Itu Ibuku
Related
AYU memandangi foto orangtuanya. Foto berukuran dua puluh lima kali tiga puluh sentimeter itu terapit dalam sebuah bingkai ukir yang berdiri agak miring di atas bufet hiasan. Wajah bocah usia empat tahunan itu pun penuh ekspresi. Matanya berbinar. Senyumnya merekah. “Hi..hi..hi, ibu lucu,” suara kecilnya mengalun ringan.
Ibu. Kata itu tergores kuat dalam hati Ayu. Ia pingin banget selalu bersama ibu. Pagi, siang, sore, dan malam. Sayang, ibunya belum mengizinkan anak bungsunya itu ikut serta ke kantor. Repot. Ayu terlalu lincah buat ruang kantor ibunya yang cuma berukuran tiga kali tiga meter persegi. Kalau mesti ke ruangan lain, bisa mengganggu ketenangan pegawai setempat.
Pernah suatu kali, ibunya terpaksa mengajak Ayu ke kantor. Waktu itu, Mbok Iyem pulang kampung. Ayah ke kantor, dua kakaknya di pesantren, dan yang satunya lagi di sekolah dasar terpadu. Ayu sendirian. Di kantor, Ayu nyaris tak pernah diam. Kalau mulutnya capek bertanya dan berkomentar, ia bernyanyi sambil menari. Suaranya berkumandang tanpa beban. Ibunya cuma bisa menahan perasaan. Moga-moga, sang bos tidak marah.
Pengalaman bersama ibu di kantor itu menjadi sesuatu yang pertama dan terakhir buat Ayu. Setelah itu, gadis cilik yang akrab dengan boneka itu harus tetap tinggal di rumah. Ia tidak tahu kenapa. Tapi, ia yakin kalau itu bukan lantaran ibunya tidak sayang. Bukan juga lantaran sang ibu tercinta tidak kangen. Sebagaimana, kangennya Ayu sama ibu yang harus berpisah sembilan jam. Hampir tiap hari.
Cuma Sabtu dan Ahad ibu di rumah. Itu pun kalau tidak ada rapat, undangan ceramah, seminar, dan lain-lain. Ayu pernah protes. “Bu, kok pergi kerja juga sih. Kan hari Minggu?” Ibunya menatap Ayu dengan ramah. Senyumnya mengembang. “Sayang, sebagai mukmin, kita harus siap berkorban. Apa saja. Waktu, tenaga, uang,” ucap ibunya sambil menatap Ayu lekat. Ayu tampak serius. “Nanti, Allah akan membalas pengorbanan kita dengan pahala yang banyak. Ayu mau kan berkoban?” lanjut ibunya dengan nada lembut. Yang ditanya tidak menjawab. Ayu diam. Ia berusaha mencerna ucapan sang ibu. “Ayu, mau kan berkorban seperti Mas Ahmad, Mas Iman, dan Mas Umar? Mau kan?” suara ibu lagi. Ayu mengangguk pelan. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia menatap kepergian ibunya dari balik kaca jendela depan. Ayu tetap menatap. Ia baru bisa beranjak kalau bayang-bayang ibunya sudah benar-benar tak tampak.
Sebelum berangkat, ibu Ayu tak bosan ngasih pesan. Pesannya tak cuma satu. Ayu tak boleh nonton tivi orang dewasa, ya. Ayu tak boleh main ke jalan raya, ya. Ayu tak boleh main sama anak laki-laki, ya. Ayu tak boleh minum es sembarangan, ya. Ayu tak boleh jajan permen, ya. Buat Ayu, pesan-pesan itu sudah tidak lagi jadi beban. Ia sudah hafal. Justru, perhatiannya bukan lagi pada isi pesan. Tapi, menikmati saat-saat akhir menatap wajah ramah ibu. Menikmati saat-saat akhir berpisah dengan ibu.
Ibu. Suasana hati Ayu bergemuruh. Air mata yang semula tertahan di gerbang sudut mata, kini mengalir pelan. Ia menangis. Ingin sekali Ayu selalu bersama ibu. Menatap wajah lembut ibu, bercanda dengan ibu, dan bergelayut manja di pundak ibu. Seperti Rani, tetangganya.
Ia sering melihat Rani cekikikan bersama ibunya. Akrab banget. Sering juga ia mendengar suara ibu Rani memanggil-manggil anaknya, “Ran…Ran…Rani! Mainnya jangan jauh-jauh, Nak!” Ah, enaknya Rani. Bisa ketemu ibu, kapan pun ia mau. Bisa bercanda sama ibu, kapan pun ia suka. Nonton tivi bareng ibu, makan siang disediakan ibu. Dan, mandi pun dihanduki ibu.
Tapi, Ayu masih beruntung. Ia masih punya Mbok Iyem. Pembantu yang berusia lima puluhan itu begitu sabar. Bahkan bagi Ayu, mungkin lebih sabar dari ibu Ayu sendiri. Kalau Ayu main sama Rani dan teman-teman lain, Mbok Iyem selalu duduk-duduk di sekitar tempat main. Ia senyum kalau Ayu menoleh. “Hati-hati, Ayu. Nanti jatuh!” suara Mbok Iyem sesekali mengingatkan.
0 Response to "Itu Ibuku"
Post a Comment