Seandainya (Sebagian) Biaya Kunjungan Raja Salman Diberikan Kepada Aleppo dan Lainnya
Dakwah Media - Kunjungan kerajaan Arab Saudi dipimpin oleh Raja Salman atau Khadimul Haramain Asy-Syarifatain dengan jumlah total rombongan sebanyak 1500 orang, diantaranya 25 pangeran dan 10 menteri ke Indonesia yang direncanakan satu minggu lebih, yaitu tanggal 1-9 Maret 2017 menuai banyak reaksi dari berbagai pihak. Reaksi tersebut sangat beragam, baik dari reaksi positif, hingga reaksi yang bernuansa ketidaksukaan.
Dari pihak pemerintah walaupun tidak secara langsung, termasuk dari para pendukungnya memberikan klaim ini adalah “pesona” atau “kehebatan” Presiden Jokowi. Sebab, kunjungan terakhir Arab Saudi ke Indonesia terjadi pada tahun 1970 atau sekitar 47 tahun yang lalu. Pada waktu itu Raja Faisal berkungjung ke Indonesia disambut oleh Presiden Soeharto. Sehingga ini adalah bentuk prestasi tersendiri bagi pemerintahan Jokowi, dan akan menjadi sejarah baru bagi Indonesia.
Bagi pemerintah juga, atau dari kalangan pemerhati ekonomi nasional pro pemerintah, kunjungan Raja Salman akan menjadi momentum perbaikan ekonomi. Karena dikabarkan dalam banyak media, bahwa kunjungan Raja Salman akan membawa investasi sebesar sekitar 334,5 triliun rupiah kepada Indonesia.
Masih bagi pemerintah, kunjugan ini akan memberikan keuntungan lain, seperti dikabarkan akan adanya dua penadatanganan antara Raja Salman dengan Menteri Agama dan bentuk kerjasama-kerjasama lainnya. Selain itu, dalam bidang pariwisata dinilai akan menjadi promosi besar untuk Indonesia.
Reaksi yang menarik lainnya adalah dari sebagian pihak-pihak “Islam liberal”. Mereka sebagiannya berpandangan hampir senada dengan pihak-pihak pro pemerintah. Bahwa ini adalah bentuk keberhasilan rezim. Mereka melihat investasi dari Raja Salman akan berdampak baik bagi Indonesia. Hal yang menarik adalah karena mereka terkenal dengan pihak yang sangat menentang “wahabisme” dan “anti-arab”. Sungguh fenomena yang menarik.
Kemudian bagi sebagian umat Islam, kunjungan ini bermakna sebagai bentuk kepedulian Raja Salman kepada kondisi umat Islam di Indonesia pada bulan-bulan terakhir. Ada yang mengatakan bahwa kunjungan Raja Salman akan membantu kezhaliman yang terjadi pada umat Islam di Indonesia.
***
Banyaknya fenomena menarik dan reaksi beragam dari berbagai kalangan menjadi bukti tersendiri bahwa semuanya tergantung dari sudut pandangnya. Bagi sebagian masyarakat, yang justru menarik dan sangat ditunggu adalah sudut pandang politik. Bagaimana kemudian peta politik atau makna politik dari kunjungan Raja Salman, baik secara nasional maupun internasional.
Terlebih, isu terhangat yang sedang berkembang akhir-akhir ini adalah masalah PT. Freeport. Apakah ada benang merah antara kunjungan Raja Salman dengan mencuatnya masalah PT. Freeport yang notabene adalah perusahaan besar dari Amerika Serikat. Sedangkan pemerintah Indonesia sekarang ini mempunyai kecenderungan dekat dengan China. Sehingga sebenarnya akan lebih menarik jika bisa terungkap makna politik dibalik Kunjungan Raja Salman.
