Manipulation of Democracy
Dakwah Media - Seperti yang sudah-sudah, beban subsidi adalah alasan yang dikemukakan pemerintah mengapa diterapkan kebijakan kenaikkan TDL. Bila dicermati lebih dalam, apa yang dikemukakan pemerintah tersebut, tak lain dan tak bukan merupakan manifestasi dari prinsip berfikir sekuler kapitalistik. Prinsip berfikir ini kemudian dijadikan landasan berfikir dan berkebijakan dalam pengelolaan energi. Yakni prinsip bahwa harta milik umum, khususnya listrik harus dikomersialkan sekalipun kepada masyarakat. Demikianlah yang dicanangkan GATS (General Agreemant Trade and Services).
Lebih jauh lagi, sebelum kebijakan kenaikan TDL, prinsip kapitalisme/liberalisme dalam pengelolaan listrik telah diterapkan pemerintah melalui kebijakan unbundling (pemecahan) PLN baik secara vertikal (pembangkit sampai dengan ritail) maupun horizontal (berdasarkan geografis), sehingga korporasi leluasa memperdagangkan hajat hidup masyarakat yang satu ini dari hulu (pembangkit) sampai ke hilir (ritail). Hal inilah yang ditengarai menjadi pemicu besarnya biaya produksi listrik.
Sistem politik demokrasi yang menjadi kekuasaan sebagai objek bisnis dan biaya politik yang mahal, telah menciptakan iklim kerakusan dan arogansi di kalangan penguasa dan aparatnya. Tidak heran bila penguasa dan aparatnya sulit berempati terhadap penderitaan masyarakat. Disamping itu yang tak kalah bermasalah lagi adalah kompetensi kepemimpinan yang dimiliki. Kondisi ini diperburuk oleh hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, korupsi terus merajalela, inefisiensi kerja terus berlangsung di tubuh PLN. Inilah realitas demokrasi.
Demokrasi telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan, permainan ini dimainkan oleh segelintir orang yang mengklaim dirinya wakil rakyat atau pemerintah dipilih oleh mayoritas rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan rakyat. Disisi lain, rakyat terus diancam teror kenaikan listrik, BBM, air, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok mereka lainnya. Tindakan anti rakyat ini meneruskan kebijakan elit sebelumnya yang menaikkan BBM, mengeluarkan UU pro pasar yang mensengsarakan rakyat (UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU BHP dll) . Ironisnya, teror terhadap rakyat ini seperti kenaikan TDL dilegalisasi oleh DPR. Ketika ada usulan yang sebenarnya sangat meringankan rakyat: listrik gratis, malah ditolak DPR. Bahkan dengan alasan yang sangat konyol : kalau listrik gratis , rakyat malas bekerja. Meskipun tarif pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik, namun yang pasti ada efek domino dari kenaik TDL , yang tetap saja akan berpengaruh pada beban ekonomi rakyat kecil.
Politik transaksional ini kemudian didominasi oleh tawar menawar kekuasaan dan saling mengancam yang berujung pada saling damai untuk kepentingan segelintir elit. Kasus Century yang tadinya demikian panas dan menelan dana rakyat 2,5 milyar ini melempem, tidak jelas nasibnya. KPK yang tadinya sangat diharapkan malah mengatakan belum ada indikasi korupsi, padahal keputusan DPR jelas-jelas menyatakan ada penyimpangan. Yang jelas ‘solusi’ Century ini menyelamatkan elit politik yang berkuasa. Presiden SBY tidak tersentuh, Boediono aman, Srimulyani selamat, Ical senang. Sementara rakyat gigit jari.
Lobi dan korupsi ini pula yang membuat tatanan hukum kita amburadul dan hancur-hancuran. Dalam kasus penyuapan BI, yang disuap dihukum , sementara yang menyuap masih aman. Susno yang mengangkat kasus korupsi di kepolisian malah dijadikan terdakwa , sebaliknya yang dituduh korupsi belum tersentuh. Sistem demokrasi ini kemudian melahirkan sistem yang korup disemua lembaga (eksekutif,legislatif, dan yudikatif).
Sakitnya demokrasi ini, jelas bukan sekedar kasuistis atau penyimpangan dari demokrasi, tapi cacat bawaan demokrasi. Yang paling mendasar adalah ketika demokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan asumsi suara mayoritas rakyat adalah kebenaran, suara rakyat sama dengan suara Tuhan. Padahal bagaimana bisa dikatakan benar ketika mayoritas suara rakyat di Amerika bagian selatan pada abad ke 19 mendukung perbudakan, sebagian besar rakyat Jerman memilih Hitler dan mendukung undang-undang Nuremburg pada tahun 1930-an. Atas nama suara rakyat pula jilbab dilarang di Perancis. Pengiriman pasukan Perang ke Irak, Afghanistan, dukungan terhadap Israel juga lewat proses demokrasi AS.
