Ketika Kaki Melangkah di Bumi Kinanah
Dakwah Media - Shubuh nan syahdu menyambutku pagi itu. Semilir angin menyapu lembut wajahku, mengambil kehangatan dari ujung-ujung jariku. Dingin. Pagi hari musim ini dingin sekali. Aku menghembuskan napas panjang, berancang-ancang memasukkan ribuan atau mungkin jutaan oksigen untuk memasuki paru-paruku, yaah siapa yang tahu?
Aku merapatkan jaketku, mengeratkan pegangan pada tas punggungku. Berharap tubuh ini sedikit terhangatkan degan keduanya. Aku mulai melangkah, mengikuti rombonganku. Berjalan pelan di belakang abangku menuju tempat pengambilan bagasi pesawat. Yah, aku memang baru keluar dari pesawat yang menghantarkanku sampai dengan selamat Alhamdulillah di negeri kinanah ini. Tersenyum tipis, mengingat betapa bosannya aku menunggu di pesawat itu, lebih kurang 10 jam yang sebahagian besarnya kuhabiskan untuk tidur tentunya. Aku melewati berbagai registrasi lalu mulai mengambil barang-barangku, dan terakhir keluar dari bandara besar itu.
Aku pandangi langit yang mulai membiru, padahal jam masih menunjukkan lebih kurang pukul 5.00 pagi. Di negeri kelahiranku itu masih amat sangat pagi, maksudku belum ada cahaya dari matahari untuk penerangan. Ketua rombongan mengajak kami berfoto bersama lalu berjalan menuju parkiran, mencari-cari mobil yang telah disewa untuk menjemput kami di bandara. Aku telah sampai di negeri yang agung ini, negri dimana Islam pernah memayunginya, menghadirkan kesejahteraan berlimpah dengan sungai nile dan alam uniknya. Hari itu lembaran baru kehidupanku terbuka. Dan itu adalah Hari Jumat, 29 juli 2016.
Mobil sewaan kami mulai berjalan menuju tempat yang telah disebutkan. Aku memandangi jalan yang terhampar di kota ini. Terus bergumam takjub melihat bangunan-bangunan tinggi yang memasak setiap sudut kota. Aku tidak menemukan ini di kampng halamanku. Ah, betapa aku senang sekali, berharap tidak menyesal meninggalkan kampung halamanku, orang tuaku, teman-temanku. Aku besarkan hatiku, aku hibur diriku, mengingatkan bahwa tujuanku ke sini adalah demi menuntut ilmu, demi kehidupan umat yang lebih baik, demi agamaku. Kembali aku pandangi kota ilmu ini, ternyata aku juga tidak menemukan apa yang biasa kutemukan di kampung halamanku. Adalah alam dan orang-orangnya yang tidak kutemukan, kampung halamanku punya alam dan orang-orang yang ramah, setidaknya dari sudut pandangku. Bangga akan negeri kelahirankupun muncul, menerbitkan senyum ketulusan pada wajahku. Aku bahagia.
Hari-hariku dimulai. Aku melakukan segalanya sendiri, tidak bisa maka aku tinggal. Tuntutan untuk bisa ini membuat aku merasa sedang berada di dalam novel-novel action yang sering kubaca. Baiklah, ini akan menjadi novel actionku suatu saat, doakan saja. Aku lapor diri dan lapor pendidkan ke kedubes negaraku. Mendaftar ke tempat-tempat pembelajaran bahasa setempat, dan lain sebagainya. Semuanya sendiri, ah tidak, bersama rombongan tentunya, tetapi mengurus pribadi masing-masing tentu saja.
Kalian tahu? Filosofinya mengatakan kalau mesir itu terdiri dari 3 huruf, yaitu mim (م), shad (ص), dan ra (ر) . Masing-masing bermakna musabaqah , sabr, dan rahah. Musabaqah. Negeri ini membuat kita berlomba-lomba dengan apa saja, waktu misalnya, atau dalam keteguhan hati untuk belajar. Seperti syair yang terkenal tentang mesir “Cairo itu jika kamu tidak menaklukkannya, maka dialah yang akan menaklukkanmu”. Jadi mesir memang menuntut untuk bersungguh-sungguh jika tetap ingin tinggal di negeri tersebut.
Yang kedua adalah sabar,. Selain sungguh-sungguh, mesir juga menuntut kita untuk sabar. Dalam hal dan kondisi apapun. Akan banyak kita menemui orang-orang yang kesusahan dalam berbagai hal, tak terkecuali diri kita sendiri. Ujian dalam bersabar akan kita temui bentuk-bentuknya musibah atau nikmat. Dalam hal sulit ekonomi misalnya, atau kesulitan dalam berkomunikasi, atau sering sakit karena perbedaan iklim yang dihadapi, atau bosan dalam belajar, dan lain sebagainya. Dan kita memang harus sabar dalam menghadapinya. Kita juga harus sabar ketika mendapat nilai yang bagus, bersabar untuk tidak pamer kepada teman-teman, itu bagian dari sabar yang akan menghasilkan salah satu sikap terpuji yaitu tawadhu. Inilah bentuk sabar dalam nikmat. Dalam yang namanya hidup, tidak akan berhenti ujian itu datang, hingga nikmat seorang hamba itu terlunaskan.