Seandainya berbicara peta politik Arab Saudi sebenarnya tidak bisa dilepas dari fakta sejarah berdirinya kerajaan Arab Saudi. Berdirinya kerajaan Arab Saudi tidak terlepas dari campur tangan Inggris dengan anteknya Lawrence of Arabia yang kemudian Perancis pun akhirnya ikut masuk di dalamnya. Hingga kemudian muncul sebuah perjanjian antara Inggris dan Perancis pada 16 Mei 1916 tentang pembagian negara-negara bekas wilayah Turki Utsmani. Perjanjian tersebut terkenal dengan perjanjian Sykes-Picot berdasarkan nama diplomat dari Inggris Sir Mark Sykes dan dari Perancis Francois Georges Picot. Dari perjanjian tersebut wilayah yang sekarang menjadi Irak, Kuwait dan Yordania masuk dalam kendali Inggris. Dan wilayah yang sekarang disebut Suriah, Lebanon dan Turki masuk dalam kendali Perancis. Sementara Palestina akan ditentukan kemudian, dengan memperhitungkan ambisi Zionis.
Peta politik sekarang dengan kondisi saat itu dimana Turki Utsmani sebelum runtuh hingga runtuh dan hingga sekarang sanagat mungkin berbeda. Disebabkan dinamika politik yang terus berkembang.
Pertanyaan kemudian bagaimana dengan Arab Saudi di mata peta politik dunia? Apakah ada benang merah kunjungan Arab Saudi dengan isu politik di Indonesia? Apakah kunjungan ini juga berhubungan dengan kondisi Arab Saudi yang disinyalir sedang mengalami krisis?
Lalu, yang paling penting adalah apa manfaat yang bisa diberikan kepada umat Islam dari kunjungan ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan menimbulkan banyak reaksi dari kalangan umat Islam baik yang pro maupun yang kontra dengan Kerajaan Arab Saudi. Apapun analisa terhadap Arab Saudi dalam politik internasioal maka jangan dikaitkan dengan Kota Suci Mekkah dan Madinah. Karena kedua Kota Suci ini sudah pasti adalah menjadi salah satu simbol persatuan umat Islam. Namun ketika berbicara bagaiman kancah Arab Saudi dalam poltik internasional maka pihak yang kontra atau tidak sepakat dengan Arab Saudi jangan kemudian disebut penentang Kota Suci Mekkah dan Madinah.
Bagi sebagian umat Islam sangat menanti bagaimana benang merah Kunjungan Raja Salman dengan isu politik yang berkembang di Indonesia. Karena secara langsung akan sangat menentukan nasib umat Islam di Indonesia. Dan sebagai seorang muslim, sikap khusnuzhan selalu dikedepankan kepada sesama muslim, bahwa kedepannya semoga akan baik bagi umat Islam.
Meski, pertarungan argumen begitu banyak tentang bagaimana posisi politik Arab Saudi di kancah internasional. Dan biasanya akan sangat ditentukan oleh siapa Raja yang memimpinnya. Jika saat dipimpin oleh Raja Abdullah, menurut beberapa pengamat Arab Saudi cenderung dekat dengan Inggris. Kemudian di bawah kekuasaan Raja Salman menurut beberapa pengamat, Arab Saudi adalah “teman dekat” Amerika Serikat. Sehingga semoga saja, kabar investasi besar dari kunjungan Arab Saudi kepada Indonesia bukanlah menjadi kepanjangan tangan Politik Amerika Serikat kepada Indonesia. Jika ini benar terjadi, pertarungan besar antara kepentingan Politik China dan Amerika Serikat memang sedang bermain di Indonesia.
Salah satu faktor kedekatan Arab Saudi dan Amerika Serikat adalah karena adanya kepentingan bersama dalam semua bidang. Menteri Luar Negeri Adel Al-Jubeir dikutip koran berita Reuters edisi 16/1/16 mengatakan, "merasa optimis pada pemerintahan AS berikutnya, terutama cara AS yang ingin mendapatkan kembali pengaruhnya di dunia."
Dia juga mengatakan bahwa, "kepentingan kerajaan sejalan dengan kepentingan AS, baik geopolitik di Suriah, Irak, Yaman dan Iran atau dalam hal energi dan keuangan. Dan sejumlah tujuan yang diinginkan Riyadh dan Washington adalah mencapai tujuan yang sama."
Sementara Trump saat kampanye pemilu pada 19/8/16 di Televisi NBC Amerika mengatakan. "Arab Saudi adakah negara kaya dan harus membayar uang pada kita atas politik dan keamanan yang didapatinya." Dia mengatakan, "Arab Saudi akan berada dalam masalah besar dalam waktu dekat, sehingga akan perlu pada bantuan kita, dan seandainya bukan karena kita niscaya tidak akan bisa bertahan lama."
