Al Azhar Kami: Dulu, Kini…
Dakwah Media - Mesir 969 M berdiri universitas kelas dunia, Universitas al-Azhar. Dalam sejarahnya yang sangat panjang, dari universitas ini muncul tidak hanya orang-orang yang mumpuni dalam ilmu, tetapi juga rajin mengingatkan para penguasa yang lalai ataupun berdiri di garis depan dalam jihad fi sabilillah melawan tentara salib ataupun penjajah Barat lainnya. Reputasi pencetak ilmuwan kelas dunia seperti itulah yang memanggil orang-orang yang memiliki kelebihan harta untuk memberikan wakaf berupa aset-aset produktif – seperti kebun, pabrik atau pasar – agar Al-Azhar dapat terus memberi beasiswa bagi calon-calon ulama pejuang dari seluruh penjuru dunia hingga saat ini dan berupa perpustakaan-perpustakaan yang berperan penting bagi dunia pendidikan.
Dalam sejarahnya yang panjang itu Mesir tidak hanya bertabur ulama dalam ilmu agama tetapi juga dalam sains sehingga tidak dikenal sekularisasi (dikotomi) dalam pendidikan. Inilah beberapa di antaranya:
Di bidang ilmu Kimia:
Pada 650-704 M, Khalid ibn Yazid adalah ahli kimia Muslim pertama yang menerjemahkan ilmu kimia kuno (alkimia) Mesir kuno ke dalam bahasa Arab. Sejak itulah ilmu kimia berkembang di seantero dunia Islam.
Di bidang matematika dan fisika:
Pada 850-890 M hiduplah Abu Kamil Syuja ibn Aslam ibn Muhammad ibn Syuja, yang merupakan simpul penting dalam pengembangan matematika, penghubung antara al-Khwarizmi (penemu aljabar) dengan al-Karaji (penemu geometri analitis).
Di bidang teknologi rekayasa:
Pada 860 M, astronom al-Farghani membangun Nilometer, sebagai alat peringatan dini tinggi air sungai Nil, baik untuk mengantisipasi banjir ataupun kekeringan.
Di bidang kedokteran:
Pada 800 M didirikan rumah sakit jiwa pertama di dunia oleh seorang dokter di Cairo. Pada 1118-1174 M, penguasa Mesir Nur ad-Dien Zanqi memerintahkan membangun rumah sakit pendidikan pertama di dunia. Dokternya, Abu al-Majid al-Bahili menyumbangkan perpustakaannya.
Pada 1285 M di Cairo berdiri rumah sakit terbesar di dunia, atas perintah Sultan Qalaun al-Mansur. Menurut Willy Durant, rumah sakit ini dilengkapi dengan halaman-halaman terpisah untuk setiap kelompok pasien dengan penyakit yang berbeda, disejukkan dengan kolam-kolam air mancur, laboratorium, apotik, kantin, pemandian, perpustakaan, sarana ibadah, ruang kuliah, dan untuk pasien gangguan jiwa ada akomodasi yang menghibur (musik yang lembut atau pendongeng profesional). Hebatnya lagi, pelayanannya diberikan gratis untuk seluruh pasien, tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau penghasilan. Bahkan saat mereka boleh pulang diberikan tunjangan agar tidak harus segera bekerja.
Selain itu, sebagai institusi pendidikan dan lembaga keilmuan tertua dan terbesar di dunia, Al Azhar menduduki peran penting bagi peradaban dan sempat menjadi sorotan utama dalam pembahasan amandemen UUD 2014 yang saat ini sedang in. Al-Azhar yang kini berusia 1000 tahun lebih adalah tidak hanya menjadi institusi pencetak ulama dan ilmuwan namun sesungguhnya Al Azhar memiliki peran yakni sebagai pusat dalam menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia sebagaimana dulu di masa Kekhilafahan Islam. Setelah revolusi 2011, Al-Azhar pun tidak luput dari perbincangan Dewan Konstituante dan Lembaga Legislatif Mesir tentang perlunya independensi Al-Azhar dengan merujuk pada UUD 1971 dan UU khusus yang membahas tentang institusi ini.
Pun seluruh faksi politik di Mesir sepakat, Al-Azhar adalah institusi independen yang harus dijauhkan dari pusat pusaran konflik partai-partai dan faksi politik. Artinya baik lembaga negara, pemerintahan dan partai politik tidak diizinkan lagi untuk menjadikan Al-Azhar sebagai alat atau tameng dalam merealisasikan kebijakan-kebijakan politik faksi tertentu. Menyeret paksa Al-Azhar ke ranah politik sama saja berarti usaha untuk mendesakralisasikannya. Al-Azhar akan menjadi pusat utama perebutan nafsu kekuasaan bagi faksi-faksi politik demi memuluskan ambisi-kebijakan mereka yang tentu bersifat politis. Al-Azhar tetap harus netral sebagaimana mestinya, pengayom bagi seluruh lapisan masyarakat, baik Liberal, Sekuler, Ikhwan, Salafi bahkan minoritas semisal Koptik dan Yahudi Mesir.
