Ketika Pendidikan Mempola Anak Didik Jauh dari Ketaqwaan
Dakwah Media - Dunia pendidikan dewasa ini menjadi momok yang penuh dengan problema yang mengitari. Sistem pendidikan yang konyol, nilai UAN yang terus dipertanyakan, mahalnya biaya pendidikan, fasilitas kurang, dan setumpuk problema lain dengan jumlah yang tidak sedikit. Indonesia sejak zaman kemerdekaan memiliki tekad dan berusaha semaksimal mungkin dalam memberikan layanan pendidikan yang baik untuk masyarakat. Prestasi demi prestasi berhasil diraih hingga tahun 2016. Namun dibalik raihan itu ternyata masih banyak masalah dalam dunia pendidikan di seluruh kabupaten, kota se Indonesia yang belum mampu diselesaikan. Salah satunya masalah pendidikan di kabupaten Bima.
Salah satu pemerhati pendidikan, bapak Ikbal, M.Pd dosen salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di kota Bima menjelaskan, sesuai data yang ia peroleh masih banyak sekolah yang tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Katanya, soal isi, proses, fasilitas, dan pengelolaan sebagian besar sekolah saat ini masih belum sesuai standar pendidikan yang baik seperti diamanatkan undang-undang. Tak hanya itu, nilai rata-rata uji kompetensi guru yang diharapkanpun masih jauh dari yang diharapkan. "Nilai rata-rata guru masih jauh dari standar diharapkan". Tuturnya. (koranstabilitas, 14/02/2017)
Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan suatu bangsa. Dengannya akan terbentuk manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang khas, memiliki skill dan menguasai IPTEK. Menyelesaikan persoalan pendidikan, tidak hanya melihatnya sbg masalah pendidikan saja. Melainkan, melihatnya sebagai masalah bagi manusia. Dalam artian kita tidak melihatnya dari satu sisi saja. Misalnya hanya dengan melihat kurangnya sarana & prasarana saja sehingga fokus penyelesaiannya dg menambah sarana dan prasarana sj. Atau hanya melihat dari profesionalitas guru, penambahan jam pelajaran, pergantian kurikulum dan seterusnya.
Saat ini kita dihadapkan dengan tatanan hidup yang jauh dari nilai-nilai agama. Ya, tatanan hidup yang sekuleristik yang melahirkan berbagai krisis multidimensi. Salah satunya adalah peradigma pendidikan yang materialistik. Sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal mencetak manusia shalih yang sekaligus menguasai IPTEK. Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dikotomi dua kurikulum pendidikan keluaran dua departemen yang berbeda, yakni Depag dan depdigbud.
Adanya dikotomi semacam ini seolah memberi kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tidak tak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual bahkan dirasa tidak patut dijadikan sebagai standar penilaian proses pendidikan.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal ini membawa kita pada satu kesimpulan yang menghawatirkan. Bahwa semua itu menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
Akar masalah dari berbagai krisis yang tengah kita hadapi dalam sistem pendidikan adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Paradigma pendidikan yang materialistik hanyalah buah atau merupakan problem cabang yang muncul dari penerapan sistem kehidupan sekuleristik. Kondisi seperti ini hanya mungkin dihadapi melalui solusi yang paradigmatik dan integral, karena problem itu lahir dari sebuah pandangan hidup yang salah yaitu sekulerisme. Sekulerisme, memang nyata-nyata bertentangan dengan Islam. Kegagalan membentuk manusia sesuai dengan misi penciptaannya merupakan indikator utama kelemahan paradigmatik dari sistem pendidikan yang ada. Ini berpangkal pada dua hal utama yakni paradigma pendidikan yang salah.
Secara paradigmatik pendidikan harus dikembalikan pada asas Islam. Dalam Islam, aqidah Islam menjadi dasar penentuan arah & tujuan pendidikan, penyusunan kirikulum, penyediaan sarana dan prasarana, serta penentuan kualifikasi guru harus mengacu pada asas Islam. Kedua, kelemahan fungsional pada unsur pelaksana pendidikan yaitu kelemahan pada lembaga pendidikan yang tercermin dari kacaunya kurikulum, serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah sesuai dengan kehendak Islam. Faktor keluarga yang tidak mendukung, dan faktor masyarakat yang tidak mendukung. Kacaunya kurikulum berawal dari asasnya yang sekuler kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang bagi proses penguasaan tsaqofah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.
Tidak berfungsinya guru dalam proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekedar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan bukan sebagai pendidik yang berfungsi mentransferkan ilmu & kepribadian. Lingkungan fisik sekolah yang tidak tertata & terkondisi secara islami. Begitu pula lemahnya unsur keluarga terlihat dari lalainya orang tua dalam menanamkan nilai keislaman secara memadai kepada anak. Lemahnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai madrasah pertama sbg pelaksana pendidikan. Lemahnya unsur masyarakat terjadi akibat dari berkembangnya sistem sekuler yang tampak dari pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama, pergaulan bebas, berita media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi & kekerasan serta langkanya keteladanan pada masyarakat.
