Freeport Sungguh Terlalu
Dakwah Media - Selama kurun waktu empat tahun PT. Freeport tidak pernah membayar tunggakan pajak air kepada pemerintah daerah setempat. Terhitung selama 2011-2015 PT. Freeport menunggak pajak sebesar Rp 3,4 Triliun. Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, Freeport menunggak pajak penggunaan air permukaan selama kurun waktu empat tahun. Pengenaan pajak ini karena Freeport memakai air di Sungai Ajkwa di Papua untuk menahan endapan tailing (residu tambang), dilansir katada.co.id (27/1).
Pemerintah Papua telah beberapa kali menagih tunggakan pajak PT. Freeport, namun perusahaan milik Amerika Serikat itu enggan untuk menanggapinya. Akibat perbuatan perusahaan tersebut Pemerintah Daerah melaporkan ke pengadilan pajak Indonesia. Pengadilan pajak Indonesia pada tanggal 17 Januari 2017 telah memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh PT Freeport Indonesia berkaitan pajak air permukaan dan wajib membayar tunggakan pajaknya, baik pokok dan dendanya sebesar kurang lebih Rp 3,4 triliun kepada Pemerintah Provinsi Papua. Itu harus segera diselesaikan,” ujar Lukas, dalam konferensi pers di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat dilansir oleh jpnn.com(27/1).
Adanya perusahaan tambang tersebut nampaknya semakin mesengsarakan rakyat Papua. Dana sebesar 3,4 triliun seharusnya menjadi pemasukan APBD yang nantinya digunakan sebagai pemenuhan fasilitas dearah tersebut. Namun akibat tidak profesionalitas PT. Freeport mengakibatkan pembangunan daerah mengalami perlambatan. Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyebutkan pendapatan daerahnya terus terpuruk karena perusahan-perusahaan tambang, seperti PT Freeport Indonesia, enggan membayar pajak kepada daerah. Lukas mendesak pemerintah pusat memasukan aspek kepentingan Papua dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). “Kita mau dalam Undang-Undang Minerba kita dimasukan ke dalam bab tersendiri, ada pasal tentang kita. Kita miskin gara-gara ini. Kita punya potensi luar biasa, tapi sembarang saja orang kerja bertahun-tahun seperti ini,” dilansir up-News.com (29/1)
Kesengsaraan rakyat Papua semakin membuka tabir bahwa adanya perusahaan tambang asal AS tersebut tidak memberikan jaminan peningkatan mutu kualitas hidub masyarakat disana. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan ternyata hanya fiksi dari mulut ke mulut para pejabat tambang tersebut. Awal dari penjarahan emas pada tahun 1967 hingga sekarang ini ternyata tidak membuahkan hasil signifikan.
Kemiskinan di Papua menjadi permasalahan yang mendarah daging. Hal tersebut dibuktikan dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Papua No. 37/ 07/ 94/ Th.VIII, 18 Juli 2016 menyatakan bahwa persentase, penduduk miskin di Papua selama enam bulan terakhir mengalami kenaikan sebesar 0,14 persen poin yaitu dari 28,40 persen pada September 2015 menjadi 28,54 persen pada Maret 2016.
Pada faktanya ternyata keberadaan perusahaan PT. Freeport menjadi malapetaka di tanah cendrawasih. Tidak hanya dinilai kurang professional, perusahaan tersebut menjadi aktor utama kerusakan lingkungan. Dampak yang dihasilkan secara kasat mata akibat limbah Freeport tidak kalah menakjubkan. Produksi tailing yang mencapai 220 ribu ton per hari dalam waktu 10 tahun terakhir menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah (wetland) seluas 120 ribu hektar, Freeport masih akan beroperasi hingga tahun 2041. Jika tingkat produksinya tetap, maka akan mencapai 225.000 hingga 300.000 ton bijih per hari. Selain itu, Freeport juga tidak mampu mengolah limbahnya baik limbah batuan (Waste Rock), tailing hingga air asam tambang (Acid Mine Drainage). dilansir oleh Jaringan Peneliti KTI (29/11/14).
Sangat jelas bahwa keberadaan Freeport menjadi bentuk penjajahan gaya baru. Neo-Imperealisme semakin nampak dihadapan kita. Beberapa kebijakan dinilai sangat tidak logis, dengan kerjasama kontrak karya pemerintah hanya mendapatkan royalti sebesar 4 persen. Padahal keberadaan PT Freeport berdiri diatas tanah nusantara, tanah para bumiputera dan tanah kita sendiri, namun kebijakan ini sungguh tidak berpihak pada rakyat. Anehnya mereka di berikan hadiah berupa keleluasaan untuk menjarah dengan RUU Minerba.
Permasalahan Papua tidak akan terselesaikan apabila perusahaan asing masih diberikan leluasa untuk meng-eksploitasi secara berlebihan. Pemerintah harus memiliki kewibawaan dalam mengatur perusahaan asing tersebut, tidak malah memberikan persetujuan kongkalikong untuk melegalkan mereka mengeruk dan menghabisi SDA di negeri ini terutama di tanah Papua. Bukan karena investasi yang menggiurkan menjadi sebab perusahaan tersebut terus beroprasi. Akhirnya rakyat hanya menikmati buih-buih kepalsuan dari omongan palsu pemerintah yang kapitalis.
Freeport merupakan media penjajahan gaya baru. Penjajahan dalam bentuk investasi untuk mempertahankan perusahaan tersebut. Pemerintah korup berlomba-lomba untuk berinvesatasi demi kepentingan masing-masing. Maka sudah seharunya rakyat bangkit untuk melakukan konfrontasi bahwa akar masalahnya ada pada sistem yang kapitalis. Sistem yang dibuat dari asas-asas kepentingan semata. Apabila ini dipertahankan maka bisa jadi bumi Papua akan semakin terpuruk dalam pusaran penjajahan.
