Ketika Rumah Pribadi Jadi Target Deradikalisasi
www.dakwahmedia.net - Para pengamat terorisme hari ini semakin yakin, keluarga memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan terorisme atau radikalisme. Tiga penyerangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini membuat mereka mantap dengan kesimpulan itu. Dalam insiden bom Boston, ada Tsarnaev bersaudara; di penyerangan Charlie Hebdo ada kakak-adik Kouachi; dan dalam serangan Paris ada nama Abdussalam bersaudara.
Dalam kasus lain, enam dari 19 pelaku operasi pembajakan pesawat dalam serangan spektakuler 11/9 masih berstatus bersaudara kandung. Di Iraq, Abu Musab Al-Zarqawi mengutus mertuanya sendiri, Yassin Jarrad, untuk melakukan serangan bom berkekuatan besar yang menewaskan ulama Syiah Ayatollah Muhammad Bakar al-Hakim pada tahun 2003.
Ini belum lagi tradisi pernikahan yang terjadi sesama kalangan jihadis. Sebut saja misalnya Usamah bin Ladin yang menikahi Amal al-Sada yang memiliki garis silsilah dengan suku paling berpengaruh di kota pegunungan Ibb di bagian selatan Sanaa, Yaman. Atau seorang jihadis Aljazair, Abdullah Annas yang menikah dengan anak perempuan Dr. Abdullah Azzam, mentor jihad di abad modern ini.
Oleh karena itu, Mohammed M. Hafez, pengamat sekaligus penulis buku-buku tentang terorisme menilai keluarga adalah jalan alternatif yang dipakai untuk menularkan pemikiran-pemikiran radikalisme dan membangun jaringan kerja. Terlebih, regulasi keamanan dalam perang melawan terorisme membuat ruang bagi mereka makin sempit.
Dalam jurnal CTC Sentinel yang berjudul ‘Bagaimana Teroris Mengeksploitasi Ikatan Keluarga’, Hafez mengulang berkali-kali teori “jalan alternatif” di atas. Sebagai langkah antisipasinya, ia menawarkan beberapa cara. Di antaranya, mendesain hadiah atau penghargaan untuk mendorong keluarga agar mau melaporkan tanda-tanda radikalisasi dan rekrutmen di lingkungan mereka, tanpa merasa takut akan terkena delik hukum maupun risiko di-stigmatisasi.
Mungkin Hafez terinspirasi kisah seorang anak anggota Al-Qaidah di Mesir yang menjadi mata-mata bagi kegiatan bapaknya. Lawrence Wright dalam The Looming Tower menyebutkan si anak dibius. Dalam kondisi tak sadarkan diri, ia disodomi di bawah rekaman kamera. Akhirnya hasil rekaman itu menjadi alat untuk mengancam agar si anak mau membeberkan aktivitas ayahnya hari demi hari.
Menyasar Keluarga
Tanggal 24 Desember 2015 lalu, PBB resmi mengeluarkan Perencanaan Aksi Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (Plan of Action to Prevent Violent Extrimism). Semacam peringatan dan panduan global bagi seluruh negara-negara anggotanya untuk menangani -apa yang disebut sebagai- aksi kekerasan di wilayahnya masing-masing.
Nah, berdasarkan pemikiran Hafez di atas, hampir dipastikan ke depan pencegahan ekstremisme ini akan menyasar hingga domain keluarga.
Ada tujuh tindakan prioritas dalam pencegahan ekstremisme, di antaranya adalah ‘keterlibatan komunitas’. Salah satu langkahnya adalah membangun program pengawasan lokal dan keluarga. Ada program khusus yang menyasar kepada keluarga dengan tujuan mencegah aksi terorisme, radikalisme atau ekstrimisme—silakan tafsirkan sendiri arti ketiganya, karena tak ada kesepakatan khusus tentang definisinya.
Kalau program itu nantinya mencegah anggota keluarga kita ngebom asal-asalan atau menyelamatkan mereka dari memvonis kafir sana-sini secara serampangan, tentu itu yang kita harapkan. Tetapi pada kenyataannya perang melawan terorisme (dulu disebut War on Terror sekarang Prevent Violent Extrimism) seringnya berupa jurus mabok yang liar tak terkendali.
Aroma liar itu sudah dapat kita cium sejak diksi ‘teror’ sebagai obyek diubah menjadi ‘ekstrimisme’. Meski tak ada kesepakatan global tentang batas dan definisi keduanya, kemarin hanya orang yang ngebom atau melakukan tindak pidana terorisme saja yang dapat dihukum. Sekarang, dengan diksi ekstrimisme, sasarannya meluas. Berpegang teguh kepada nilai-nilai syahadat bisa dicap ekstrim dan bakal dihajar.
Maka, jangan heran bila kemudian ada buku panduan belajar baca dan tulis tingkat TK harus ditarik dari peredaran gara-gara memuat kata-kata bunuh, jihad, atau i’dad. Jangan kaget pula bila tanpa angin atau hujan, tiba-tiba muncul stigma radikalisme terhadap pondok pesantren, dengan mengambil 19 sampling nama pondok pesantren tanpa disertai definisi, apalagi buktinya.
Ke depan, mungkin orang-tua yang mengisahkan penderitaan kaum Muslimin di Palestina dan Suriah kepada anak-anaknya, di rumah mereka sendiri, bakal dihukum. Atau, semua anggota keluarga boleh membaca (tilawah) Al-Qur’an kecuali surat Al-Anfal, At-Taubah dan ayat-ayat lain yang ada redaksi “jihad” dan indikasi ekstrimisme-nya menurut Barat. Atas nama pencegahan ekstrimisme, tak lagi privasi meski di rumah sendiri. [Kiblat/DakwahMedia]
0 Response to "Ketika Rumah Pribadi Jadi Target Deradikalisasi"
Post a Comment