MAKMUN ROSYID DAN GEJALA NEUROTIKA
Dakwah Media - “ Manusia modern mengalami krisis harga diri, tidak mengenal dirinya sebagai Hamba Allah dan Khalifatullah di bumi. Muncullah berbagai bentuk pelacuran, menjual harga diri, menilai harga diri dengan uang pangkat dan kepalsuan lainnya.” –Hidayat Nataatmadja-
Dalam beberapa bulan belakangan, kawan muda satu ini benar-benar sedang naik daun. Bak seorang biduan, ia tampil “mengebor” panggung akademis dengan lagu lama para liberalis. Mulai dari pernyataan sinis sampai retoris, kawan Makmun ini kembali menjajakan jualan basi logika orientalis.
Saya bukan ingin menyenggol pinggul atau bakul nasinya secara pribadi, saya pun khawatir malah akan menyambut proyek adu-domba dari rezim berkuasa, hanya saja tergerak jari ini untuk menyentil paradigmanya yang telah mengganggu malam-malam tenang saya. Bagaimana tidak, nyanyian sumbang yang sudah lama kehilangan pendengar, dengan girangnya kembali ia lantunkan, dan uniknya, fansnya cukup berjibun pula.
Karakter dualistik seorang Makmun Rosyid telah menggores rasionalisme yang sedang dibangun oleh saya dan kawan-kawan lainnya. Saya sadar, bahwa apa yang tertulis pada kesempatan ini mungkin akan mendapatkan respon dari kaum konservatif liberal, mengingat identitas yang saya bawa, tapi itu tak begitu penting.
Dualisme Makmun telah nampak dalam pernyataan dan tulisannya mengenai sebuah diskursus dengan tema “Khilafah” yang sedang santer di tanah Khatulistiwa ini. Pada satu kesempatan Makmun menerangkan pada kita,
“Pendapat yang bisa kita jadikan yakni istilah yang ditempelkan kepada sebuah pemimpin tertinggi tidak hanya monopoli Hizbut Tahrir dengan stempel Khilafah, karena kepemimpinan sifatnya tidak terikat hanya pada satu istilah semata. Urgensitas sebuah nama tidak bisa mengalahkan fungsionalitas dan substansi nama, dalam agama Islam sangat ditekankan yakni realisasi sebuah nilai-nilai keislaman tidak pada komersialisasi nama sebuah institusi. Khilafah hanyalah sebuah nama bentukan sebuah produk budaya, lahirnya nama khilafah tidak beriringan dengan munculnya Islam” (HTI Gagal Paham Khilafah, hlm 27)
Dalam hal ini kawan kita Makmun, memaksakan kehendaknya untuk meng-kontekstual-kan sebuah istilah, namun pada kesempatan lain ia kembali pada cara berpikir tekstual.
“ Dalam teks-teks al-Qur’an tidak ada satu pun pola dan sistem pemerintahan dijelaskan secara detail, tetapi nilai-nilai yang terdapat di dalamnya membuat para pemikir dan kelompok-kelompok menjustifikasi pendapatnya sesuai kepentingan kelompok. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan di dalam hadits populernya yaitu untuk urusan dunia kamu lebih pintar dariku” (HTI Gagal Paham Khilafah, hlm. 29).
Pada kesempatan ini, saya tidak akan membicarakan tentang kritik substansi ide Khilafah itu sendiri, tetapi lebih kepada paradigma berpikir kawan Makmun yang mengalami gejala-gejala neurotika. Dalam dua pernyataan yang dikutip di atas, telah muncul indikasi inkonsistensi berpikir. Makmun telah membenturkan paradigma teks-konteks secara serampangan menuruti hawa nafsunya. Pada satu waktu Makmun berada dalam satu ruangan, dan pada waktu yang sama pula Makmun tidak ada dalam ruangan tersebut. Sebuah fatalisme yang brutal. Sikap ini cocok benar dengan pernyataan Kierkegaard bahwa, “Manusia modern merupakan makhluk yang keblinger keliwat saking, begitu keblinger sehingga mereka, di suatu pagi yang cerah kaget terbangun mendapatkan dirinya telah meninggal dunia. Atau dalam pandangan seorang Einstein, digambarkan sebagai, “orang-orang yang meninggal dunia sebelum ajalnya tiba”.
Kawan Makmun pun hampir tenggelam dalam pribadi neurotik atau psikotik. Dalam kajian ilmu kimia, kita akan menemukan istilah elektrolisis, yakni pemecahan atau pemisahan molekul dengan menggunakan listrik. Molekul Air (H2O) dipecah menjadi H2 dan O2 dengan arus listrik. Melalui proses kimiawi dengan mudah kita melihat kenyataan itu, dan tidak terkecoh untuk mengira Hidrogen+Oksigen otomatis menjadi air.
