-->

Lorong Kelam Dunia Pendidikan Kita



Dakwah Media - Akhir – akhir ini  kasus  Kekerasan di dunia pendidikan marak terjadi di Indonesia. Tindak kekerasan tidak pernah di inginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang seharusnya menyelesaikan secara edukatif. Namun tidak bisa di pungkiri lagi, benih kekerasan terus di wariskan ke generasi berikutnya dan menjadi awan gelap yang menutupi segala pancaran sinar pencerahan nilai pendidikan.

Rupanya area pendidikan bahkan kampus tak menghalagi niat jahat para pelaku kekerasan tersebut. Sama sekali tak terbersit dalam benak bahwa lembaga pendidikan adalah tempat menimba ilmu, tempat belajar dan tempatnya orang-orang yang ingin lebih baik kehidupannya.  Bagi para siswa sampai mahasiswa bisa jadi hanya tempat berkumpul dengan teman, atau tempat melampiaskan kepenatan di rumah.  Tak ada keinginan untuk menimba ilmu, juga rasa hormat pada dosen, apalagi takut pada peraturan kampus.

Related

Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunnya, masyarakat kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru ataupun antara sesama siswa sendiri.    
                                                                            
Kekerasan berbentuk perpeloncoan kembali hadir di tengah-tengah kita.  kegiatan ini masih saja ada dengan alasan untuk menumbuhkan mahasiswa disiplin. Perpeloncoan di kemas dalam bingkai pendidikan ala militer  yang sering di anggap oleh senior  sebagai ajang untuk menindas mahasiswa baru. Perpeloncoan ini sudah di atur sedemikian rupa sehingga terorganisir dengan rapi.

Tragedi meninggalnya seorang mahasiswa sekolah tinggi ilmu pelayaran (STIP) yang bernama Amirullah Adityas putra (18), mahasiswa tingkat satu angkatan 2016 akibat di hajar empat seniornya. Aksi sadis tersebut berlangsung dalam ruangan asrama mahasiswa STIP selasa (10/1/17) sekitar pukul 22:30 WIB.  

Bagaimana mungkin, lembaga pencetak anak-anak bangsa berprestasi yang selalu mengedepankan norma etika, kejujuran, kemanusiaan harus bersimbah darah karena di penuhi perilaku dan amarah kebencian. Amirullah tewas mengenaskan setelah di aniaya sejumlah senior dengan pukulan di bagian perut, dada, dan ulu hati. Ironisnya lagi, kasus tersebut adalah kasus ke tiga di institusi pendidikan milik kementerian perhubungan.                    
                 
Peristiwa tersebut sangat layak menjadi fakta bahwa pendidikan akan selalu melekat dengan kekerasan. Pendidikan akan terus di nina bobokkan dengan keindahan semu yang mudah terhempas. Miris menyaksikan satu persatu anak bangsa yang sedang di gembleng di lembaga pendidikan itu mengalami nasib naas.

Kasus kekerasan fisik berlanjut lagi dengan tewasnya tiga peserta pendidikan dasar mahasiwa pecinta alam (Mapala) universitas islam Indonesia (UII) Yogyakarta dalam pelaksanaan pendidikan dasar the great camping  Unisi UII di lereng gunung lawu, karanganyar, jawa tengah, di warnai dugaan adanya kekerasan. Hal itu ditegaskan Rektor UII Yogyakarta, Harsoyo.

Dugaan kekerasan itu menurutnya berdasarkan hasil investigasi awal yang di lakukan tim kampus UII yang bekerja sejak 21 januari 2017. Selain Syaits Asyam, korban meninggal dalam acara tersebut adalah Ilham Nurpadmy listia Adi dan Muhammad Fadhli. Masing – masing mahasiswa itu mengambil jurusan Teknik Industri, Fakultas Hukum dan jurusan Teknik Elektro. Harsoyo mengatakan, tim investigasi akan memastikan pelaku kekerasan tersebut.

Pratik pendidikan formal telah di perlakukan tak ubahnya dunia pergulatan yang mengutamakan otot. Sebaiknya lembaga pendidikan harus di sterilkan dari segala kekerasan. Mata rantai kekerasan harus di hapuskan untuk memperbanyak muatan kurikulum berbasis karakter, guna menciptakan generasi yang berbudi luhur dan memiliki moral yang tinggi.