Namun ini adalah politik tingkat tinggi, sebab dalam media pernah diungkap data bahwa utang AS kepada Arab Saudi mencapai USD 116,8 miliar atau sekitar Rp 1.551 triliun (CNN, 17/5/16). Kemudian, terdapat kabar yang beredar Arab Saudi mengancam akan menarik USD 200-300 miliar oleh investor Arab Saudi dari total sekitar USD 600 miliar investasi Arab Saudi di AS (Yon Machmudi, 2017).
Selain itu, juga adanya indikasi pergeseran arah politik luar negeri Arab Saudi dengan menjadikan Asia sebagai mitra alternatif. Negara yang dimaksud adalah China, Jepang dan India. Dimana total kekayaan ketiga negara mampu menyamai kekayaan negara AS yang selama ini menjadi sekutu setia Arab Saudi. Demikian juga ketiga negara Asia ini secara bersama-sama mampu menyerap lebih dari 39 % minyak Arab Saudi. Suatu jumlah yang sangat besar dibanding AS dengan jumlah 19 %. Dan total impor negara-negara Asia dari Saudi mencapai 4 jt bpd (barrel per day) atau 51 % (Yon Machmudi, 2017).
Kemudian jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi Arab Saudi yang menurut banyak pihak Arab Saudi sedang mengalami pelemahan ekonomi menarik untuk dibaca. Setelah pada April 2016 tidak jadi terlaksana pertemuan para anggota OPEC dan non-OPEC nampaknya berbuntut panjang bagi Arab Saudi. Hal ini disebabkan karena menurunnya harga minyak mentah dunia. Dampaknya adalah Arab Saudi pada waktu itu merencakan akan meminjam USD 10 miliar dari konsorsium bank global. Ini adalah kali pertama setelah 25 tahun tidak pernah mengambil utang. (okezone.com, 20/4/16)
Arab Saudi adalah negara yang memberikan keistimewaan kepada warganya. Keistimewaan tersebut meliputi gas bersubsidi, perawatan kesehatan gratis, pendidikan gratis, subsidi air dan listrik, bebas pajak penghasilan, penginapan umum, sekitar 90 % warga negaranya dipekerjakan pemerintah dan masih banyak lagi. Sayangnya, keistimewaan tersebut bisa dipangkas. Sebab, Arab Saudi mengalami defisit transaksi berjalan hampir USD 100 miliar pada 2015. (okezone, 8/1/16)
Lalu bagaimana makna politiknya? Apa yang akan didapat umat Islam dari semua ini? Apakah kunjungan ini adalah bentuk kunjungan kenegaraan biasa, berupa kerjasama bilateral antar negara, dan sekedar menjadi momen liburan Kerajaan Arab Saudi semata?
***
Sebenarnya ada sudut pandang lain dari kunjungan Raja Salman ke Indonesia pada Maret 2017. Sudut pandang kemanusiaan melihat nasib saudara-saudara muslim di seluruh penjuru dunia. Semoga kebaikan selalu meliputi umat Islam, dimanapun berada.
Semua orang telah melihat saudara-saudara muslim di Aleppo Suriah, Gaza Palestina, Irak, Burma, Rohingnya, Pakistan, Afghanistan, Kashmir dan setiap negeri muslim. Semoga pertolongan Allah ta’ala senantiasa menyertai umat Islam, dimanapun berada.
Saat melihat saudara muslim di Suriah, terlebih ketika musim dingin masih banyak di antara mereka yang membutuhkan bantuan selimut, logistik, obat-obatan dan kebutuhan lainnya. Nyawa merekapun setiap detiknya bisa hilang dengan serangan-serangan tidak manusiawi dari musuh-musuh Islam. Hal serupa juga bisa disaksikan di Gaza, Palestina dan lainnya.
Pada awal Agustus 2016 lebih dari 300.000 penduduk sipil, yang 60 % di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, tengah diblokade di Aleppo dengan pasokan medis, air dan makan yang menipis. Sebelumnya pada Juli terjadi serangan udara yang membombardir Rumah Sakit hingga meyebabkan banyak orang luka dan tewas.
