-->

Jakarta Concord, Investasi, dan Hegemoni



Dakwah Media - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indian Ocean Rim Association (IORA) Leaders' Summit 2017 di Jakarta Convention Center, Senayan, berakhir pada Selasa (7/4/2017). IORA yang merupakan Asosiasi Negara-negara Pesisir Samudera Hindia adalah suatu Organisasi Internasional yang terdiri dari Negara-negara pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. IORA bekerjasama dengan 6 negara Mitra Dialog yang secara geografisnya tidak terletak di Samudera Hindia, keenam negara tersebut diantaranya adalah : Amerika Serikat, China, Inggris, Jepang, Mesir, Perancis.

IORA didirikan pada tanggal 6 Maret 1997 dan bermarkas di Ebene Cyber City Mauritius, adapun KTT IORA 2017 ini menghasilkan poin keenam poin yang terdapat di Jakarta Concord:

1. Meneguhkan komitmen memajukan keamanan dan keselamatan maritim.
2. Meningkatkan kerja sama perdagangan dan investasi.
3. Memajukan pengembangan dan pengelolaan perikanan yang berkesinambungan dan bertanggung jawab.
4. Memperkuat pengelolaan risiko bencana.
5. Memperkuat kerja sama akademis dan ilmu pengetahuan.
6. Memajukan kerja sama di bidang pariwisata dan kebudayaan.

Masih dalam Koridor Kapitalisme

Jokowi mengatakan dalam pernyataan: “… para pemimpin IORA juga mendorong IORA untuk memperkokoh kerja sama tiga isu lainnya, yaitu blue economy, woman empowerment, dan demokrasi tata pemerintahan yang baik, pemberantasan korupsi, serta hak asasi manusia…" Artinya kerjasama ini masih dalam koridor kapitalisme untuk mempertahankan negara-negara yang dibentuk oleh kolonialisme ini, dan sama sekali mereka tidak berusaha untuk lepas dari kapitalisme. Artinya negara-negara anggota IORA berkomitmen untuk mempertahankan peninggalan-peninggalan kolonialisme, sehingga negara-negara yang ada ini tetap seperti yang dibuat oleh kolonialis, yaitu sistem legislasi yang bertentangan dengan Islam, dan eksekutif yang melaksanakan politiknya, dan kemudian membangun sebuah negara baru, serta membuat kemitraan yang tidak lepas dari intervensi Amerika serikat.

Bicara kemaritiman, upaya pemerintah untuk menjaring investor asing baik dengan memperbarui skema kerjasama ataupun dengan merubah regulasi, merupakan kesalahan yang sangat mendasar. Sebab upaya ini tidak akan mengantarkan pada kesejahteraan. Sebaliknya justru menjerumuskan Indonesia pada kemiskinan. Termasuk bicara kebijakan Poros maritim Rezim Jokowi seolah menjadi ikon Indonesia di dunia Internasional saat ini. Terobosan ini ternyata mirip dengan program Pendulum Nusantara yang diinisiasi PT. Pelindo II tahun sebelumnya. Padahal konsep ini akan semakin membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya, kehabisan sumber daya alam dan berdampak pada runtuhnya pertahanan dan keamanan bagi warganya.

Kehadiran pihak ketiga, dalam hal ini militer adidaya AS yang punya kepentingan besar mengendalikan jalur-jalur laut di Samudera Hindia dan Asia Tenggara. Dimana kita tahu Armada Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) juga menjaga poros Manila-Jawa-Australia dari perairan Laut Sulu-Laut Sulawesi-Selat Makassar hingga Laut Jawa.

Amerika memastikan anggota negara-negara IORA masih dalam hegemoni politik dan ekonominya, AS memastikan pengurasan kekayaan alam Indonesia dan negara-negara lainnya terus terjadi. KTT IORA tentu tidak mampu menghasilkan Indonesia berdikari ketika negeri ini tidak mampu lepas dari sistem kapitalisme. Intervensi terhadap produk hukum RI yang mengizinkan asing menguasai aset nasional nyaris tanpa batas. Misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform“. Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).

Dominasi pihak asing telah semakin meluas dan menyebar pada sektor-sektor strategis perekonomian. Pemerintah disarankan menata ulang strategi pembangunan ekonomi agar hasilnya lebih merata dirasakan rakyat dan berdaya saing tinggi menghadapi persaingan global. Dominasi asing semakin kuat pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi asing seperti itu, perekonomian sering kali terkesan tersandera oleh kepentingan mereka.

Ketika poin-poin Jakarta Concord menyatakan perlunya peningkatan kerja sama perdagangan dan investasi. Padahal, ketahanan energi Indonesia memasuki zona rawan karena kegagalan menerapkan kedaulatan atas sumber daya minyak dan gas bumi serta pertambangan. Migas dan tambang yang seharusnya menjadi sumber daya strategis diperlakukan sebatas komoditas dengan nilai manfaat minimal bagi kesejahteraan rakyat. Ironis.

Dalam KTT tersebut juga dibahas masalah terorisme, maka semakin menguak wajah buruk demokrasi. Hanya karena diberi label ‘Perang Melawan Terorisme’, sistem demokrasi kemudian membiarkan adanya penculikan, penahanan paksa dan rahasia serta penyiksaan. Korbannya semuanya Muslim. Semua itu legal hanya karena alasan demi kepentingan keamanan nasional. Sistem ini telah membuang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan hukum. Sistem demokrasi telah menunjukkan jati dirinya yang asli: menindas rakyat.

Sistem ini pun meniscayakan perselibatan pihak penguasa dengan pengusaha. Pengusaha berkepentingan untuk mendapatkan dukungan kekuasaan demi usahanya. Sebaliknya, penguasa memerlukan dukungan (modal) pengusaha untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Walhasil, demokrasi hanyalah ‘kuda tunggangan’ bagi kedua kelompok ini, sementara rakyat hanya dijadikan obyek eksploitasi kepentingan mereka. Wajar jika banyak keputusan, kebijakan, UU atau peraturan yang dihasilkan melalui proses demokrasi nyata-nyata lebih berpihak kepada mereka ketimbang kepada rakyat. Inilah demokrasi-sebuah sistem yang cacat dan mengabaikan rakyat, yang tak layak diadopsi oleh umat Islam.

Inilah sorotan sekaligus catatan penting kepada umat, bahwa KTT IORA sesungguhnya bagian dari solusi politik dan ekonomi tambal sulam yang masih sejalan dalam koridor kepentingan negara-negara imperialis seperti AS. Sebagai catatan akhir, marilah kita merenungkan ayat ini: Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Oleh: Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim)

0 Response to "Jakarta Concord, Investasi, dan Hegemoni"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close