adalah sebagai palang
pintu terakhir yang menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya
negara Khilafah. Bukan sebagai ujung tombak perekonomian, sebagaimana yang
terjadi di negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis.
Dengan demikian, negara Khilafah tidak akan memberlakukan
pungutan seperti pajak –yang selama ini dikenal-, apalagi jika Baitul Mal penuh
dengan harta, hasil dari dijalankannya hukum-hukum Islam tentang jihad,
pengelolan harta milik umum (kaum Muslim) maupun zakat. Sebab, pungutan yang
tidak syar’i adalah kecurangan (ghulul), dan pajak adalah tindakan zhalim! Dan negara
Khilafah tidak berdiri di atas kezhaliman dan ditopang oleh kesengsaran warga
negaranya.
0 Response to "PAJAK DI DALAM ISLAM"
Post a Comment