Swasta Bebas Bangun Kilang, Harga Minyak Menjulang
Dakwah Media - “Menyedihkan, kita melihat bumi nusantara berada dalam cengkraman kapitalisme. Kaum kapitalis saling berebut, menguras kekayaan kita, mengendalikan kebijakan, menyebarkan ide-idenya, serta menyerang Islam dan kaum Muslim dari benteng dan sumbernya. Kami memohon kepada Allah agar segera membebaskan negeri kami dari dominasi kaum zalim, dan membantu kami untuk mendirikan negara Khilafah Islam ala minhājin nubuwah. Sangatlah mudah bagi Allah untuk mewujudkan semua itu.” Umar Syarifudin, Direktur Pusat Kajian Data dan Analisis (PKDA).
Mengutip laman kemenkeu.go.id, Senin 5 September 2016, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 129/PMK.08/2016 yang merupakan revisi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 265/PMK.08/2015, pemerintah telah menghilangkan beberapa pasal yang berkaitan dengan kewenangan tunggal badan usaha milik negara dalam pelaksanaan pembangunan kilang. Pasal yang dihapus tersebut antara lain Pasal 15 poin 1 yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dapat memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara tertentu untuk melaksanakan pembangunan kilang. Selain itu, di antara pasal 16 dan pasal 17, disisipkan dua pasal, yaitu pasal 16A dan pasal 16B yang salah satu poinnya mengatur kerja sama dengan lembaga internasional dalam rangka penyediaan fasilitas pada pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang minyak dalam negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya PMK yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 23 Agustus 2016 tersebut, maka Pertamina tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam setiap proyek kilang minyak yang akan dibangun oleh pemerintah.
Pemberian kesempatan bagi pihak swasta untuk membangun kilang minyak tersebut juga dikuatkan dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 35 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta. "Kami menerbitkan peraturan pembangunan pengelolaan minyak mentah dilakukan oleh swasta," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (23/11/2016). Jonan mengungkapkan, kesempatan swasta untuk membangun kilang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan energi dengan menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengurangi ketergantungan impor BBM. Ketentuan lain yang diatur di dalam Permen ESDM tersebut adalah pemerintah akan memberikan fasilitas insentif fiskal maupun non fiskal untuk meningkatkan kelayakan keekonomian. Untuk bahan baku kilang menurut Jonan dapat berasal dari impor sedang hasil produksinya dapat dijual ke luar negeri. Selain itu badan usaha swasta yang membangun kilang tersebut dapat ditunjuk langsung untuk menerima penugasan dalam mendistribusikan jenis BBM tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan di dalam negeri.
Kebutuhan minyak dalam negeri saat ini yaitu sebesar 1,6 juta barel perhari memang sulit dipenuhi oleh Pertamina. Menurut Vice President Pertamina, Wisnuntoro mengatakan, saat ini Pertamina hanya mempunyai 6 kilang minyak yang berusia rata-rata 15 tahun dengan kapasitas mengolah minyak sebesar 1,05 juta per hari. Selama itu pula, sambungnya, tidak ada kemajuan pembangunan kilang minyak di Indonesia yang mengakibatkan negara ini ketergantungan impor BBM. Karena itu menurut Wisnu, Pertamina akan berbenah menuju arah perbaikan, termasuk merevitalisasi maupun membangun kilang minyak bersama investor.
Banyak kalangan menilai kebijakan pemerintah ini telah mengancam kepentingan rakyat banyak. Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro seharusnya pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam mengimplementasikan regulasi tentang pembangunan kilang di dalam negeri, khususnya implementasi Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral ( ESDM ) Nomor 35 Tahun 2016. Alasannya, pembangunan kilang atau penggunaan kilang tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika disesuaikan dengan konstitusi maka kilang tersebut harus dikuasai negara.
