Modus Belajar Menjaga Keutuhan Negara, Komisi I DPR Pelesir ke Kosovo
Dakwah Media - Komisi I DPR baru saja pulang kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri. Sadar bakal dapat kritikan pedas atas kunker itu, Dewan buru-buru mengklaim bahwa kunker itu sangat bermanfaat, salah satunya dapat meningkatkan upaya menjaga keutuhan NKRI.
Di masa reses lalu, Komisi I DPR menggelar dua kunker ke luar negeri. Kelompok pertama berkunjung ke Ukraina. Kelompok kedua berkunjung ke Serbia dan Kosovo, dua negara pecahan Yugoslavia.
Anggota Komisi I DPR Dimyati Natakusumah membenarkan adanya kunker itu.
“Saya bersama beberapa anggota Komisi I DPR lainnya ke Serbia dan Kosovo. Ini kan memang salah satu bagian dari kerja parlemen untuk hubungan diplomatik dan pengawasan kedutaan kita,” tutur politisi PPP ini.
Kunker ini, lanjut dia, merupakan agenda reses Komisi I DPR yang sudah diatur lama. Dalam kunker itu, Komisi I melakukan pertemuan dengan parlemen Serbia dan Kosovo dan bertandang ke kantor-kantor milik Kementerian Luar Negeri RI di dua negara tersebut.
“Komisi I DPR bicara dengan parlemen Serbia dan Kosovo terkait hubungan diplomatik kedua negara. Cuma, Indonesia ini kan belum mengakui Kosovo, sementara Kosovo ini sudah merdeka dan sudah mendapat pengakuan dari Uni Eropa. PBB juga demikian cuma memang masih perlu beberapa administasi yang perlu diselesaikan makanya (Kosovo) belum diakui (sebagai negara),” katanya.
Dia mengklaim telah banyak menerima pelajaran penting dari kunker itu. Salah satunya adalah cara menjaga NKRI agar tidak bernasib seperti Yugoslavia yang kini pecah menjadi tujuh negara, dua di antara Serbia dan Kosovo.
Kata Dimyati, dari sisi sejarah, Indonesia juga sempat mengalami perpecahan, yaitu dengan Timor-Timor yang kini menjadi negara Timor Leste. Beruntung, cuma satu wilayah yang memisahkan. Wilayah lain tetap masih dalam NKRI.
“Jangan sampai kita mengalami nasib seperti Yugoslavia. Karena itu, Papua tidak boleh lepas, Aceh juga tidak boleh lepas dari NKRI. Indonesia negara hebat, lebih hebat dibanding Serbia,” tuturnya.
Meski sudah memberi pembelaan, tetap saja kritikan atas kunjungan itu tetap ada. Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyebut, klaim seperti yang disampaikan Dimyati hanya akal-akalan. Sebab, dari dulu, hasil kunker DPR ke luar negeri selalu tidak jelas.
“Kebijakan DPR kunker ke luar negeri dari dulu selalu menjadi kontroversial. Kenapa? Karena cuma menghabiskan anggaran yang cukup besar dan hasilnya juga tidak jelas,” ucap Salang.
Dia mencontohkan kunker Pansus RUU Pemilu ke Jerman dan Meksiko tempo lalu. Sebelum berangkat, Pansus mengklaim kunker penting untuk mempelajari sistem e-voting di dua negara tersebut untuk diterapkan di Pemilu Indonesia. Namun, dalam pembahasan RUU Pemilu, tidak pernah disinggung-singgung masalah itu. Yang ada, DPR malah ribut soal parliamentary threshold dan presidential threshold.
“Masih ingat kunker atau studi banding terkait RUU Pemilu. Lihat hasilnya sekarang seperti apa? Enggak ada kan,” cetusnya.
Untuk keluhan masyarakat atas kunker ini, tambah Salang, sebenarnya pernah ditindaklanjuti dengan melakuan moratorium kunjungan kerja keluar negeri. Hanya saja, kebijakan moratorium kerap berubah, tergantung situasi di Pimpinan DPR.
“Era sekarang ini dibuka seluas-luasnya. Padahal, di era lalu itu, DPR sudah pernah melakukan moratorium,” sesalnya.
Dia pun menduga, yang kunker ke luar negeri pada reses kemarin bukan hanya Komisi I. Sebab, setiap memang selalu ada agenda kunker.
