Bendera Terbalik: Tanpa Marah, Mari Kita Buat Malaysia Tersipu-sipu
Dakwah Media - Pemerintah Malaysia sudah menyampaikan permintaan maaf atas pencetakan terbalik bendera Merah-Putih di buku panduan Sea Games. Posisi terbalik itu memanglah sangat menyinggung perasaan orang Indonesia. Tetapi, setelah permintaan maaf disampaikan oleh pemerintah Malaysia, sewajarnyalah kita terima dan dan kita akhiri polemik itu.
Presiden Jokowi, Panglima TNI, dll, sudah menerima permintaan maaf dan mengimbau agar masyarakat tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Tetapi, aksi protes dalam berbagai bentuk terus berlangsung hingga kemarin (22 Agustus 2017). Semangat anak-anak muda Indonesia untuk membela lambang negara, pantas mendapatkan penghargaan. Pertanda bahwa pembangunan semangat patriotis, sudah berhasil baik.
Namun demikian, anak-anak muda perlu pula membangun aspek yang tak kalah pentingnya untuk generasi penerus. Yaitu, pembangunan kepribadian yang tidak mudah tersulut oleh insiden kecil. Kepribadian yang akan menunjukkan bahwa kita, orang Indonesia, memiliki harkat dan martabat yang jauh lebih cemerlang dari insdiden bendera terbalik itu.
Harkat dan martabat inilah yang masih belum terakit dengan rapi dan anggun. Komponen-komponen yang membentuk harkat dan martabat bangsa Indonesia masih berserakan. Belum lagi tersusun menjadi bangunan yang mentereng, yang akan dikagumi dan dihormati orang lain.
Kita tidak perlu malu mengakui bahwa harkat dan martabat Indonesia kini semakin buram. Kita tidak mampu melawan keinginan orang luar untuk melakukan berbagai macam eksploitasi terhadap Tanah Air dan juga rakyat Indonesia. Kita masin belum berdaulat meskipun sudah lebih 70 tahun memproklamasikannya. Orang luar masih melihat kita sebagai pecundang. Apa saja yang mereka diktekan, tidak bisa kita tolak.
Kita merasa tersinggung ketika melihat bendera negara (tak sengaja) dipasang atau dicetak terbalik. Tetapi, kita tidak berkeberatan (bahkan sebaliknya merasa senang) ketika perekonomian negara ini tidak hanya dibuat “terbalik”, melainkan dijungkirbalikkan oleh investor-investor asing yang sekarang didominasi oleh RRC.
Kita tidak berkeberatan ketika bangsa Indonesia ini diputarbalikkan oleh para pemodal besar yang mengaku orang Indonesia juga. Kita diam membatu ketika James Riady membangun proyek kota baru serba mewah, Meikarta, tanpa izin pembangunan. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa ketika Teluk Jakarta direklamasi untuk memenuhi hasrat kapitalisme-hedonisme pemilik modal dengan mengorbankan ekosistem dan kehidupan masyarakat miskin pinggir pantai.
Kita malahan mendukung pemerintah ketika mereka membangun gunung hutang luar negeri yang di masa lampau telah terbukti menginjak-injak harga diri bangsa. Kita juga berpangku tangan menghadapi kartel narkoba yang jelas-jelas bermisi untuk menghancurkan generasi muda Indonesia.
Mari kita ganti sikap yang sensitif untuk hal yang tidak fundamental dengan sensitivitas terhadap arah pengelolaan negara yang keliru. Mari kita jelaskan kepada para petinggi pemerintahan bahwa Indonesia memerlukan kemandirian dan ketahanan ekonomi agar sumberdaya alam di negara ini bisa dimanfaatkan sebesar mungkin untuk pembangunan individu yang berpendidikan, berketerampilan, dan secara otomatis akan berakhlak mulia. Berperadaban tinggi.
Sehingga, akan terbentuklah bangsa yang dihormati, disegani, dan diteladani oleh orang lain. Bangsa yang membuat orang tidak akan lupa apa warna dan bagaimanan posisi bendera kita. Bangsa yang membuat orang datang berbodong-bondong ke negara ini untuk memperlajari peradabannya yang tinggi itu.
Peradaban yang telah meninggalkan balas-dendam sebagai ciri kesehariannya. Yang telah meninggalkan budaya bakar ban dan premanisme sebagai kultur protesnya. Perdaban yang jauh dari watak “bad looser” ketika harus mlancarkan aksi protes. Protes adalah bagian dari peradaban, tetapi ia ditunjukkan dengan cara yang akan membuat orang lain merasa malu membuat kesalahan yang kita proteskan itu.
Kita tentu tersinggung melihat bendera nasional dipasang terbalik di Malaysia. Pasti! Tetapi, dengan peradaban yang tinggi, capaian gemilang di segala lini kehidupan, dan dikenal sebagai pusat kecemerlangan, kita akan membuat Malaysia tersipu-sipu ketika kita ingatkan mereka tentang keteledoran itu, dengan bahasa yang santun.
