-->

Darkness Moment of V-Day



Dakwah Media - Kondisi gaul bebas remaja kita makin memprihatinkan. Valentine day atau yang lebih dikenal dengan hari kasih sayang dimana pada hari itu semua remaja menjadikannya sebagai pelampiasan cinta dan syahwat. Perayaan valentine day identik dengan pemberian coklat maupun bunga oleh sepasang kekasih sebagai tanda cinta. Bukan hanya itu saja, pada perayaan valentine day sekarang sudah banyak "bumbu penyedapnya" salah satunya dengan menyerahkan ‘mahkota’ wanita kepada laki-laki yang belum berhak menerimanya, dan itu semua dengan dalih pembuktian cinta.

Dalam Islam tidak ada Valentine, karena istilah asing itu sendiri merupakan impor dari agama atau kepercayaan lain. Sejarah dan esensinya saja tidak sejalan sama pemikiran dan akidah Islam. Menurut mereka yang semangat merayakan Valentine’s Day, ada semacam kepercayaan kalau melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan sampai hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa.

Related

Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang Barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Ungkapan make love yang artinya bercinta, seharusnya sekadar cinta yang terkait dengan perasan dan hati, tetapi setiap kita tahu bahwa makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin, kalau belum nikah ya seks bebas alias zina. Istilah dalam bahasa Indonesia pun mengalami distorsi parah.

Seperti yang dilangsir pada salah satu media cetak bima yaitu Radar Tambora yang diungkapkan oleh ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Bima Eka Iskandar Z, M.Si yang menghimbau kepada pemuda dan remaja untuk tidak ikut-ikutan merayakan valentine day karena menurut beliau, perayaan hari kasih sayang tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama islam.

Benar, himbauan tersebut tidak mengikat ketika tidak ada aturan yang tegas dari pemerintah daerah untuk mengaturnya. Dalam sistem demokrasi - sekulerisme yang mengagung-agungkan kebebasan dan salah satunya adalah kebebasan dalam berperilaku. Siapapun berhak melakukan sesuatu yang dia senangi tanpa melihat hukumnya. Dan itulah yang terjadi di  dalam tubuh remaja muslim sekarang yang sudah terjangkit dengan "virus" latah untuk mengikuti tradisi maupun perayaan yang bukan berasal dari islam. Seperti dalam hadits Rasulullah Saw. " Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan kaum tersebut" HR. Abu Daud. Perayaan seperti ini adalah salah satu cara orang- orang kafir untuk menggrogoti aqidah kaum muslim.

Potret buram dan budaya gaul bebas remaja sebenarnya dapat dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi pemahaman dan perilaku remaja.  Untuk itu dibutuhkan peran dari berbagai unsur: sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Keseluruhannya bertanggung jawab dalam membentuk kepribadian yang baik pada remaja, kepribadian yang dibangun di atas iman dan takwa.  Semuanya harus bersinergis untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Di sanalah pertama kali dasar-dasar keislaman ditanamkan. Anak dibimbing orangtuanya bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT.

Rasulullah saw. pernah bersabda:

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-islami). Ayah dan ibunyalah kelak yang menjadikan dirinya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala) (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Maka orangtua wajib mendidik anak-anaknya tentang perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana anak diajarkan untuk mengekspresikan kasih-sayang secara syar’i. Dengan begitu, kelak terbentuk pribadi anak yang shalih dan terikat dengan aturan Islam.
Peran paling penting dan strategis dalam membentuk kepribadian remaja ada pada negara melalui pemberlakuan sistem pendidikan. Secara paradigmatik, pendidikan  harus dikembalikan pada asas akidah Islam yang akan menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar-mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus tempat remaja eksis di dalamnya.

Oleh: Kusmiati M (Bima-NTB)
Plis Like Fanpage Kami ya

Related Posts

0 Response to "Darkness Moment of V-Day"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close