Dan dalam kasus Makmun ini, telah kita lihat paradigma itu terbentuk, dengan berbekal ilmu hermeneutika –yang lahir dalam budaya teologi Yahudi-Kristen-, ia mencoba menggabungkannya dengan teks-teks Agama (Islam). Dua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda secara akar. Namun, Makmun barangkali berharap dapat mensintesiskannya menjadi Islam sebagai Ad-dien. Hal ini sama saja, kawan Makmun ibarat orang yang kehausan, kemudian meminum Oksigen+Hidrogen yang dikiranya air, maka dapat kita perhatikan wajah linglung karena menderita keracunan. Inilah pribadi psikolisis yang berbahaya bagi kesehatan syaraf otak kita.
Kasus ini serupa dengan upaya orang-orang yang ingin menyatukan teori ekonomi Adam Smith –yang saat ini diterapkan di negeri kita- dengan ajaran-ajaran Agama Islam melalui rasionalisasi semu, menciptakan “jembatan kedelai” bagi dua hal yang bertentangan secara akar atau ide dasarnya, maka hanya akan kita temukan absurditas dan kekacauan sistem yang rusak untuk selanjutnya.
Penyakit yang berbahaya itu adalah penyakit pikiran, manusia yang mengidapnya kebanyakan tidak sadar akan gejalanya yang muncul. Gejala neurotika ini telah bersembunyi dalam dogma palsu kaum liberalis. Tapi jangan heran, biasanya orang-orang yang menderita gejala itu akan cenderung terangsang secara emosional kalau dituduh berpenyakit pikiran. Bukankah orang yang gila, benar-benar gila pun tak sadar bahwa dirinya gila?
Menurut Husserl, manusia seperti itu telah kehilangan rumahnya di bumi, homeless in the world. Dan tentunya maklum bagi kita, bahwa mustahil pula orang-orang yang pikirannya berpenyakit dapat menyembuhkan penyakit pikiran. Barangkali hanya dapat dibasmi virus itu dengan jampi-jampi anti-kesurupan.
Jangan sampailah peradaban manusia ini dipenuhi oleh orang-orang yang mati sebelum ajalnya, yakni makhluk yang sadar tapi tidak eling!
Oleh: Vier A. Leventa
Dalam beberapa bulan belakangan, kawan muda satu ini benar-benar sedang naik daun. Bak seorang biduan, ia tampil “mengebor” panggung akademis dengan lagu lama para liberalis. Mulai dari pernyataan sinis sampai retoris, kawan Makmun ini kembali menjajakan jualan basi logika orientalis.
Saya bukan ingin menyenggol pinggul atau bakul nasinya secara pribadi, saya pun khawatir malah akan menyambut proyek adu-domba dari rezim berkuasa, hanya saja tergerak jari ini untuk menyentil paradigmanya yang telah mengganggu malam-malam tenang saya. Bagaimana tidak, nyanyian sumbang yang sudah lama kehilangan pendengar, dengan girangnya kembali ia lantunkan, dan uniknya, fansnya cukup berjibun pula.
Karakter dualistik seorang Makmun Rosyid telah menggores rasionalisme yang sedang dibangun oleh saya dan kawan-kawan lainnya. Saya sadar, bahwa apa yang tertulis pada kesempatan ini mungkin akan mendapatkan respon dari kaum konservatif liberal, mengingat identitas yang saya bawa, tapi itu tak begitu penting.
Dualisme Makmun telah nampak dalam pernyataan dan tulisannya mengenai sebuah diskursus dengan tema “Khilafah” yang sedang santer di tanah Khatulistiwa ini. Pada satu kesempatan Makmun menerangkan pada kita,
“Pendapat yang bisa kita jadikan yakni istilah yang ditempelkan kepada sebuah pemimpin tertinggi tidak hanya monopoli Hizbut Tahrir dengan stempel Khilafah, karena kepemimpinan sifatnya tidak terikat hanya pada satu istilah semata. Urgensitas sebuah nama tidak bisa mengalahkan fungsionalitas dan substansi nama, dalam agama Islam sangat ditekankan yakni realisasi sebuah nilai-nilai keislaman tidak pada komersialisasi nama sebuah institusi. Khilafah hanyalah sebuah nama bentukan sebuah produk budaya, lahirnya nama khilafah tidak beriringan dengan munculnya Islam” (HTI Gagal Paham Khilafah, hlm 27)
Dalam hal ini kawan kita Makmun, memaksakan kehendaknya untuk meng-kontekstual-kan sebuah istilah, namun pada kesempatan lain ia kembali pada cara berpikir tekstual.