Saat mendengar lebih dari sepertiga dari 500.000 pengungsi Palestina di Suriah dalam Kamp Yarmuk kembali terusir dan mengalami ketidakpastian tempat tinggal akibat konflik yang terus berlangsung karena agresi brutal penjajah Israel tentu akan membuat hati orang beriman menangis.
Dan tentu semua mendengar ratusan bahkan ribuan orang Islam di Rohingnya, Myanmar tewas karena pembantaian. Ratusan ribu orang Islam Rohingnya harus mencari perlindungan, tempat mengungsi dan jaminan keamanan. Begitu juga nasib muslim di Burma yang bermula sejak puluhan tahun silam. Pada tahun 1948 30.000 muslim Burma dibunuh secara massal dan 113 Masjid diberangus. Hingga tahun 1961 hingga 90.000 orang muslim tewas.
Dan masih banyak fakta kondisi umat Islam di seluruh penjuru dunia, yang menyimpulkan bahwa umat Islam sangat membutuhkan segala bentuk bantuan. Tanpa terkecuali Indonesia dan Arab Saudi juga mempunyai kewajiban untuk membantu.
***
Seandainya saja, biaya-biaya yang digunakan dalam kunjungan Raja Salman, baik yang dikeluarkan oleh Arab Saudi maupun oleh Pemerintah Indonesia.
Seandainya saja, kabar jutaan dollar yang akan dihabiskan dalam kunjungan dengan sekitar 1500 orang yang akan dibawa menggunakan 7 unit pesawat berbadan lebar (wide body) dan jika biaya diasumsiakan sesuai dengan tiket komersil, maka biaya bisa mencapai 14 miliar rupiah.
Seandainya saja, biaya untuk menyewa mobil dengan asumsi ada sekitar 400 mobil mewah yang disewa dan harga sekitar 20 juta rupiah misalkan, maka biaya per hari hingga 8 miliar rupiah.
Seandainya saja, biaya sewa hotel mewah dengan asumsi per malam sebesar 20 juta rupiah, dan kebutuhan kamar asumsi 750 kamar, maka biaya bisa mencapai hingga 15 miliar rupiah per hari, serta biaya untuk menutup pantai saat kunjungan, dan segala biaya yang dalam rangka kunjugan ini.
Atau bahkan seandainya saja, sebagian kekayaan Raja Salman yang menurut Majalah Forbes memiliki USD 17 miliar (setara 226 triliun), aset berupa penjara pribadi khusus untuk para pangeran yang nakal dan putri yang selalu boros, aset pesiar mewah sepanjang lapangan sepak bola, budget liburan USD 30.000.000 (setara 336 miliar rupiah) saat liburan ke Maladewa, 5 miliar riyal saat liburan ke Maroko.
Atau bahkan seandainya saja, biaya kunjungan saat ke Turki yang tinggal di Hotel Suite di Ankara dengan biaya 10 juta dollar dan biaya sewa 500 mobil mewah serta sewa pesawat kargo dengan keseluruhan total biaya kunjungan saat itu hingga 18 juta dollar, biaya kunjungan kerajaan Arab Saudi tahun 2005 saat itu ke Spanyol dengan membawa 3000 rombongan yang kemudian menyewa 300 kamar hotel dan 100 mobil mewah sehingga saat itu dikabarkan sudah siap dengan dana 60 juta dollar atau setara dengan 780 miliar, aset istana pribadi yang dinamai Erga Palace di Riyadh, aset rumah mewah dan aset kekayaan lainnya yang begitu besar.
Seandainya saja semua itu atau mungkin (hanya) sebagian kecil saja. Kemudian diberikan kepada umat Islam di Aleppo Suriah, Gaza Palestina, Irak, Burma, Rohingnya, Pakistan, Afghanistan, Kashmir dan lainnya mungkin akan lebih bermanfaat, dan begitu sangat membantu.
Apalagi sandainya saja semua potensi kekuatan umat Islam di seluruh dunia dapat bersatu padu, dibawah satu komando kepemimpinan, dalam naungan payung yang sama negara berdasar Al-Quran As-Sunnah, semua hukum Islam diterapkan, semua urusan umat Islam diatur dengan syariat-Nya, semua masalah umat Islam bersama bahu-membahu diselesaikan bersama. Maka, saat bangun dari tidurnya di pagi hari, umat Islam masih bisa merasakan senyum kebahagiaan. Mari bersatu !!!