Jika selama ini, terutama pada era Mubarak, Syeikh Al-Azhar sebagai pemimpin tertinggi institusi ini dipilih secara aklamasi oleh Presiden meski setelah terlebih dahulu diajukan oleh para Ulama-ulama Al-Azhar, maka dalam UUD Mesir terbaru di era Al Sisi Al-Azhar akan diposisikan sebagaimana layaknya lembaga independen. Seperti tertuang dalam UUD Mesir 2014 pasal 7:
Bahwa Al-Azhar Al-Syarif adalah institusi atau lembaga pendidikan Islam independen dan berhak untuk menentukan kebijakan mereka sendiri. Al-Azhar adalah referensi utama dalam masalah ilmu agama dan keislaman. Al-Azhar ialah pengemban tugas dakwah Islam yang meliputi ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab, di Mesir dan seluruh penjuru dunia.
Negara berkewajiban memberi bantuan materi untuk merealisasikan semua visi dan misi Al-Azhar.
Demikian dengan Imam Al-Akbar Syeikh Al-Azhar juga independen. Tidak bisa diberhentikan, dan dipilih oleh Dewan Majelis Tinggi Ulama Al-Azhar sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Lalu, benarkah Al Azhar harus dijauhkan dari kehidupan politik itu sebagai bentuk independensi lembaga pendidikan dan keilmuan dimana tujuan awal didirikannya adalah sebagai pusat penyebaran dakwah Islam? Bagaimana mungkin Al Azhar yang menjadi pusat keilmuan dan pendidikan tanpa tanding di dunia bungkam saat kondisi umat terpuruk jauh ke jurang kemaksiatan dengan meninggalkan hukum-hukum Allah?. Justru suatu kesalahan besar jika Al Azhar tidak kembali bangkit sebagaimana dulu di masa kekhilafahan Islam.
Sebagaimana pengakuan dari John L. Esposito dalam Islam and Politics: Dia mengakui realitas sejarah umat Islam masa awal hingga keruntuhannya tetap berpaku pada aqidah Islam, dia menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa Khulafaurrasyidin, Umayah, dan Abbasiyah, dasar ideologi masyarakat maupun Negara adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam (Esposito, 1990).
Hal senada juga dijelaskan oleh Syeikh Taqiyuddin An Nabhani bahwa politik (siyasah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis seperti menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis ataupun yang bisa dijangkau rakyat, memberikan keamanan sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut (An Nabhani, 2005). Sehingga politik Islam berarti pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.
Mesir yang kita kenal adalah Mesir tempat al-Azhar, sebuah mercusuar ilmu dan para ulama yang menyerang dan menghujat Syeikh Ali Abdur Raziq, yang telah membuat bid’ah dengan mengingkari adanya sistem pemerintahan dalam Islam, dalam kitabnya “al-Islam wa Ushulul Hukmi”, sehingga mereka pun mengeluarkannya dari golongan para ulama. Ketika mengembalikan politik kepada makna di dalam Islam, maka jelas bukan sesuatu yang ‘kotor’ yang harus dijauhi oleh umat, terlebih oleh Al Azhar dengan tingginya tingkat keilmuan yang dimilikinya. Justru ketika Al Azhar dan para lulusannya bergerak di bidang politik yakni mengurusi seluruh permasalahan umat akan mampu memecahkan solusi yang selama ini menimpa umat. Seperti menasehati kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyimpang, memberikan solusi untuk mengatasi dunia pendidikan, kesehatan, kemiskinan yang saat ini merajalela dan beragama polemik yang menghadang umat.
Al Azhar dan Syaikh Al-Azhar tahu bahwa masalah pemisahan kekuasaan merupakan solusi khayalan, dan itu ada pada orang-orang yang memisahkan agama dari kehidupan, dan seharusnya tidak mendukung pemisahan agama dari kehidupan, apalagi menyerukan pemisahan kekuasaan dengan istilah ‘moderat’ dengan persepsi bisa mengayomi umat Islam yang beragam. Istilah itu justru semakin membuat pemahaman umat kabur dengan pemahaman Islam yang sebenarnya. Tanpa ‘moderat’ pun ketika Islam diterapkan secara kaffah secara otomatis akan mampu memberikan solusi terhadap semua problematika umat.