Kekerasan sebagai tradisi masyarakat kapitalis. Coba tengok fragmen masyarakat AS, kekerasan terjadi begitu massif dan mengerikan. Demikian pula di kampus. Penembakan massal dilakukan oleh mahasiswa, kasusnya berulang kali terjadi di AS. Karena stress yang luar biasa dalam kehidupan akibat penerapan sistem ekonomi, sosial dan nihilnya dunia pendidikan dari nilai kebaikan, moralitas apalagi sandaran kebenaran yang menjadi rujukan kurikulum dan sistem pendidikan.

Di Indonesia beberapa kasus kekerasan berujung maut terjadi dari kegiatan kampus, ini tentu sangat memprihatinkan. Arogansi senior terhadap junior, dibalut slogan penanaman disiplin semestinya tidak pernah terjadi di negeri yang mayoritas diisi anak-anak umat Islam.

Islam mengajarkan yang lebih berpengalaman mengajarkan dan membimbing juniornya untuk menularkan kebaikan. Dalam kasus-kasus sejenis ini seringkali terjadi kasus kekerasan secara cyclic, pelaku balas dendam karena sebelumnya juga menjadi korban kekerasan seniornya.

Melihat fenomena di atas, layaklah kita menelusuri sejauh mana efektifitas pendidikan yang diberikan sekolah dalam membentuk kepribadian anak.  Sekolah yang baik seharusnya mampu membentuk kepribadian yang baik (sesuai Islam) pada semua siswa.  Sebaliknya, sekolah yang buruk adalah yang abai terhadap hal-hal tersebut.  Sayangnya, kenyataan inilah yang tengah terjadi saat ini.  Sistem pendidikan sekuler kapitalis telah menyita sebagian besar waktu dan tenaga siswa untuk mengabaikan aspek pembentukan kepribadian tersebut.  Demi mengejar kurikulum penguasaan saintek, anak-anak kian terbentuk menjadi pribadi kering jiwanya, keras mentalnya, bahkan jumud dari mencari solusi berbagai persoalan yang menimpanya.  Walhasil, mereka bersekolah namun berkepribadian merusak, mereka mengetahui dosa membunuh, tapi tak kuasa menolak godaan syaithan untuk melakukan kekerasan.

Meski tidak semua anak yang mengalami hal itu, namun kecenderungan atas hal itu semakin dirasakan, terlebih jika memperhatikan kebiasaan tawuran yang makin ngawur itu.  Cukup beralasan jika sekolah harus menjadi pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang dilakukan anak sekolah.  Dan cukup beralasan pula jika dikatakan bahwa sistem pendidikan sekuler kapitalistik saat ini telah gagal dalam membentuk kesalehan anak.

Di samping sekolah, pihak lain yang juga bertanggung jawab adalah orang tua dan keluarga.  Sebab, orang tualah yang secara langsung diamanati membina anak-anaknya oleh Sang Pencipta.  Orang tua pulalah pihak yang pertama menorehkan bentuk kepribadian anak.  Merekalah yang memiliki kesempatan emas pada masa  pra sekolah hingga sebagian waktu anak terpakai di sekolah.  Orang tua pula yang memiliki hak ta’dib (mendidik dan menghukum anak) bila anak menyimpang dari ketentuan Allah SWT. Dan, orang tualah pihak yang paling lama menemani anak-anak.

Buruknya sistem pendidikan, lemahnya kontrol negara terhadap media yang merusak generasi (karena mengajarkan perilaku kekerasan), juga ketiadaan sanksi yang adil atas semua pelanggaran yang terjadi dalam sistem ini cukup menjadi bukti bahwa generasi pada jaman ini terancam punah dari gelar generasi yang luhur.  Kekerasan yang semakin menggejala telah membuktikan semua itu. Oleh karena itu, selayaknya kaum muslim merenungkan kembali tanggung jawabnya untuk memikul Syariat Islam dalam kehidupan.

Oleh: Darniati Syamsudin ( Anggota LDK Al-Fatih UIM Makassar)
Plis Like Fanpage Kami ya

Related Posts

0 Response to "Lorong Kelam Dunia Pendidikan Kita"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close