Oleh: Lutfi Sarif Hidayat, SEI (Pemerhati Ekonomi Politik)
Dari pihak pemerintah walaupun tidak secara langsung, termasuk dari para pendukungnya memberikan klaim ini adalah “pesona” atau “kehebatan” Presiden Jokowi. Sebab, kunjungan terakhir Arab Saudi ke Indonesia terjadi pada tahun 1970 atau sekitar 47 tahun yang lalu. Pada waktu itu Raja Faisal berkungjung ke Indonesia disambut oleh Presiden Soeharto. Sehingga ini adalah bentuk prestasi tersendiri bagi pemerintahan Jokowi, dan akan menjadi sejarah baru bagi Indonesia.
Bagi pemerintah juga, atau dari kalangan pemerhati ekonomi nasional pro pemerintah, kunjungan Raja Salman akan menjadi momentum perbaikan ekonomi. Karena dikabarkan dalam banyak media, bahwa kunjungan Raja Salman akan membawa investasi sebesar sekitar 334,5 triliun rupiah kepada Indonesia.
Masih bagi pemerintah, kunjugan ini akan memberikan keuntungan lain, seperti dikabarkan akan adanya dua penadatanganan antara Raja Salman dengan Menteri Agama dan bentuk kerjasama-kerjasama lainnya. Selain itu, dalam bidang pariwisata dinilai akan menjadi promosi besar untuk Indonesia.
Reaksi yang menarik lainnya adalah dari sebagian pihak-pihak “Islam liberal”. Mereka sebagiannya berpandangan hampir senada dengan pihak-pihak pro pemerintah. Bahwa ini adalah bentuk keberhasilan rezim. Mereka melihat investasi dari Raja Salman akan berdampak baik bagi Indonesia. Hal yang menarik adalah karena mereka terkenal dengan pihak yang sangat menentang “wahabisme” dan “anti-arab”. Sungguh fenomena yang menarik.
Kemudian bagi sebagian umat Islam, kunjungan ini bermakna sebagai bentuk kepedulian Raja Salman kepada kondisi umat Islam di Indonesia pada bulan-bulan terakhir. Ada yang mengatakan bahwa kunjungan Raja Salman akan membantu kezhaliman yang terjadi pada umat Islam di Indonesia.
***
Banyaknya fenomena menarik dan reaksi beragam dari berbagai kalangan menjadi bukti tersendiri bahwa semuanya tergantung dari sudut pandangnya. Bagi sebagian masyarakat, yang justru menarik dan sangat ditunggu adalah sudut pandang politik. Bagaimana kemudian peta politik atau makna politik dari kunjungan Raja Salman, baik secara nasional maupun internasional.
Terlebih, isu terhangat yang sedang berkembang akhir-akhir ini adalah masalah PT. Freeport. Apakah ada benang merah antara kunjungan Raja Salman dengan mencuatnya masalah PT. Freeport yang notabene adalah perusahaan besar dari Amerika Serikat. Sedangkan pemerintah Indonesia sekarang ini mempunyai kecenderungan dekat dengan China. Sehingga sebenarnya akan lebih menarik jika bisa terungkap makna politik dibalik Kunjungan Raja Salman.
Seandainya berbicara peta politik Arab Saudi sebenarnya tidak bisa dilepas dari fakta sejarah berdirinya kerajaan Arab Saudi. Berdirinya kerajaan Arab Saudi tidak terlepas dari campur tangan Inggris dengan anteknya Lawrence of Arabia yang kemudian Perancis pun akhirnya ikut masuk di dalamnya. Hingga kemudian muncul sebuah perjanjian antara Inggris dan Perancis pada 16 Mei 1916 tentang pembagian negara-negara bekas wilayah Turki Utsmani. Perjanjian tersebut terkenal dengan perjanjian Sykes-Picot berdasarkan nama diplomat dari Inggris Sir Mark Sykes dan dari Perancis Francois Georges Picot. Dari perjanjian tersebut wilayah yang sekarang menjadi Irak, Kuwait dan Yordania masuk dalam kendali Inggris. Dan wilayah yang sekarang disebut Suriah, Lebanon dan Turki masuk dalam kendali Perancis. Sementara Palestina akan ditentukan kemudian, dengan memperhitungkan ambisi Zionis.