Oleh: Sudarmaji, SE. Sy. (Jombang)
Lebih jauh lagi, sebelum kebijakan kenaikan TDL, prinsip kapitalisme/liberalisme dalam pengelolaan listrik telah diterapkan pemerintah melalui kebijakan unbundling (pemecahan) PLN baik secara vertikal (pembangkit sampai dengan ritail) maupun horizontal (berdasarkan geografis), sehingga korporasi leluasa memperdagangkan hajat hidup masyarakat yang satu ini dari hulu (pembangkit) sampai ke hilir (ritail). Hal inilah yang ditengarai menjadi pemicu besarnya biaya produksi listrik.
Sistem politik demokrasi yang menjadi kekuasaan sebagai objek bisnis dan biaya politik yang mahal, telah menciptakan iklim kerakusan dan arogansi di kalangan penguasa dan aparatnya. Tidak heran bila penguasa dan aparatnya sulit berempati terhadap penderitaan masyarakat. Disamping itu yang tak kalah bermasalah lagi adalah kompetensi kepemimpinan yang dimiliki. Kondisi ini diperburuk oleh hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, korupsi terus merajalela, inefisiensi kerja terus berlangsung di tubuh PLN. Inilah realitas demokrasi.
Demokrasi telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan, permainan ini dimainkan oleh segelintir orang yang mengklaim dirinya wakil rakyat atau pemerintah dipilih oleh mayoritas rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan rakyat. Disisi lain, rakyat terus diancam teror kenaikan listrik, BBM, air, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok mereka lainnya. Tindakan anti rakyat ini meneruskan kebijakan elit sebelumnya yang menaikkan BBM, mengeluarkan UU pro pasar yang mensengsarakan rakyat (UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU BHP dll) . Ironisnya, teror terhadap rakyat ini seperti kenaikan TDL dilegalisasi oleh DPR. Ketika ada usulan yang sebenarnya sangat meringankan rakyat: listrik gratis, malah ditolak DPR. Bahkan dengan alasan yang sangat konyol : kalau listrik gratis , rakyat malas bekerja. Meskipun tarif pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik, namun yang pasti ada efek domino dari kenaik TDL , yang tetap saja akan berpengaruh pada beban ekonomi rakyat kecil.
Politik transaksional ini kemudian didominasi oleh tawar menawar kekuasaan dan saling mengancam yang berujung pada saling damai untuk kepentingan segelintir elit. Kasus Century yang tadinya demikian panas dan menelan dana rakyat 2,5 milyar ini melempem, tidak jelas nasibnya. KPK yang tadinya sangat diharapkan malah mengatakan belum ada indikasi korupsi, padahal keputusan DPR jelas-jelas menyatakan ada penyimpangan. Yang jelas ‘solusi’ Century ini menyelamatkan elit politik yang berkuasa. Presiden SBY tidak tersentuh, Boediono aman, Srimulyani selamat, Ical senang. Sementara rakyat gigit jari.
Lobi dan korupsi ini pula yang membuat tatanan hukum kita amburadul dan hancur-hancuran. Dalam kasus penyuapan BI, yang disuap dihukum , sementara yang menyuap masih aman. Susno yang mengangkat kasus korupsi di kepolisian malah dijadikan terdakwa , sebaliknya yang dituduh korupsi belum tersentuh. Sistem demokrasi ini kemudian melahirkan sistem yang korup disemua lembaga (eksekutif,legislatif, dan yudikatif).
Sakitnya demokrasi ini, jelas bukan sekedar kasuistis atau penyimpangan dari demokrasi, tapi cacat bawaan demokrasi. Yang paling mendasar adalah ketika demokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan asumsi suara mayoritas rakyat adalah kebenaran, suara rakyat sama dengan suara Tuhan. Padahal bagaimana bisa dikatakan benar ketika mayoritas suara rakyat di Amerika bagian selatan pada abad ke 19 mendukung perbudakan, sebagian besar rakyat Jerman memilih Hitler dan mendukung undang-undang Nuremburg pada tahun 1930-an. Atas nama suara rakyat pula jilbab dilarang di Perancis. Pengiriman pasukan Perang ke Irak, Afghanistan, dukungan terhadap Israel juga lewat proses demokrasi AS.
Oleh: Sudarmaji, SE. Sy. (Jombang)
0 Response to "Manipulation of Democracy "
Post a Comment