Oleh : Taufik Setia Permana – (Analis di Pusat kajian data dan Analisis - PKDA)
Pemerintah Papua telah beberapa kali menagih tunggakan pajak PT. Freeport, namun perusahaan milik Amerika Serikat itu enggan untuk menanggapinya. Akibat perbuatan perusahaan tersebut Pemerintah Daerah melaporkan ke pengadilan pajak Indonesia. Pengadilan pajak Indonesia pada tanggal 17 Januari 2017 telah memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh PT Freeport Indonesia berkaitan pajak air permukaan dan wajib membayar tunggakan pajaknya, baik pokok dan dendanya sebesar kurang lebih Rp 3,4 triliun kepada Pemerintah Provinsi Papua. Itu harus segera diselesaikan,” ujar Lukas, dalam konferensi pers di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat dilansir oleh jpnn.com(27/1).
Adanya perusahaan tambang tersebut nampaknya semakin mesengsarakan rakyat Papua. Dana sebesar 3,4 triliun seharusnya menjadi pemasukan APBD yang nantinya digunakan sebagai pemenuhan fasilitas dearah tersebut. Namun akibat tidak profesionalitas PT. Freeport mengakibatkan pembangunan daerah mengalami perlambatan. Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyebutkan pendapatan daerahnya terus terpuruk karena perusahan-perusahaan tambang, seperti PT Freeport Indonesia, enggan membayar pajak kepada daerah. Lukas mendesak pemerintah pusat memasukan aspek kepentingan Papua dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). “Kita mau dalam Undang-Undang Minerba kita dimasukan ke dalam bab tersendiri, ada pasal tentang kita. Kita miskin gara-gara ini. Kita punya potensi luar biasa, tapi sembarang saja orang kerja bertahun-tahun seperti ini,” dilansir up-News.com (29/1)
Kesengsaraan rakyat Papua semakin membuka tabir bahwa adanya perusahaan tambang asal AS tersebut tidak memberikan jaminan peningkatan mutu kualitas hidub masyarakat disana. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan ternyata hanya fiksi dari mulut ke mulut para pejabat tambang tersebut. Awal dari penjarahan emas pada tahun 1967 hingga sekarang ini ternyata tidak membuahkan hasil signifikan.
Kemiskinan di Papua menjadi permasalahan yang mendarah daging. Hal tersebut dibuktikan dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Papua No. 37/ 07/ 94/ Th.VIII, 18 Juli 2016 menyatakan bahwa persentase, penduduk miskin di Papua selama enam bulan terakhir mengalami kenaikan sebesar 0,14 persen poin yaitu dari 28,40 persen pada September 2015 menjadi 28,54 persen pada Maret 2016.
Pada faktanya ternyata keberadaan perusahaan PT. Freeport menjadi malapetaka di tanah cendrawasih. Tidak hanya dinilai kurang professional, perusahaan tersebut menjadi aktor utama kerusakan lingkungan. Dampak yang dihasilkan secara kasat mata akibat limbah Freeport tidak kalah menakjubkan. Produksi tailing yang mencapai 220 ribu ton per hari dalam waktu 10 tahun terakhir menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah (wetland) seluas 120 ribu hektar, Freeport masih akan beroperasi hingga tahun 2041. Jika tingkat produksinya tetap, maka akan mencapai 225.000 hingga 300.000 ton bijih per hari. Selain itu, Freeport juga tidak mampu mengolah limbahnya baik limbah batuan (Waste Rock), tailing hingga air asam tambang (Acid Mine Drainage). dilansir oleh Jaringan Peneliti KTI (29/11/14).
Sangat jelas bahwa keberadaan Freeport menjadi bentuk penjajahan gaya baru. Neo-Imperealisme semakin nampak dihadapan kita. Beberapa kebijakan dinilai sangat tidak logis, dengan kerjasama kontrak karya pemerintah hanya mendapatkan royalti sebesar 4 persen. Padahal keberadaan PT Freeport berdiri diatas tanah nusantara, tanah para bumiputera dan tanah kita sendiri, namun kebijakan ini sungguh tidak berpihak pada rakyat. Anehnya mereka di berikan hadiah berupa keleluasaan untuk menjarah dengan RUU Minerba.
Permasalahan Papua tidak akan terselesaikan apabila perusahaan asing masih diberikan leluasa untuk meng-eksploitasi secara berlebihan. Pemerintah harus memiliki kewibawaan dalam mengatur perusahaan asing tersebut, tidak malah memberikan persetujuan kongkalikong untuk melegalkan mereka mengeruk dan menghabisi SDA di negeri ini terutama di tanah Papua. Bukan karena investasi yang menggiurkan menjadi sebab perusahaan tersebut terus beroprasi. Akhirnya rakyat hanya menikmati buih-buih kepalsuan dari omongan palsu pemerintah yang kapitalis.
Freeport merupakan media penjajahan gaya baru. Penjajahan dalam bentuk investasi untuk mempertahankan perusahaan tersebut. Pemerintah korup berlomba-lomba untuk berinvesatasi demi kepentingan masing-masing. Maka sudah seharunya rakyat bangkit untuk melakukan konfrontasi bahwa akar masalahnya ada pada sistem yang kapitalis. Sistem yang dibuat dari asas-asas kepentingan semata. Apabila ini dipertahankan maka bisa jadi bumi Papua akan semakin terpuruk dalam pusaran penjajahan.
Oleh : Taufik Setia Permana – (Analis di Pusat kajian data dan Analisis - PKDA)
0 Response to "Freeport Sungguh Terlalu"
Post a Comment