Peta politik sekarang dengan kondisi saat itu dimana Turki Utsmani sebelum runtuh hingga runtuh dan hingga sekarang sanagat mungkin berbeda. Disebabkan dinamika politik yang terus berkembang.
Pertanyaan kemudian bagaimana dengan Arab Saudi di mata peta politik dunia? Apakah ada benang merah kunjungan Arab Saudi dengan isu politik di Indonesia? Apakah kunjungan ini juga berhubungan dengan kondisi Arab Saudi yang disinyalir sedang mengalami krisis?
Lalu, yang paling penting adalah apa manfaat yang bisa diberikan kepada umat Islam dari kunjungan ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan menimbulkan banyak reaksi dari kalangan umat Islam baik yang pro maupun yang kontra dengan Kerajaan Arab Saudi. Apapun analisa terhadap Arab Saudi dalam politik internasioal maka jangan dikaitkan dengan Kota Suci Mekkah dan Madinah. Karena kedua Kota Suci ini sudah pasti adalah menjadi salah satu simbol persatuan umat Islam. Namun ketika berbicara bagaiman kancah Arab Saudi dalam poltik internasional maka pihak yang kontra atau tidak sepakat dengan Arab Saudi jangan kemudian disebut penentang Kota Suci Mekkah dan Madinah.
Bagi sebagian umat Islam sangat menanti bagaimana benang merah Kunjungan Raja Salman dengan isu politik yang berkembang di Indonesia. Karena secara langsung akan sangat menentukan nasib umat Islam di Indonesia. Dan sebagai seorang muslim, sikap khusnuzhan selalu dikedepankan kepada sesama muslim, bahwa kedepannya semoga akan baik bagi umat Islam.
Meski, pertarungan argumen begitu banyak tentang bagaimana posisi politik Arab Saudi di kancah internasional. Dan biasanya akan sangat ditentukan oleh siapa Raja yang memimpinnya. Jika saat dipimpin oleh Raja Abdullah, menurut beberapa pengamat Arab Saudi cenderung dekat dengan Inggris. Kemudian di bawah kekuasaan Raja Salman menurut beberapa pengamat, Arab Saudi adalah “teman dekat” Amerika Serikat. Sehingga semoga saja, kabar investasi besar dari kunjungan Arab Saudi kepada Indonesia bukanlah menjadi kepanjangan tangan Politik Amerika Serikat kepada Indonesia. Jika ini benar terjadi, pertarungan besar antara kepentingan Politik China dan Amerika Serikat memang sedang bermain di Indonesia.
Salah satu faktor kedekatan Arab Saudi dan Amerika Serikat adalah karena adanya kepentingan bersama dalam semua bidang. Menteri Luar Negeri Adel Al-Jubeir dikutip koran berita Reuters edisi 16/1/16 mengatakan, "merasa optimis pada pemerintahan AS berikutnya, terutama cara AS yang ingin mendapatkan kembali pengaruhnya di dunia."
Dia juga mengatakan bahwa, "kepentingan kerajaan sejalan dengan kepentingan AS, baik geopolitik di Suriah, Irak, Yaman dan Iran atau dalam hal energi dan keuangan. Dan sejumlah tujuan yang diinginkan Riyadh dan Washington adalah mencapai tujuan yang sama."
Sementara Trump saat kampanye pemilu pada 19/8/16 di Televisi NBC Amerika mengatakan. "Arab Saudi adakah negara kaya dan harus membayar uang pada kita atas politik dan keamanan yang didapatinya." Dia mengatakan, "Arab Saudi akan berada dalam masalah besar dalam waktu dekat, sehingga akan perlu pada bantuan kita, dan seandainya bukan karena kita niscaya tidak akan bisa bertahan lama."
Namun ini adalah politik tingkat tinggi, sebab dalam media pernah diungkap data bahwa utang AS kepada Arab Saudi mencapai USD 116,8 miliar atau sekitar Rp 1.551 triliun (CNN, 17/5/16). Kemudian, terdapat kabar yang beredar Arab Saudi mengancam akan menarik USD 200-300 miliar oleh investor Arab Saudi dari total sekitar USD 600 miliar investasi Arab Saudi di AS (Yon Machmudi, 2017).