Al Azhar dan Syaikh Al Azhar pun juga tahu bahwa independensi yang sesungguhnya adalah dengan meninggalkan system kufur yang saat ini diterapakan oleh pemerintahan Mesir dan dunia. Independensi adalah dengan keluar dari kungkungan Kapitalisme dan ‘mandiri’ dalam berhukum dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah tanpa menyembunyikan satupun. Karena ulama adalah pewaris para nabi yang hanya takut kepada Allah semata bukan kepada kafir penjajah. Waallahu ‘alam bis shawwab.
Related
Pada 650-704 M, Khalid ibn Yazid adalah ahli kimia Muslim pertama yang menerjemahkan ilmu kimia kuno (alkimia) Mesir kuno ke dalam bahasa Arab. Sejak itulah ilmu kimia berkembang di seantero dunia Islam.
Di bidang matematika dan fisika:
Di bidang teknologi rekayasa:
Pada 860 M, astronom al-Farghani membangun Nilometer, sebagai alat peringatan dini tinggi air sungai Nil, baik untuk mengantisipasi banjir ataupun kekeringan.
Di bidang kedokteran:
Pada 800 M didirikan rumah sakit jiwa pertama di dunia oleh seorang dokter di Cairo. Pada 1118-1174 M, penguasa Mesir Nur ad-Dien Zanqi memerintahkan membangun rumah sakit pendidikan pertama di dunia. Dokternya, Abu al-Majid al-Bahili menyumbangkan perpustakaannya.
Pada 1285 M di Cairo berdiri rumah sakit terbesar di dunia, atas perintah Sultan Qalaun al-Mansur. Menurut Willy Durant, rumah sakit ini dilengkapi dengan halaman-halaman terpisah untuk setiap kelompok pasien dengan penyakit yang berbeda, disejukkan dengan kolam-kolam air mancur, laboratorium, apotik, kantin, pemandian, perpustakaan, sarana ibadah, ruang kuliah, dan untuk pasien gangguan jiwa ada akomodasi yang menghibur (musik yang lembut atau pendongeng profesional). Hebatnya lagi, pelayanannya diberikan gratis untuk seluruh pasien, tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau penghasilan. Bahkan saat mereka boleh pulang diberikan tunjangan agar tidak harus segera bekerja.
Selain itu, sebagai institusi pendidikan dan lembaga keilmuan tertua dan terbesar di dunia, Al Azhar menduduki peran penting bagi peradaban dan sempat menjadi sorotan utama dalam pembahasan amandemen UUD 2014 yang saat ini sedang in. Al-Azhar yang kini berusia 1000 tahun lebih adalah tidak hanya menjadi institusi pencetak ulama dan ilmuwan namun sesungguhnya Al Azhar memiliki peran yakni sebagai pusat dalam menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia sebagaimana dulu di masa Kekhilafahan Islam. Setelah revolusi 2011, Al-Azhar pun tidak luput dari perbincangan Dewan Konstituante dan Lembaga Legislatif Mesir tentang perlunya independensi Al-Azhar dengan merujuk pada UUD 1971 dan UU khusus yang membahas tentang institusi ini.
Pun seluruh faksi politik di Mesir sepakat, Al-Azhar adalah institusi independen yang harus dijauhkan dari pusat pusaran konflik partai-partai dan faksi politik. Artinya baik lembaga negara, pemerintahan dan partai politik tidak diizinkan lagi untuk menjadikan Al-Azhar sebagai alat atau tameng dalam merealisasikan kebijakan-kebijakan politik faksi tertentu. Menyeret paksa Al-Azhar ke ranah politik sama saja berarti usaha untuk mendesakralisasikannya. Al-Azhar akan menjadi pusat utama perebutan nafsu kekuasaan bagi faksi-faksi politik demi memuluskan ambisi-kebijakan mereka yang tentu bersifat politis. Al-Azhar tetap harus netral sebagaimana mestinya, pengayom bagi seluruh lapisan masyarakat, baik Liberal, Sekuler, Ikhwan, Salafi bahkan minoritas semisal Koptik dan Yahudi Mesir.
