RE-POLUSI PILKADA DKI
Dakwah Media - Jakarta panas dan penuh sesak. Gaduh tak pernah teduh. Berisik karena semua pada bisik-bisik. Februari bukan lagi bulan cinta, tapi bulan penuh tanda tanya. Siapakah kiranya yang akan memenangkan ‘kursi panas’ DKI-1. Menjelang 15 Februari 2017 publik pun bersiap-siap. Tim sukses dan pasangan calon sudah menyiapkan jurus maut menggaet rakyat. Debat calon pun sudah digelar dengan hingar-bingar.
Kursi DKI-1 adalah tangga menuju Indonesia-1. Joko Widodo sudah membuktikannya. Siapa sangka mantan walikota Solo itu akan menjadi nomor satu di Indonesia. Dunia pun tak kuasa menahan keheranannya. Jokowi berhasil mengukir sejarah sebagai penguasa karir dari daerah hingga Jakarta, bahkan Indonesia. Apalah dikata, politik Jakarta senantiasa menarik untuk dikuti hingga detik akhirnya.
Re-polusi
Sistem politik Indonesia baru pada dekade ini mengalami pencemaran. Bisa dikata terkotori oleh tindakan culas dan penuh intrik kebohongan. Jika uap kendaraan dan industri mengotori langit Jakarta. Sampai-sampai ada gerakan pecinta lingkungan dalam penghijauan. Maka ‘polusi’ politik Jakarta kian membuktikan bahwa politik dalam demokrasi tidak akan menemukan bentuk ideal. Justru yang terjadi politik demokrasi membawa manusia ke jurang liberal dan bisa menjadi ‘berandal’.
Beberapa pihak menegarai bahwa pilkada DKI dipenuhi kecurangan dan sudah tidak lagi fair. Prabowo Subianto berkali-kali menyatakan itu. Bahkan, beberapa tim sukses telah menemukan kecurangan di lapangan. Ada pula yang sudah menyatakan bahwa jika si A menang, berarti dia curang. Karena secara fakta publik tidak menghendakinya. Banyak pula penyalagunaan wewenang. Bongkar-bongkar dan saling lapor pun tiada terelakan. Penyelanggara Pemilu, meski berpijak pada konstitusi dan UU tak mampu berbuat banyak. Akhirnya terjadinya apa yang terjadi. Sesama anak bangsa tak lagi sebagai mitra. Justru sebagai musuh bebuyutan seperti setan.
Publik di Indonesia pun dibuat geleng kepala melihat tingkah pola calon DKI-1. Banyak kata-kata lucu dan meme di sosial media menggambarkan pasangan cagub. Singkatan paslon dibuat semenarik mungkin untuk menyihir konstituen. Pertarungan kelas bintang ditunjukan di dunia nyata dan maya. Jika melihatnya terkadang menarik, lucu, hingga tergelitik. Sebegitunya kah membela paslon sampai titik darah penghabisan. Karenanya pilkada langsung dan peristiwa politik dalam sistem demokrasi telah memberikan dampak negatif kehidupan. Bahkan mengotori dan terkadang menyesatkan.
Dilema Problematis
Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Jakarta mengalami dua masalah.
Pertama, politik demokrasi tak memberikan ruang bagi mereka untuk menentukan pemimpin sesuai quran dan sunnah. Upaya menolak pemimpin kafir pun sudah menggema sejak dua tahun lamanya. Aksi-aksi hingga promosi sudah gencar di dunia maya dan nyata. Ujian pun masih ada yakni hadirnya dua pasangan yang merepresentasikan umat Islam. suara pun terpecah belah. Sementara itu, pihak liberalis-sekularis dan yang tidak menyukai politik Islam menyerang habis-habisan.
Kedua, umat Islam pun tak diberikan ruang dalam menerapkan sistem berdasarkan quran dan sunnah. Sehingga beberapa mengambil jalan untuk mendukung calon pemimpin representasi Islam, meski sistem yang diterapkan bukan Islam. Kondisi dilematis inilah yang akhirnya menjadikan manusia bersikap pragmatis. Siapa pun tidak bisa menyalahkannya, mengingat cengkraman kuat demokrasi liberal inilah yang membelenggu umat manusia, khususnya umat Islam. Ibaratkan maju kena mundur kena.
Suatu kondisi ideal bagi umat Islam adalah pemimpin yang dipilih sebagai seorang muslim; dan sistem yang diterapkan adalah sistem syariah Islam. Karena itu sesungguhnya tuntutan syariah bahwa pemimpin dipilih untuk mengurusi urusan umatnya. Sistem yang mengaturnya adalah syariah kaffah yang membawa rahmat bagi semua. Sistem Islam diterapkan dalam kenegaraan, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sendi kehidupan lainnya. Inilah yang di dalam Islam disebut sistem Khilafah.
Oleh karena itu, masih ada waktu bagi umat Islam di Jakarta dan Indonesia untuk merapatkan barisan. Berjuang bersama-sama dalam medan politik Islam. Memberikan penyadaran tiada henti tentang kebobrokan sistem kapitalisme, liberal, demokrasi, dan turunannya. Hal terpenting juga membongkar makar dan persekongkolan jahat penguasa negeri ini. Karena penguasa kerap bermain mata dengan kroni-kroni penjajah, negara berpengaruh di dunia, dan sekelompok manusia yang menjual negara. Sadarilah, jika rakyat sudah memuncak amarah perubahan itu bisa saja terjadi dengan cepat. Tidak hanya RE-POLUSI tapi juga REVOLUSI.