Selain itu, juga adanya indikasi pergeseran arah politik luar negeri Arab Saudi dengan menjadikan Asia sebagai mitra alternatif. Negara yang dimaksud adalah China, Jepang dan India. Dimana total kekayaan ketiga negara mampu menyamai kekayaan negara AS yang selama ini menjadi sekutu setia Arab Saudi. Demikian juga ketiga negara Asia ini secara bersama-sama mampu menyerap lebih dari 39 % minyak Arab Saudi. Suatu jumlah yang sangat besar dibanding AS dengan jumlah 19 %. Dan total impor negara-negara Asia dari Saudi mencapai 4 jt bpd (barrel per day) atau 51 % (Yon Machmudi, 2017).
Kemudian jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi Arab Saudi yang menurut banyak pihak Arab Saudi sedang mengalami pelemahan ekonomi menarik untuk dibaca. Setelah pada April 2016 tidak jadi terlaksana pertemuan para anggota OPEC dan non-OPEC nampaknya berbuntut panjang bagi Arab Saudi. Hal ini disebabkan karena menurunnya harga minyak mentah dunia. Dampaknya adalah Arab Saudi pada waktu itu merencakan akan meminjam USD 10 miliar dari konsorsium bank global. Ini adalah kali pertama setelah 25 tahun tidak pernah mengambil utang. (okezone.com, 20/4/16)
Arab Saudi adalah negara yang memberikan keistimewaan kepada warganya. Keistimewaan tersebut meliputi gas bersubsidi, perawatan kesehatan gratis, pendidikan gratis, subsidi air dan listrik, bebas pajak penghasilan, penginapan umum, sekitar 90 % warga negaranya dipekerjakan pemerintah dan masih banyak lagi. Sayangnya, keistimewaan tersebut bisa dipangkas. Sebab, Arab Saudi mengalami defisit transaksi berjalan hampir USD 100 miliar pada 2015. (okezone, 8/1/16)
Lalu bagaimana makna politiknya? Apa yang akan didapat umat Islam dari semua ini? Apakah kunjungan ini adalah bentuk kunjungan kenegaraan biasa, berupa kerjasama bilateral antar negara, dan sekedar menjadi momen liburan Kerajaan Arab Saudi semata?
***
Sebenarnya ada sudut pandang lain dari kunjungan Raja Salman ke Indonesia pada Maret 2017. Sudut pandang kemanusiaan melihat nasib saudara-saudara muslim di seluruh penjuru dunia. Semoga kebaikan selalu meliputi umat Islam, dimanapun berada.
Semua orang telah melihat saudara-saudara muslim di Aleppo Suriah, Gaza Palestina, Irak, Burma, Rohingnya, Pakistan, Afghanistan, Kashmir dan setiap negeri muslim. Semoga pertolongan Allah ta’ala senantiasa menyertai umat Islam, dimanapun berada.
Saat melihat saudara muslim di Suriah, terlebih ketika musim dingin masih banyak di antara mereka yang membutuhkan bantuan selimut, logistik, obat-obatan dan kebutuhan lainnya. Nyawa merekapun setiap detiknya bisa hilang dengan serangan-serangan tidak manusiawi dari musuh-musuh Islam. Hal serupa juga bisa disaksikan di Gaza, Palestina dan lainnya.
Pada awal Agustus 2016 lebih dari 300.000 penduduk sipil, yang 60 % di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, tengah diblokade di Aleppo dengan pasokan medis, air dan makan yang menipis. Sebelumnya pada Juli terjadi serangan udara yang membombardir Rumah Sakit hingga meyebabkan banyak orang luka dan tewas.
Saat mendengar lebih dari sepertiga dari 500.000 pengungsi Palestina di Suriah dalam Kamp Yarmuk kembali terusir dan mengalami ketidakpastian tempat tinggal akibat konflik yang terus berlangsung karena agresi brutal penjajah Israel tentu akan membuat hati orang beriman menangis.