Jika selama ini, terutama pada era Mubarak, Syeikh Al-Azhar sebagai pemimpin tertinggi institusi ini dipilih secara aklamasi oleh Presiden meski setelah terlebih dahulu diajukan oleh para Ulama-ulama Al-Azhar, maka dalam UUD Mesir terbaru di era Al Sisi Al-Azhar akan diposisikan sebagaimana layaknya lembaga independen. Seperti tertuang dalam UUD Mesir 2014 pasal 7:
Bahwa Al-Azhar Al-Syarif adalah institusi atau lembaga pendidikan Islam independen dan berhak untuk menentukan kebijakan mereka sendiri. Al-Azhar adalah referensi utama dalam masalah ilmu agama dan keislaman. Al-Azhar ialah pengemban tugas dakwah Islam yang meliputi ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab, di Mesir dan seluruh penjuru dunia.
Negara berkewajiban memberi bantuan materi untuk merealisasikan semua visi dan misi Al-Azhar.
Demikian dengan Imam Al-Akbar Syeikh Al-Azhar juga independen. Tidak bisa diberhentikan, dan dipilih oleh Dewan Majelis Tinggi Ulama Al-Azhar sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Lalu, benarkah Al Azhar harus dijauhkan dari kehidupan politik itu sebagai bentuk independensi lembaga pendidikan dan keilmuan dimana tujuan awal didirikannya adalah sebagai pusat penyebaran dakwah Islam? Bagaimana mungkin Al Azhar yang menjadi pusat keilmuan dan pendidikan tanpa tanding di dunia bungkam saat kondisi umat terpuruk jauh ke jurang kemaksiatan dengan meninggalkan hukum-hukum Allah?. Justru suatu kesalahan besar jika Al Azhar tidak kembali bangkit sebagaimana dulu di masa kekhilafahan Islam.
Sebagaimana pengakuan dari John L. Esposito dalam Islam and Politics: Dia mengakui realitas sejarah umat Islam masa awal hingga keruntuhannya tetap berpaku pada aqidah Islam, dia menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa Khulafaurrasyidin, Umayah, dan Abbasiyah, dasar ideologi masyarakat maupun Negara adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam (Esposito, 1990).
Hal senada juga dijelaskan oleh Syeikh Taqiyuddin An Nabhani bahwa politik (siyasah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis seperti menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis ataupun yang bisa dijangkau rakyat, memberikan keamanan sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut (An Nabhani, 2005). Sehingga politik Islam berarti pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.
Mesir yang kita kenal adalah Mesir tempat al-Azhar, sebuah mercusuar ilmu dan para ulama yang menyerang dan menghujat Syeikh Ali Abdur Raziq, yang telah membuat bid’ah dengan mengingkari adanya sistem pemerintahan dalam Islam, dalam kitabnya “al-Islam wa Ushulul Hukmi”, sehingga mereka pun mengeluarkannya dari golongan para ulama. Ketika mengembalikan politik kepada makna di dalam Islam, maka jelas bukan sesuatu yang ‘kotor’ yang harus dijauhi oleh umat, terlebih oleh Al Azhar dengan tingginya tingkat keilmuan yang dimilikinya. Justru ketika Al Azhar dan para lulusannya bergerak di bidang politik yakni mengurusi seluruh permasalahan umat akan mampu memecahkan solusi yang selama ini menimpa umat. Seperti menasehati kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyimpang, memberikan solusi untuk mengatasi dunia pendidikan, kesehatan, kemiskinan yang saat ini merajalela dan beragama polemik yang menghadang umat.
Al Azhar dan Syaikh Al-Azhar tahu bahwa masalah pemisahan kekuasaan merupakan solusi khayalan, dan itu ada pada orang-orang yang memisahkan agama dari kehidupan, dan seharusnya tidak mendukung pemisahan agama dari kehidupan, apalagi menyerukan pemisahan kekuasaan dengan istilah ‘moderat’ dengan persepsi bisa mengayomi umat Islam yang beragam. Istilah itu justru semakin membuat pemahaman umat kabur dengan pemahaman Islam yang sebenarnya. Tanpa ‘moderat’ pun ketika Islam diterapkan secara kaffah secara otomatis akan mampu memberikan solusi terhadap semua problematika umat.
Al Azhar dan Syaikh Al Azhar pun juga tahu bahwa independensi yang sesungguhnya adalah dengan meninggalkan system kufur yang saat ini diterapakan oleh pemerintahan Mesir dan dunia. Independensi adalah dengan keluar dari kungkungan Kapitalisme dan ‘mandiri’ dalam berhukum dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah tanpa menyembunyikan satupun. Karena ulama adalah pewaris para nabi yang hanya takut kepada Allah semata bukan kepada kafir penjajah. Waallahu ‘alam bis shawwab.
Oleh: Ima Susiati (Mahasiwi Univ. Darul Lughah Al Azhar Cairo Mesir)
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Al Azhar Kami: Dulu, Kini…"
Post a Comment