Kursi DKI-1 adalah tangga menuju Indonesia-1. Joko Widodo sudah membuktikannya. Siapa sangka mantan walikota Solo itu akan menjadi nomor satu di Indonesia. Dunia pun tak kuasa menahan keheranannya. Jokowi berhasil mengukir sejarah sebagai penguasa karir dari daerah hingga Jakarta, bahkan Indonesia. Apalah dikata, politik Jakarta senantiasa menarik untuk dikuti hingga detik akhirnya.
Re-polusi
Sistem politik Indonesia baru pada dekade ini mengalami pencemaran. Bisa dikata terkotori oleh tindakan culas dan penuh intrik kebohongan. Jika uap kendaraan dan industri mengotori langit Jakarta. Sampai-sampai ada gerakan pecinta lingkungan dalam penghijauan. Maka ‘polusi’ politik Jakarta kian membuktikan bahwa politik dalam demokrasi tidak akan menemukan bentuk ideal. Justru yang terjadi politik demokrasi membawa manusia ke jurang liberal dan bisa menjadi ‘berandal’.
Beberapa pihak menegarai bahwa pilkada DKI dipenuhi kecurangan dan sudah tidak lagi fair. Prabowo Subianto berkali-kali menyatakan itu. Bahkan, beberapa tim sukses telah menemukan kecurangan di lapangan. Ada pula yang sudah menyatakan bahwa jika si A menang, berarti dia curang. Karena secara fakta publik tidak menghendakinya. Banyak pula penyalagunaan wewenang. Bongkar-bongkar dan saling lapor pun tiada terelakan. Penyelanggara Pemilu, meski berpijak pada konstitusi dan UU tak mampu berbuat banyak. Akhirnya terjadinya apa yang terjadi. Sesama anak bangsa tak lagi sebagai mitra. Justru sebagai musuh bebuyutan seperti setan.
Publik di Indonesia pun dibuat geleng kepala melihat tingkah pola calon DKI-1. Banyak kata-kata lucu dan meme di sosial media menggambarkan pasangan cagub. Singkatan paslon dibuat semenarik mungkin untuk menyihir konstituen. Pertarungan kelas bintang ditunjukan di dunia nyata dan maya. Jika melihatnya terkadang menarik, lucu, hingga tergelitik. Sebegitunya kah membela paslon sampai titik darah penghabisan. Karenanya pilkada langsung dan peristiwa politik dalam sistem demokrasi telah memberikan dampak negatif kehidupan. Bahkan mengotori dan terkadang menyesatkan.
Dilema Problematis
Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Jakarta mengalami dua masalah.
Pertama, politik demokrasi tak memberikan ruang bagi mereka untuk menentukan pemimpin sesuai quran dan sunnah. Upaya menolak pemimpin kafir pun sudah menggema sejak dua tahun lamanya. Aksi-aksi hingga promosi sudah gencar di dunia maya dan nyata. Ujian pun masih ada yakni hadirnya dua pasangan yang merepresentasikan umat Islam. suara pun terpecah belah. Sementara itu, pihak liberalis-sekularis dan yang tidak menyukai politik Islam menyerang habis-habisan.
Kedua, umat Islam pun tak diberikan ruang dalam menerapkan sistem berdasarkan quran dan sunnah. Sehingga beberapa mengambil jalan untuk mendukung calon pemimpin representasi Islam, meski sistem yang diterapkan bukan Islam. Kondisi dilematis inilah yang akhirnya menjadikan manusia bersikap pragmatis. Siapa pun tidak bisa menyalahkannya, mengingat cengkraman kuat demokrasi liberal inilah yang membelenggu umat manusia, khususnya umat Islam. Ibaratkan maju kena mundur kena.
Suatu kondisi ideal bagi umat Islam adalah pemimpin yang dipilih sebagai seorang muslim; dan sistem yang diterapkan adalah sistem syariah Islam. Karena itu sesungguhnya tuntutan syariah bahwa pemimpin dipilih untuk mengurusi urusan umatnya. Sistem yang mengaturnya adalah syariah kaffah yang membawa rahmat bagi semua. Sistem Islam diterapkan dalam kenegaraan, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sendi kehidupan lainnya. Inilah yang di dalam Islam disebut sistem Khilafah.
Oleh karena itu, masih ada waktu bagi umat Islam di Jakarta dan Indonesia untuk merapatkan barisan. Berjuang bersama-sama dalam medan politik Islam. Memberikan penyadaran tiada henti tentang kebobrokan sistem kapitalisme, liberal, demokrasi, dan turunannya. Hal terpenting juga membongkar makar dan persekongkolan jahat penguasa negeri ini. Karena penguasa kerap bermain mata dengan kroni-kroni penjajah, negara berpengaruh di dunia, dan sekelompok manusia yang menjual negara. Sadarilah, jika rakyat sudah memuncak amarah perubahan itu bisa saja terjadi dengan cepat. Tidak hanya RE-POLUSI tapi juga REVOLUSI.
Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
0 Response to "RE-POLUSI PILKADA DKI"
Post a Comment