Disamping itu alasan diterbitkannya peraturan menteri ESDM tersebut dalam rangka untuk mewujudkan ketahanan energi juga perlu dipertanyakan. Seperti diketahui Pertamina dengan Saudi Aramco telah melakukan Joint Venture Development Agreement (JV-DA) atas Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap yang dilakukan oleh Dirut Pertamina Dwi Soetjipto dan CEO Saudi Aramco Amin Nasser dan berlangsung di kantor pusat Pertamina Jakarta, 22 Desember 2016 lalu. Dengan mekanisme Joint Venture (JV) tersebut Pertamina akan mendapatkan share keuntungan 55% dan 45% untuk Saudi Aramco akan tetapi sebagai imbalannya aset-aset Pertamina di kilang Cilacap yaitu berupa kilang minyak RFCC (Residual Fluid Catalytic Cracking) dan PLBC (Proyek Langit Biru Cilacap) akan ikut terlikuidasi dan tergadaikan menjadi milik JV selama umur kilang yaitu 50 tahun. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan arah pengembangan bisnis migas yang harus mengutamakan prinsip-prinsip untuk kepentingan rakyat banyak, dengan tujuan memperkuat kedaulatan energi nasional, melalui Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan migas nasional. Maka jika dikatakan salah satu alasan dikeluarkan peraturan menteri ESDM adalah untuk ketahanan energi tetapi pada satu sisi kenyataannya penguasaan minyak dan proses kilang minyak diserahkan kepada pihak swasta maka hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsisten dengan apa yang telah diputuskannya.
Dampak yang paling nyata dari keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan kilang minyak dengan segala kemudahan yang diberikan termasuk di dalamnya proses distribusi BBM di dalam negeri berakibat pada penetapan harga BBM. Indikasi hal ini mungkin bisa dirasakan di awal tahun 2017 ini, rakyat mendapatkan kado pahit berupa kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM Jenis Umum, yakni selain Premium RON 88, ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur Pemasaran PT Pertamina Nomor Kpts-002/F00000/2017-S3 dan 003/F00000/2017-S3 tanggal 4 Januari 2017 dan mulai berlaku pada pukul 00.00 tanggal 5 Januari 2017 dengan kenaikan sebesar Rp 300 perliter dan harga yang berbeda-beda di setiap wilayah. Kenaikan ini dilakukan dengan alasan kenaikan harga minyak dunia. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat ini yang sejatinya menjadi pemilik kekayaan alam di Indonesia berupa minyak dan gas yang terkandung didalamnya.
Meski migas hakikatnya milik rakyat, kenyataannya 85% ladang minyak dan gas dikuasai oleh pebisnis asing. Semua sumber gas bumi dengan cadangan besar juga telah dikuasai modal asing. Sebagai contoh ada 28 Blok lapangan Migas di Jatim, yang 90%-nya dikuasai oleh korporasi. Blok Cepu dikuasasi Exxon. Blok Pangkah di Kabupaten Gresik dikuasai Amerada Hess. Di Perairan Sampang Madura dikuasai Santos Oyong Australia. Di Tuban-Bojonegoro-Lamongan dan Gresik dikuasasi Petrochina dan lain lain. Kebijakan pemberian hak bagi pihak swasta untuk pengelolaan minyak dan gas selama ini termasuk di dalamnya pembangunan kilang merupakan bentuk konsekuensi dari sistem ekonomi liberal kapitalis. Dimana posisi negara hanyalah sebatas regulator dan fasilitator. Pemerintah melepaskan tanggungjawabnya sebagai pelayan rakyat yang seharusnya mengurusi agar terpenuhinya kebutuhan rakyat. Pemerintah justru memposisikan dirinya sebagai penyedia jasa, sementara masyarakat adalah pengguna jasa yang harus membayar kepada Pemerintah. Hubungan negara dengan rakyat akhirnya seperti hubungan pedagang dan pembeli, bukan hubungan pelayan dan yang dilayani. Rakyat harus membayar harga atau biaya pelayanan yang disediakan oleh negara. Berikutnya, harga atau biaya itu akan disesuaikan indikator ekonomi dan harga pasar. Alasan harus ada penyesuaian dengan inflasi, karena harga komponennya naik, atau alasan biaya naik agar pelayanan lebih baik, adalah cerminan dari cara pandang komersial. Sungguh terlalu!
Oleh : Lukman Noerochim, Ph.D (LKI DPD HTI Jatim / Dosen Teknik Material ITS Surabaya)
0 Response to "Swasta Bebas Bangun Kilang, Harga Minyak Menjulang"
Post a Comment