Ahok terlalu istimewa untuk dinonaktifkan?
Dakwah Media - Pada 11 Februari, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan menyelesaikan masa cutinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia mulai kembali beraktivitas di Balai Kota DKI Jakarta pada tanggal 13 Februari 2017.
Publik pun menanti komitmen Mendagri Tjahjo Kumolo yang berjanji akan memberhentikan Ahok jika masa cuti berakhir dan surat pemberitahuan resmi dari pengadilan negeri. Tjahjo pun menjelaskan jika yang membedakan Ahok dengan beberapa gubernur sebelumnya seperti Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah, Gubernur Riau Annas Maamun, dan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho (yang segera dinonaktifkan) adalah karena Ahok berstatus cuti kampanye saat ditetapkan sebagai tersangaka.
Jika merujuk ke peraturan perundang-undangan, Pasal 84 UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pokoknya adalah presiden atau menteri memberhentikan sementara kepala daerah jika tersangkut permasalahan dan masuk ke proses persidangan selambat-lambatnya selama 30 hari terhitung sejak menerima salinan nomor perkara dari pengadilan negeri.
Apabila putusan pengadilan menyatakan bersalah, maka kepala daerah akan diberhentikan dari jabatannya. Sementara itu, apabila dinyatakan tidak bersalah, maka presiden atau menteri harus merehabilitasi kepala daerah yang dimaksud.
Yang membuat isu ini kembali disorot adalah pernyataan Ahok yang dengan percaya diri akan menggelar rapat pimpinan (Rapim) begitu masa cuti habis.
"Begitu masuk, kita lihat angka indikator jelas supaya yang malas diturunkan. Supaya yang rajin ada kesempatan bisa naik," katanya di Kampung Dalam, Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (6/2).
Kedua, pernyataan Tjahjo terbaru bahwa dia baru akan memberhentikan Ahok setelah menunggu keputusan jaksa. Apabila Jaksa Penuntut Umum menuntut lima tahun penjara, Ahok baru akan diberhentikan selama setahun.
Pernyataan Tjahjo ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai cara mengulur-ulur waktu untuk menonaktifkan Ahok. Wakil Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Ade Irfan Pulungan bahkan menyebut Tjahjo mengistimewakan Ahok.
Dia menyebut perlakuan ini sangat berbeda ketika Tjahjo dengan cepat memberhentikan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviandi yang baru menyandang status tersangka dalam kasus pidana. Padahal, saat ini, Ahok sudah menjalani 9 kali sidang. Oleh karena itu, ACTA mengancam dengan somasi kepada Tjahjo supaya segera memberhentikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. ACTA mengancam akan memproses hukum bila Kemendagri tidak melakukan upaya pemberhentian Ahok dalam waktu 3X24 jam.
Yang juga menjadi pertanyaan publik adalah mengapa Tjahjo musti menunggu tuntutan jaksa, padahal Ahok dikenai pasal penistaan Agama yang ancamannya 5 tahun kurungan. Pertanyaan kedua adalah mengapa jaksa atau hakim tidak berkirim surat resmi ke Mendagri soal ini (jika memang belum).
Kalau mau berpegang pada aturan, Tjahjo memang sudah seharusnya memberhentikan Ahok. Pasalnya, apa yang dilakukan Tjahjo yang terkesan mengulur-ulur waktu dapat dinilai sebagai penganakemasan Ahok. Martin Luther King, Jr (1929-1968) mengingatkan, “Ketidakadilan di suatu tempat adalah ancaman terhadap keadilan di mana pun.”
Bermain-main di bawah bayang-bayang hukum dan pengadilan adalah kekejaman khas para tiran. Seharusnya pemerintah memahami hal ini dengan tidak berubah-ubah dalam pernyataan terkait Ahok dan perbedaan perlakuan antara kepala-kepala daerah lain yang menyandang status tersangka dengan Ahok, kecuali Ahok memang terlalu istimewa. Lalu, apakah jika istimewa lantas hukum harus ditabrak?