Model pendidikan ideal sebagaimana yang dikehendaki Islam dan dilaksanakan sedemikian rupa pada masa kejayaan Islam hanya bisa dilaksanakan oleh negara karena negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang ideal, berkualitas untuk menghasilkan manusia-manusia yang memahami hakikat visi dan misi penciptaannya yakni sebagai hamba. Sebagaimana firman Allah dalam al Qur'an: "Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu". (TQS. Adz- Dzaariyaat:56). Dan ini akan terwujud dengan mencampakan sistem sekuleristik dan menggantinya dengan penerapan sistem Islam secara kaaffah dalam seluruh lini kehidupan.
Oleh: Masniati (Aktivis di MHTI Bima)
Salah satu pemerhati pendidikan, bapak Ikbal, M.Pd dosen salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di kota Bima menjelaskan, sesuai data yang ia peroleh masih banyak sekolah yang tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Katanya, soal isi, proses, fasilitas, dan pengelolaan sebagian besar sekolah saat ini masih belum sesuai standar pendidikan yang baik seperti diamanatkan undang-undang. Tak hanya itu, nilai rata-rata uji kompetensi guru yang diharapkanpun masih jauh dari yang diharapkan. "Nilai rata-rata guru masih jauh dari standar diharapkan". Tuturnya. (koranstabilitas, 14/02/2017)
Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan suatu bangsa. Dengannya akan terbentuk manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang khas, memiliki skill dan menguasai IPTEK. Menyelesaikan persoalan pendidikan, tidak hanya melihatnya sbg masalah pendidikan saja. Melainkan, melihatnya sebagai masalah bagi manusia. Dalam artian kita tidak melihatnya dari satu sisi saja. Misalnya hanya dengan melihat kurangnya sarana & prasarana saja sehingga fokus penyelesaiannya dg menambah sarana dan prasarana sj. Atau hanya melihat dari profesionalitas guru, penambahan jam pelajaran, pergantian kurikulum dan seterusnya.
Saat ini kita dihadapkan dengan tatanan hidup yang jauh dari nilai-nilai agama. Ya, tatanan hidup yang sekuleristik yang melahirkan berbagai krisis multidimensi. Salah satunya adalah peradigma pendidikan yang materialistik. Sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal mencetak manusia shalih yang sekaligus menguasai IPTEK. Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dikotomi dua kurikulum pendidikan keluaran dua departemen yang berbeda, yakni Depag dan depdigbud.
Adanya dikotomi semacam ini seolah memberi kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tidak tak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual bahkan dirasa tidak patut dijadikan sebagai standar penilaian proses pendidikan.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal ini membawa kita pada satu kesimpulan yang menghawatirkan. Bahwa semua itu menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
Akar masalah dari berbagai krisis yang tengah kita hadapi dalam sistem pendidikan adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Paradigma pendidikan yang materialistik hanyalah buah atau merupakan problem cabang yang muncul dari penerapan sistem kehidupan sekuleristik. Kondisi seperti ini hanya mungkin dihadapi melalui solusi yang paradigmatik dan integral, karena problem itu lahir dari sebuah pandangan hidup yang salah yaitu sekulerisme. Sekulerisme, memang nyata-nyata bertentangan dengan Islam. Kegagalan membentuk manusia sesuai dengan misi penciptaannya merupakan indikator utama kelemahan paradigmatik dari sistem pendidikan yang ada. Ini berpangkal pada dua hal utama yakni paradigma pendidikan yang salah.
Secara paradigmatik pendidikan harus dikembalikan pada asas Islam. Dalam Islam, aqidah Islam menjadi dasar penentuan arah & tujuan pendidikan, penyusunan kirikulum, penyediaan sarana dan prasarana, serta penentuan kualifikasi guru harus mengacu pada asas Islam. Kedua, kelemahan fungsional pada unsur pelaksana pendidikan yaitu kelemahan pada lembaga pendidikan yang tercermin dari kacaunya kurikulum, serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah sesuai dengan kehendak Islam. Faktor keluarga yang tidak mendukung, dan faktor masyarakat yang tidak mendukung. Kacaunya kurikulum berawal dari asasnya yang sekuler kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang bagi proses penguasaan tsaqofah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.
Tidak berfungsinya guru dalam proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekedar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan bukan sebagai pendidik yang berfungsi mentransferkan ilmu & kepribadian. Lingkungan fisik sekolah yang tidak tertata & terkondisi secara islami. Begitu pula lemahnya unsur keluarga terlihat dari lalainya orang tua dalam menanamkan nilai keislaman secara memadai kepada anak. Lemahnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai madrasah pertama sbg pelaksana pendidikan. Lemahnya unsur masyarakat terjadi akibat dari berkembangnya sistem sekuler yang tampak dari pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama, pergaulan bebas, berita media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi & kekerasan serta langkanya keteladanan pada masyarakat.
Model pendidikan ideal sebagaimana yang dikehendaki Islam dan dilaksanakan sedemikian rupa pada masa kejayaan Islam hanya bisa dilaksanakan oleh negara karena negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang ideal, berkualitas untuk menghasilkan manusia-manusia yang memahami hakikat visi dan misi penciptaannya yakni sebagai hamba. Sebagaimana firman Allah dalam al Qur'an: "Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu". (TQS. Adz- Dzaariyaat:56). Dan ini akan terwujud dengan mencampakan sistem sekuleristik dan menggantinya dengan penerapan sistem Islam secara kaaffah dalam seluruh lini kehidupan.
Oleh: Masniati (Aktivis di MHTI Bima)
0 Response to "Ketika Pendidikan Mempola Anak Didik Jauh dari Ketaqwaan"
Post a Comment