“ Dalam teks-teks al-Qur’an tidak ada satu pun pola dan sistem pemerintahan dijelaskan secara detail, tetapi nilai-nilai yang terdapat di dalamnya membuat para pemikir dan kelompok-kelompok menjustifikasi pendapatnya sesuai kepentingan kelompok. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan di dalam hadits populernya yaitu untuk urusan dunia kamu lebih pintar dariku” (HTI Gagal Paham Khilafah, hlm. 29).
Pada kesempatan ini, saya tidak akan membicarakan tentang kritik substansi ide Khilafah itu sendiri, tetapi lebih kepada paradigma berpikir kawan Makmun yang mengalami gejala-gejala neurotika. Dalam dua pernyataan yang dikutip di atas, telah muncul indikasi inkonsistensi berpikir. Makmun telah membenturkan paradigma teks-konteks secara serampangan menuruti hawa nafsunya. Pada satu waktu Makmun berada dalam satu ruangan, dan pada waktu yang sama pula Makmun tidak ada dalam ruangan tersebut. Sebuah fatalisme yang brutal. Sikap ini cocok benar dengan pernyataan Kierkegaard bahwa, “Manusia modern merupakan makhluk yang keblinger keliwat saking, begitu keblinger sehingga mereka, di suatu pagi yang cerah kaget terbangun mendapatkan dirinya telah meninggal dunia. Atau dalam pandangan seorang Einstein, digambarkan sebagai, “orang-orang yang meninggal dunia sebelum ajalnya tiba”.
Kawan Makmun pun hampir tenggelam dalam pribadi neurotik atau psikotik. Dalam kajian ilmu kimia, kita akan menemukan istilah elektrolisis, yakni pemecahan atau pemisahan molekul dengan menggunakan listrik. Molekul Air (H2O) dipecah menjadi H2 dan O2 dengan arus listrik. Melalui proses kimiawi dengan mudah kita melihat kenyataan itu, dan tidak terkecoh untuk mengira Hidrogen+Oksigen otomatis menjadi air.
Dan dalam kasus Makmun ini, telah kita lihat paradigma itu terbentuk, dengan berbekal ilmu hermeneutika –yang lahir dalam budaya teologi Yahudi-Kristen-, ia mencoba menggabungkannya dengan teks-teks Agama (Islam). Dua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda secara akar. Namun, Makmun barangkali berharap dapat mensintesiskannya menjadi Islam sebagai Ad-dien. Hal ini sama saja, kawan Makmun ibarat orang yang kehausan, kemudian meminum Oksigen+Hidrogen yang dikiranya air, maka dapat kita perhatikan wajah linglung karena menderita keracunan. Inilah pribadi psikolisis yang berbahaya bagi kesehatan syaraf otak kita.
Kasus ini serupa dengan upaya orang-orang yang ingin menyatukan teori ekonomi Adam Smith –yang saat ini diterapkan di negeri kita- dengan ajaran-ajaran Agama Islam melalui rasionalisasi semu, menciptakan “jembatan kedelai” bagi dua hal yang bertentangan secara akar atau ide dasarnya, maka hanya akan kita temukan absurditas dan kekacauan sistem yang rusak untuk selanjutnya.
Penyakit yang berbahaya itu adalah penyakit pikiran, manusia yang mengidapnya kebanyakan tidak sadar akan gejalanya yang muncul. Gejala neurotika ini telah bersembunyi dalam dogma palsu kaum liberalis. Tapi jangan heran, biasanya orang-orang yang menderita gejala itu akan cenderung terangsang secara emosional kalau dituduh berpenyakit pikiran. Bukankah orang yang gila, benar-benar gila pun tak sadar bahwa dirinya gila?
Menurut Husserl, manusia seperti itu telah kehilangan rumahnya di bumi, homeless in the world. Dan tentunya maklum bagi kita, bahwa mustahil pula orang-orang yang pikirannya berpenyakit dapat menyembuhkan penyakit pikiran. Barangkali hanya dapat dibasmi virus itu dengan jampi-jampi anti-kesurupan.
Jangan sampailah peradaban manusia ini dipenuhi oleh orang-orang yang mati sebelum ajalnya, yakni makhluk yang sadar tapi tidak eling!
Oleh: Vier A. Leventa
0 Response to "MAKMUN ROSYID DAN GEJALA NEUROTIKA"
Post a Comment