Rahah adalah yang ketiga. Sungguh-sungguh memang diperlukan dalam pembelajaran dan mencapai tujuan, tetapi bukan berarti harus melupakan kebutuhan tubuh. Karenanya, disamping belajar, bermainlah. Di samping bekerja, jalan-jalanlah. Di samping menahan, makanlah. Dan di samping bangun, tidurlah. Itu semua menyehatkan tubuh. Karena untuk mencapai tujuan, kesungguhan harus diikuti dengan jasmani yang sehat. Apa gunanya jika kita punya kesungguhan tetapi tidak punya kesehatan? Jagalah nikmat sehat yang telah diberikan oleh Allah ini.
Kalian tahu? Ketika ketiga filosofi ini tersatukan dalam artian terpatri dalam diri seseorang, maka sungguh ia seperti seseorang yang dilahirkan dengan akhlak yang menawan, cemerlang. Mesir memberinya kepribadian baru yang lebih baik, sungguh-sungguh (tekun dan santai) secara jasmani dan sabar secara rohani.
Untuk itulah aku di bumi kinanah ini sekarang. Ranah inilah yang akan menghantarkanku menuju pencapaian besar tersebut. Akan kugenggam semua sikap mulia itu, akan kubuat seluruh dunia memilikinya. Akan kutanam bibit-bibit pengharapan di negeri ini yang akan kutunai di waktu yang akan datang. Berbekal filosofi ini, aku langkahkan kakiku di Negeri para nabi ini. Di negeri yang dipenuhi oleh keturunan Fir'aun dan Musa ini.
Wahai Bumi Kinanah, engkau adalah benteng Islam, titik tolak berbagai futuhat dan pembangkit kemenangan atas musuh-musuh Islam pasukan Salib dan Tatar, inkubasi Khilafah setelah dihancurkan di Baghdad. Mesir adalah penghubung antara khilafah al-‘Abbasiyyah dan al-Utsmaniyah, Sangat tepat saat ini Mesir kembali menjadi titik tolak al-Khilafah, titik tolak pasukan besar untuk membebaskan Palestina dari Yahudi perampas. Bukannya menjadi titik tolak perubahan gaya Amerika untuk menggeser kursi dari kiri ke kanan.
Oleh: Raudhatul Hayati Husni (Ma’had Bu’uts Al Azhar Cairo)
Aku merapatkan jaketku, mengeratkan pegangan pada tas punggungku. Berharap tubuh ini sedikit terhangatkan degan keduanya. Aku mulai melangkah, mengikuti rombonganku. Berjalan pelan di belakang abangku menuju tempat pengambilan bagasi pesawat. Yah, aku memang baru keluar dari pesawat yang menghantarkanku sampai dengan selamat Alhamdulillah di negeri kinanah ini. Tersenyum tipis, mengingat betapa bosannya aku menunggu di pesawat itu, lebih kurang 10 jam yang sebahagian besarnya kuhabiskan untuk tidur tentunya. Aku melewati berbagai registrasi lalu mulai mengambil barang-barangku, dan terakhir keluar dari bandara besar itu.
Aku pandangi langit yang mulai membiru, padahal jam masih menunjukkan lebih kurang pukul 5.00 pagi. Di negeri kelahiranku itu masih amat sangat pagi, maksudku belum ada cahaya dari matahari untuk penerangan. Ketua rombongan mengajak kami berfoto bersama lalu berjalan menuju parkiran, mencari-cari mobil yang telah disewa untuk menjemput kami di bandara. Aku telah sampai di negeri yang agung ini, negri dimana Islam pernah memayunginya, menghadirkan kesejahteraan berlimpah dengan sungai nile dan alam uniknya. Hari itu lembaran baru kehidupanku terbuka. Dan itu adalah Hari Jumat, 29 juli 2016.
Mobil sewaan kami mulai berjalan menuju tempat yang telah disebutkan. Aku memandangi jalan yang terhampar di kota ini. Terus bergumam takjub melihat bangunan-bangunan tinggi yang memasak setiap sudut kota. Aku tidak menemukan ini di kampng halamanku. Ah, betapa aku senang sekali, berharap tidak menyesal meninggalkan kampung halamanku, orang tuaku, teman-temanku. Aku besarkan hatiku, aku hibur diriku, mengingatkan bahwa tujuanku ke sini adalah demi menuntut ilmu, demi kehidupan umat yang lebih baik, demi agamaku. Kembali aku pandangi kota ilmu ini, ternyata aku juga tidak menemukan apa yang biasa kutemukan di kampung halamanku. Adalah alam dan orang-orangnya yang tidak kutemukan, kampung halamanku punya alam dan orang-orang yang ramah, setidaknya dari sudut pandangku. Bangga akan negeri kelahirankupun muncul, menerbitkan senyum ketulusan pada wajahku. Aku bahagia.
