OPOSISI DALAM ISLAM
Dalam kehidupan politik sekular senantiasa ada
partai politik mayoritas yang biasanya memegang kekuasaan, dan partai-partai
oposisi yang biasanya minoritas. Antara dua kelompok partai ini senantiasa
terjadi pertarungan politik. Apakah di dalam kehidupan politik Islam hal
seperti itu ada? Dan bagaimana peranan partai politik dalam kehidupan Islam?
Di
dalam pemikiran politik Barat, ide oposisi politik bertitik tolak dari adanya
keharusan untuk menjamin hak-hak dan kebebasan individu rakyat. Ide oposisi
politik merupakan cerminan hak-hak individu, yang lahir dari ide bahwa
kedaulatan itu berada di tangan rakyat. Jadi, oposisi politik dianggap
mencerminkan kepentingan dan kehendak rakyat. Apabila karena satu dan lain hal
kebijakan pemerintah yang berkuasa tidak mengekspresikan kepentingan rakyat,
maka rakyat boleh menampakkan rasa tidak senangnya melalui jalan oposisi
politik1.
Menurut
para pemikir Barat, kekuasaan dan oposisi adalah dua saudara kembar yang tak
terpisahkan. Aktivitas pemerintahan dan kekuasan mengharuskan adanya
ketidaksamaan dan perbedaan, termasuk adanya ketidaksamaan antara penguasa dan
rakyat. Implikasinya adalah dimenangkannya kepentingan penguasa atas
kepentingan rakyat. Inilah yang mendorong adanya oposisi. Berdasarkan pemikiran
seperti ini, konstitusi negara-negara Barat membolehkan adanya aktivitas
oposisi berupa kegiatan politik, untuk memberi batasan terhadap kekuasaan
pemerintah. Oposisi, menurut mereka, semacam pengendali yang bisa mengatur atau
membatasi kesewenang-wenangan penguasa. Selain itu kekuasaan dibagi-bagi
menjadi tiga macam (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Apabila tiga
kekuasaan itu berada di tangan satu institusi dan satu orang , yakni penguasa,
maka pembatasan yang dilakukan aktivitas oposisi terlalu berat. Kedua hal itu
(yakni pemisahan kekuasaan menjadi tiga, dan adanya oposisi) merupakan sarana
yang bersifat kontinu untuk mengekspresikan ketidakpuasan rakyat terhadap
perilaku politik suatu pemerintahan2.
Konsep
oposisi Barat itu bertolak belakang dengan konsep mengenai amar ma’ruf nahi
munkar atau muhasabah lil hukkam (koreksi
terhadap penguasa) yang ada di dalam Islam. Di dalam kehidupan politik Barat,
pemikiran tentang oposisi berumber dari konsep bahwa kedaulatan itu berada di
tangan rakyat. Sedangkan di dalam Islam, konsep tentang amar ma’ruf nahi munkar
dan muhasabah lil hukkam itu bertumpu
pada prinsip bahwa kedaulatan berada di tangan Allah Swt. Oleh karenanya,
terdapat kontradiksi yang sangat tajam diantara keduanya. Hal itu tercermin
pada beberapa hal:
Pertama, di dalam pemikiran Barat,
oposisi bertolak dari konsep tentang pemeliharaan kebebasan dan pencegahan
kelaliman suatu rejim. Pada prakteknya, konsep tersebut sering ditunjukkan
dengan perilaku untuk melemahkan atau menggulingkan penguasa, menggantinya
dengan penguasa ‘yang lebih memperhatikan hak-hak dan kepentingan rakyat’, atau
yang lebih disukai rakyat. Sedangkan di dalam Islam, konsep amar ma’ruf nahi
munkar dan muhasabah lil hukkam
diposisikan sebagai sarana untuk memantapkan keterikatan penguasa terhadap
syariat Islam. Jadi, bertujuan untuk mencegah penyimpangan dan kehancuran
pelaksanaan sistem hukum Islam, sekaligus mencegah merajalelanya kerusakan dan
kezhaliman. Firman Allah Swt:
]السَّاجِدُونَ اْلآمِرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللهِ
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ[
Yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar, dan yang
memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. (TQS. at-Taubah [9]: 112)
Kedua, Islam menolak oposisi yang
bersifat kontinu bagi suatu rejim politik, atau dikenal dengan istilah ‘oposisi
untuk oposisi’. Karena di dalam Islam prinsip dasar urusan yang menyangkut
hubungan rakyat dan penguasa (yakni Khalifah) adalah ketaatan. Allah Swt
berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan
ulil amri (penguasa muslim yang menerapkan syariat Islam) diantara kamu. (TQS. an-Nisa [4]: 59)
Seorang Khalifah wajib ditaati oleh seluruh
rakyatnya. Sabda Rasulullah saw:
ومن أطاع أميري فقد أطاعني ومن عص أميري فقد عصاني
Siapa saja yang mentaati amir (pemimpin) berarti dia telah mentaatiku.