“Studi banding ini kan akhirnya selalu jadi masalah. Bahkan, Dubes kita di luar negeri ngeluh karena terbebani. Selama tidak ada moratorium bahwa studi banding tidak boleh ke luar negeri, ya tetap saja tiap-tiap komisi agendakan jalan-jalan ke luar negeri,” tambah dia. [emc]
Di masa reses lalu, Komisi I DPR menggelar dua kunker ke luar negeri. Kelompok pertama berkunjung ke Ukraina. Kelompok kedua berkunjung ke Serbia dan Kosovo, dua negara pecahan Yugoslavia.
Anggota Komisi I DPR Dimyati Natakusumah membenarkan adanya kunker itu.
“Saya bersama beberapa anggota Komisi I DPR lainnya ke Serbia dan Kosovo. Ini kan memang salah satu bagian dari kerja parlemen untuk hubungan diplomatik dan pengawasan kedutaan kita,” tutur politisi PPP ini.
Kunker ini, lanjut dia, merupakan agenda reses Komisi I DPR yang sudah diatur lama. Dalam kunker itu, Komisi I melakukan pertemuan dengan parlemen Serbia dan Kosovo dan bertandang ke kantor-kantor milik Kementerian Luar Negeri RI di dua negara tersebut.
“Komisi I DPR bicara dengan parlemen Serbia dan Kosovo terkait hubungan diplomatik kedua negara. Cuma, Indonesia ini kan belum mengakui Kosovo, sementara Kosovo ini sudah merdeka dan sudah mendapat pengakuan dari Uni Eropa. PBB juga demikian cuma memang masih perlu beberapa administasi yang perlu diselesaikan makanya (Kosovo) belum diakui (sebagai negara),” katanya.
Dia mengklaim telah banyak menerima pelajaran penting dari kunker itu. Salah satunya adalah cara menjaga NKRI agar tidak bernasib seperti Yugoslavia yang kini pecah menjadi tujuh negara, dua di antara Serbia dan Kosovo.
Kata Dimyati, dari sisi sejarah, Indonesia juga sempat mengalami perpecahan, yaitu dengan Timor-Timor yang kini menjadi negara Timor Leste. Beruntung, cuma satu wilayah yang memisahkan. Wilayah lain tetap masih dalam NKRI.
“Jangan sampai kita mengalami nasib seperti Yugoslavia. Karena itu, Papua tidak boleh lepas, Aceh juga tidak boleh lepas dari NKRI. Indonesia negara hebat, lebih hebat dibanding Serbia,” tuturnya.
Meski sudah memberi pembelaan, tetap saja kritikan atas kunjungan itu tetap ada. Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyebut, klaim seperti yang disampaikan Dimyati hanya akal-akalan. Sebab, dari dulu, hasil kunker DPR ke luar negeri selalu tidak jelas.
“Kebijakan DPR kunker ke luar negeri dari dulu selalu menjadi kontroversial. Kenapa? Karena cuma menghabiskan anggaran yang cukup besar dan hasilnya juga tidak jelas,” ucap Salang.
Dia mencontohkan kunker Pansus RUU Pemilu ke Jerman dan Meksiko tempo lalu. Sebelum berangkat, Pansus mengklaim kunker penting untuk mempelajari sistem e-voting di dua negara tersebut untuk diterapkan di Pemilu Indonesia. Namun, dalam pembahasan RUU Pemilu, tidak pernah disinggung-singgung masalah itu. Yang ada, DPR malah ribut soal parliamentary threshold dan presidential threshold.
“Masih ingat kunker atau studi banding terkait RUU Pemilu. Lihat hasilnya sekarang seperti apa? Enggak ada kan,” cetusnya.
Untuk keluhan masyarakat atas kunker ini, tambah Salang, sebenarnya pernah ditindaklanjuti dengan melakuan moratorium kunjungan kerja keluar negeri. Hanya saja, kebijakan moratorium kerap berubah, tergantung situasi di Pimpinan DPR.
“Era sekarang ini dibuka seluas-luasnya. Padahal, di era lalu itu, DPR sudah pernah melakukan moratorium,” sesalnya.
Dia pun menduga, yang kunker ke luar negeri pada reses kemarin bukan hanya Komisi I. Sebab, setiap memang selalu ada agenda kunker.
“Studi banding ini kan akhirnya selalu jadi masalah. Bahkan, Dubes kita di luar negeri ngeluh karena terbebani. Selama tidak ada moratorium bahwa studi banding tidak boleh ke luar negeri, ya tetap saja tiap-tiap komisi agendakan jalan-jalan ke luar negeri,” tambah dia. [emc]
0 Response to "Modus Belajar Menjaga Keutuhan Negara, Komisi I DPR Pelesir ke Kosovo"
Post a Comment