Hari-hariku dimulai. Aku melakukan segalanya sendiri, tidak bisa maka aku tinggal. Tuntutan untuk bisa ini membuat aku merasa sedang berada di dalam novel-novel action yang sering kubaca. Baiklah, ini akan menjadi novel actionku suatu saat, doakan saja. Aku lapor diri dan lapor pendidkan ke kedubes negaraku. Mendaftar ke tempat-tempat pembelajaran bahasa setempat, dan lain sebagainya. Semuanya sendiri, ah tidak, bersama rombongan tentunya, tetapi mengurus pribadi masing-masing tentu saja.
Kalian tahu? Filosofinya mengatakan kalau mesir itu terdiri dari 3 huruf, yaitu mim (م), shad (ص), dan ra (ر) . Masing-masing bermakna musabaqah , sabr, dan rahah. Musabaqah. Negeri ini membuat kita berlomba-lomba dengan apa saja, waktu misalnya, atau dalam keteguhan hati untuk belajar. Seperti syair yang terkenal tentang mesir “Cairo itu jika kamu tidak menaklukkannya, maka dialah yang akan menaklukkanmu”. Jadi mesir memang menuntut untuk bersungguh-sungguh jika tetap ingin tinggal di negeri tersebut.
Yang kedua adalah sabar,. Selain sungguh-sungguh, mesir juga menuntut kita untuk sabar. Dalam hal dan kondisi apapun. Akan banyak kita menemui orang-orang yang kesusahan dalam berbagai hal, tak terkecuali diri kita sendiri. Ujian dalam bersabar akan kita temui bentuk-bentuknya musibah atau nikmat. Dalam hal sulit ekonomi misalnya, atau kesulitan dalam berkomunikasi, atau sering sakit karena perbedaan iklim yang dihadapi, atau bosan dalam belajar, dan lain sebagainya. Dan kita memang harus sabar dalam menghadapinya. Kita juga harus sabar ketika mendapat nilai yang bagus, bersabar untuk tidak pamer kepada teman-teman, itu bagian dari sabar yang akan menghasilkan salah satu sikap terpuji yaitu tawadhu. Inilah bentuk sabar dalam nikmat. Dalam yang namanya hidup, tidak akan berhenti ujian itu datang, hingga nikmat seorang hamba itu terlunaskan.
Rahah adalah yang ketiga. Sungguh-sungguh memang diperlukan dalam pembelajaran dan mencapai tujuan, tetapi bukan berarti harus melupakan kebutuhan tubuh. Karenanya, disamping belajar, bermainlah. Di samping bekerja, jalan-jalanlah. Di samping menahan, makanlah. Dan di samping bangun, tidurlah. Itu semua menyehatkan tubuh. Karena untuk mencapai tujuan, kesungguhan harus diikuti dengan jasmani yang sehat. Apa gunanya jika kita punya kesungguhan tetapi tidak punya kesehatan? Jagalah nikmat sehat yang telah diberikan oleh Allah ini.
Kalian tahu? Ketika ketiga filosofi ini tersatukan dalam artian terpatri dalam diri seseorang, maka sungguh ia seperti seseorang yang dilahirkan dengan akhlak yang menawan, cemerlang. Mesir memberinya kepribadian baru yang lebih baik, sungguh-sungguh (tekun dan santai) secara jasmani dan sabar secara rohani.
Untuk itulah aku di bumi kinanah ini sekarang. Ranah inilah yang akan menghantarkanku menuju pencapaian besar tersebut. Akan kugenggam semua sikap mulia itu, akan kubuat seluruh dunia memilikinya. Akan kutanam bibit-bibit pengharapan di negeri ini yang akan kutunai di waktu yang akan datang. Berbekal filosofi ini, aku langkahkan kakiku di Negeri para nabi ini. Di negeri yang dipenuhi oleh keturunan Fir'aun dan Musa ini.
Wahai Bumi Kinanah, engkau adalah benteng Islam, titik tolak berbagai futuhat dan pembangkit kemenangan atas musuh-musuh Islam pasukan Salib dan Tatar, inkubasi Khilafah setelah dihancurkan di Baghdad. Mesir adalah penghubung antara khilafah al-‘Abbasiyyah dan al-Utsmaniyah, Sangat tepat saat ini Mesir kembali menjadi titik tolak al-Khilafah, titik tolak pasukan besar untuk membebaskan Palestina dari Yahudi perampas. Bukannya menjadi titik tolak perubahan gaya Amerika untuk menggeser kursi dari kiri ke kanan.
Oleh: Raudhatul Hayati Husni (Ma’had Bu’uts Al Azhar Cairo)
0 Response to "Ketika Kaki Melangkah di Bumi Kinanah"
Post a Comment