Dan tentu semua mendengar ratusan bahkan ribuan orang Islam di Rohingnya, Myanmar tewas karena pembantaian. Ratusan ribu orang Islam Rohingnya harus mencari perlindungan, tempat mengungsi dan jaminan keamanan. Begitu juga nasib muslim di Burma yang bermula sejak puluhan tahun silam. Pada tahun 1948 30.000 muslim Burma dibunuh secara massal dan 113 Masjid diberangus. Hingga tahun 1961 hingga 90.000 orang muslim tewas.
Dan masih banyak fakta kondisi umat Islam di seluruh penjuru dunia, yang menyimpulkan bahwa umat Islam sangat membutuhkan segala bentuk bantuan. Tanpa terkecuali Indonesia dan Arab Saudi juga mempunyai kewajiban untuk membantu.
***
Seandainya saja, biaya-biaya yang digunakan dalam kunjungan Raja Salman, baik yang dikeluarkan oleh Arab Saudi maupun oleh Pemerintah Indonesia.
Seandainya saja, kabar jutaan dollar yang akan dihabiskan dalam kunjungan dengan sekitar 1500 orang yang akan dibawa menggunakan 7 unit pesawat berbadan lebar (wide body) dan jika biaya diasumsiakan sesuai dengan tiket komersil, maka biaya bisa mencapai 14 miliar rupiah.
Seandainya saja, biaya untuk menyewa mobil dengan asumsi ada sekitar 400 mobil mewah yang disewa dan harga sekitar 20 juta rupiah misalkan, maka biaya per hari hingga 8 miliar rupiah.
Seandainya saja, biaya sewa hotel mewah dengan asumsi per malam sebesar 20 juta rupiah, dan kebutuhan kamar asumsi 750 kamar, maka biaya bisa mencapai hingga 15 miliar rupiah per hari, serta biaya untuk menutup pantai saat kunjungan, dan segala biaya yang dalam rangka kunjugan ini.
Atau bahkan seandainya saja, sebagian kekayaan Raja Salman yang menurut Majalah Forbes memiliki USD 17 miliar (setara 226 triliun), aset berupa penjara pribadi khusus untuk para pangeran yang nakal dan putri yang selalu boros, aset pesiar mewah sepanjang lapangan sepak bola, budget liburan USD 30.000.000 (setara 336 miliar rupiah) saat liburan ke Maladewa, 5 miliar riyal saat liburan ke Maroko.
Atau bahkan seandainya saja, biaya kunjungan saat ke Turki yang tinggal di Hotel Suite di Ankara dengan biaya 10 juta dollar dan biaya sewa 500 mobil mewah serta sewa pesawat kargo dengan keseluruhan total biaya kunjungan saat itu hingga 18 juta dollar, biaya kunjungan kerajaan Arab Saudi tahun 2005 saat itu ke Spanyol dengan membawa 3000 rombongan yang kemudian menyewa 300 kamar hotel dan 100 mobil mewah sehingga saat itu dikabarkan sudah siap dengan dana 60 juta dollar atau setara dengan 780 miliar, aset istana pribadi yang dinamai Erga Palace di Riyadh, aset rumah mewah dan aset kekayaan lainnya yang begitu besar.
Seandainya saja semua itu atau mungkin (hanya) sebagian kecil saja. Kemudian diberikan kepada umat Islam di Aleppo Suriah, Gaza Palestina, Irak, Burma, Rohingnya, Pakistan, Afghanistan, Kashmir dan lainnya mungkin akan lebih bermanfaat, dan begitu sangat membantu.
Apalagi sandainya saja semua potensi kekuatan umat Islam di seluruh dunia dapat bersatu padu, dibawah satu komando kepemimpinan, dalam naungan payung yang sama negara berdasar Al-Quran As-Sunnah, semua hukum Islam diterapkan, semua urusan umat Islam diatur dengan syariat-Nya, semua masalah umat Islam bersama bahu-membahu diselesaikan bersama. Maka, saat bangun dari tidurnya di pagi hari, umat Islam masih bisa merasakan senyum kebahagiaan. Mari bersatu !!!
Oleh: Lutfi Sarif Hidayat, SEI (Pemerhati Ekonomi Politik)
0 Response to "Seandainya (Sebagian) Biaya Kunjungan Raja Salman Diberikan Kepada Aleppo dan Lainnya"
Post a Comment