By Asyari Usman (wartawan senior)
Presiden Jokowi, Panglima TNI, dll, sudah menerima permintaan maaf dan mengimbau agar masyarakat tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Tetapi, aksi protes dalam berbagai bentuk terus berlangsung hingga kemarin (22 Agustus 2017). Semangat anak-anak muda Indonesia untuk membela lambang negara, pantas mendapatkan penghargaan. Pertanda bahwa pembangunan semangat patriotis, sudah berhasil baik.
Namun demikian, anak-anak muda perlu pula membangun aspek yang tak kalah pentingnya untuk generasi penerus. Yaitu, pembangunan kepribadian yang tidak mudah tersulut oleh insiden kecil. Kepribadian yang akan menunjukkan bahwa kita, orang Indonesia, memiliki harkat dan martabat yang jauh lebih cemerlang dari insdiden bendera terbalik itu.
Harkat dan martabat inilah yang masih belum terakit dengan rapi dan anggun. Komponen-komponen yang membentuk harkat dan martabat bangsa Indonesia masih berserakan. Belum lagi tersusun menjadi bangunan yang mentereng, yang akan dikagumi dan dihormati orang lain.
Kita tidak perlu malu mengakui bahwa harkat dan martabat Indonesia kini semakin buram. Kita tidak mampu melawan keinginan orang luar untuk melakukan berbagai macam eksploitasi terhadap Tanah Air dan juga rakyat Indonesia. Kita masin belum berdaulat meskipun sudah lebih 70 tahun memproklamasikannya. Orang luar masih melihat kita sebagai pecundang. Apa saja yang mereka diktekan, tidak bisa kita tolak.
Kita merasa tersinggung ketika melihat bendera negara (tak sengaja) dipasang atau dicetak terbalik. Tetapi, kita tidak berkeberatan (bahkan sebaliknya merasa senang) ketika perekonomian negara ini tidak hanya dibuat “terbalik”, melainkan dijungkirbalikkan oleh investor-investor asing yang sekarang didominasi oleh RRC.
Kita tidak berkeberatan ketika bangsa Indonesia ini diputarbalikkan oleh para pemodal besar yang mengaku orang Indonesia juga. Kita diam membatu ketika James Riady membangun proyek kota baru serba mewah, Meikarta, tanpa izin pembangunan. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa ketika Teluk Jakarta direklamasi untuk memenuhi hasrat kapitalisme-hedonisme pemilik modal dengan mengorbankan ekosistem dan kehidupan masyarakat miskin pinggir pantai.
Kita malahan mendukung pemerintah ketika mereka membangun gunung hutang luar negeri yang di masa lampau telah terbukti menginjak-injak harga diri bangsa. Kita juga berpangku tangan menghadapi kartel narkoba yang jelas-jelas bermisi untuk menghancurkan generasi muda Indonesia.
Mari kita ganti sikap yang sensitif untuk hal yang tidak fundamental dengan sensitivitas terhadap arah pengelolaan negara yang keliru. Mari kita jelaskan kepada para petinggi pemerintahan bahwa Indonesia memerlukan kemandirian dan ketahanan ekonomi agar sumberdaya alam di negara ini bisa dimanfaatkan sebesar mungkin untuk pembangunan individu yang berpendidikan, berketerampilan, dan secara otomatis akan berakhlak mulia. Berperadaban tinggi.
Sehingga, akan terbentuklah bangsa yang dihormati, disegani, dan diteladani oleh orang lain. Bangsa yang membuat orang tidak akan lupa apa warna dan bagaimanan posisi bendera kita. Bangsa yang membuat orang datang berbodong-bondong ke negara ini untuk memperlajari peradabannya yang tinggi itu.
Peradaban yang telah meninggalkan balas-dendam sebagai ciri kesehariannya. Yang telah meninggalkan budaya bakar ban dan premanisme sebagai kultur protesnya. Perdaban yang jauh dari watak “bad looser” ketika harus mlancarkan aksi protes. Protes adalah bagian dari peradaban, tetapi ia ditunjukkan dengan cara yang akan membuat orang lain merasa malu membuat kesalahan yang kita proteskan itu.
Kita tentu tersinggung melihat bendera nasional dipasang terbalik di Malaysia. Pasti! Tetapi, dengan peradaban yang tinggi, capaian gemilang di segala lini kehidupan, dan dikenal sebagai pusat kecemerlangan, kita akan membuat Malaysia tersipu-sipu ketika kita ingatkan mereka tentang keteledoran itu, dengan bahasa yang santun.
By Asyari Usman (wartawan senior)
0 Response to "Bendera Terbalik: Tanpa Marah, Mari Kita Buat Malaysia Tersipu-sipu"
Post a Comment