Dan siapa saja yang mendurhakai amir (pemimpin) berarti dia telah durhaka
kepadaku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Taat kepada penguasa (Khalifah) adalah wajib
bagi kaum Muslim. Ketaatan ini bukan didasarkan pada ketakutan terhadap
penguasa, atau dalam rangka menghindari munculnya kejahatan dan kerusakan, melainkan
didasarkan pada keimanan terhadap ajaran Islam, dan menjalankan perintah Allah
Swt.
Meskipun
demikian, ketaatan tersebut bukan ketaatan buta. Syariat Islam mensyaratkan
bahwa ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf, bukan dalam kemaksiatan kepada
Allah Swt dan Rasul-Nya. Dalam perkara maksiat tidak diperkenankan adanya
ketaatan. Rasulullah saw bersabda:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq (Allah
Swt). (HR. Ahmad dan Hakim)
الطاعة في المعروف
Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf. (HR. Bukhari dan Muslim)
Walhasil, mentaati penguasa (Khalifah) itu
diwajibkan atas kaum Muslim, selama penguasa tersebut menjalankan syariat
Islam. Tentu saja hal-hal yang ma’ruf itu bukan diukur harus sesuai dengan
keinginan dan kehendak rakyat sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi
sekular. Karena kebenaran (al-haq)
itu tidak ditimbang berdasarkan kehendak dan keinginan (mayoritas maupun
segelintir) rakyat, melainkan diukur berdasarkan timbangan syariat Islam.
Ketiga,
amar ma’ruf nahi munkar dan muhasabah lil
hukkam merupakan hak-hak politik setiap muslim, dan tergolong kewajiban
syar’i. Jika terjadi penyimpangan pada diri penguasa dan tidak ada seorang pun
kaum Muslim yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau muhasabah lil hukkam, maka seluruh masyarakat berdosa. Lain halnya
dengan ide oposisi politik, yang bertolak dari kepedulian individu untuk
meniadakan kelaliman penguasa, tanpa dikait-kaitkan dengan perintah dan
larangan Allah.
Berdasarkan
hal ini maka amar ma’ruf nahi munkar itu sangat bertentangan secara ideologis
dan praktis dengan konsep oposisi dalam kehidupan politik negara-negara dan
masyarakat demokrasi sekular. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban
syar’i atas kaum Muslim dan hak politik yang telah dilegislasi oleh Allah Swt.
Dari sini tampak bahwa di dalam masyarakat Islam, partisipasi politik
masyarakat telah dijadikan atmosfer yang sehari-hari dihirup oleh setiap warga
masyarakat secara real. Tujuan dari pelaksanaan partisipasi politik Islam
adalah dalam rangka mentaati perintah Allah Swt, membangun negara Khilafah yang
stabil dan kuat, serta menjaga secara kontinu penerapan syariat Islam secara
sempurna dan total. Bukan sekedar melakukan kritik ata beroposisi terhadap
penguasa karena anti kemapanan atau ketidaksukaan atau kepentingan politik
kelompoknya yang tidak memperoleh kursi kekuasaan.
0 Response to "OPOSISI DALAM ISLAM"
Post a Comment