Kita khawatir jika pengistimewaan yang dituduhkan tim ACTA benar adanya. Sebab, ini hal ini suatu saat bisa menjadi bahan bakar lain untuk memanaskan situasi. Rakyat ingin kondisi damai dalam naungan keadilan tanpa lirikan-lirikan nakal dalam proses peradilan. Kata filsuf agung Aristoteles, “Dalam kondisi terbaik, manusia adalah yang paling mulia dari seluruh binatang; jauh dari hukum dan keadilan, dia adalah binatang yang paling buruk.” [rnc]
Related
Apabila putusan pengadilan menyatakan bersalah, maka kepala daerah akan diberhentikan dari jabatannya. Sementara itu, apabila dinyatakan tidak bersalah, maka presiden atau menteri harus merehabilitasi kepala daerah yang dimaksud.
Yang membuat isu ini kembali disorot adalah pernyataan Ahok yang dengan percaya diri akan menggelar rapat pimpinan (Rapim) begitu masa cuti habis.
Kedua, pernyataan Tjahjo terbaru bahwa dia baru akan memberhentikan Ahok setelah menunggu keputusan jaksa. Apabila Jaksa Penuntut Umum menuntut lima tahun penjara, Ahok baru akan diberhentikan selama setahun.
Pernyataan Tjahjo ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai cara mengulur-ulur waktu untuk menonaktifkan Ahok. Wakil Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Ade Irfan Pulungan bahkan menyebut Tjahjo mengistimewakan Ahok.
Dia menyebut perlakuan ini sangat berbeda ketika Tjahjo dengan cepat memberhentikan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviandi yang baru menyandang status tersangka dalam kasus pidana. Padahal, saat ini, Ahok sudah menjalani 9 kali sidang. Oleh karena itu, ACTA mengancam dengan somasi kepada Tjahjo supaya segera memberhentikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. ACTA mengancam akan memproses hukum bila Kemendagri tidak melakukan upaya pemberhentian Ahok dalam waktu 3X24 jam.
Yang juga menjadi pertanyaan publik adalah mengapa Tjahjo musti menunggu tuntutan jaksa, padahal Ahok dikenai pasal penistaan Agama yang ancamannya 5 tahun kurungan. Pertanyaan kedua adalah mengapa jaksa atau hakim tidak berkirim surat resmi ke Mendagri soal ini (jika memang belum).
Kalau mau berpegang pada aturan, Tjahjo memang sudah seharusnya memberhentikan Ahok. Pasalnya, apa yang dilakukan Tjahjo yang terkesan mengulur-ulur waktu dapat dinilai sebagai penganakemasan Ahok. Martin Luther King, Jr (1929-1968) mengingatkan, “Ketidakadilan di suatu tempat adalah ancaman terhadap keadilan di mana pun.”
Bermain-main di bawah bayang-bayang hukum dan pengadilan adalah kekejaman khas para tiran. Seharusnya pemerintah memahami hal ini dengan tidak berubah-ubah dalam pernyataan terkait Ahok dan perbedaan perlakuan antara kepala-kepala daerah lain yang menyandang status tersangka dengan Ahok, kecuali Ahok memang terlalu istimewa. Lalu, apakah jika istimewa lantas hukum harus ditabrak?
Kita khawatir jika pengistimewaan yang dituduhkan tim ACTA benar adanya. Sebab, ini hal ini suatu saat bisa menjadi bahan bakar lain untuk memanaskan situasi. Rakyat ingin kondisi damai dalam naungan keadilan tanpa lirikan-lirikan nakal dalam proses peradilan. Kata filsuf agung Aristoteles, “Dalam kondisi terbaik, manusia adalah yang paling mulia dari seluruh binatang; jauh dari hukum dan keadilan, dia adalah binatang yang paling buruk.” [rnc]
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Ahok terlalu istimewa untuk dinonaktifkan?"
Post a Comment