-->

Ketika ‘Parpol-Parpol’ Itu Gagal!



Dakwah Media - Dialog telah digelar Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini. Dilansir dari Jawa Pos (27/4/2017), dalam dialog tersebut kalangan ormas Islam mengkritik kinerja parpol. Para pengurus parpol dianggap tidak berperan menyelesaikan permasalahan bangsa. Padahal, masyarakat kini mengalami berbagai ketimpangan hukum hingga keadilan ekonomi.

Jangan Gagal Paham

Related

Publik telah merasakan pergolakan-pergolakan yang mendebarkan. Setelah pernyataan Ahok yang mengejutkan semua pihak yang menyebabkan kegaduhan luas dan terbelahnya umat antara pro dan kontra. Hari-hari ini juga panas berlangsung diskusi di tengah masyarakat dan di media-media massa tentang identitas organisasi yang dicap radikalis dan dianggap membahayakan keutuhan NKRI. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai parpol yang berjuang ekstra-parlemen termasuk yang dibincangkan, dan HTI sendiri mengecam keras berbagai tuduhan palsu yang dialamatkan kepadanya.

HTI konsisten menawarkan solusi Islam sebagai obat yang mujarab atas seluruh krisis yang menimpa Indonesia, juga membongkar kezaliman rezim dan peradaban kapitalis yang merugikan masyarakat lokal hingga di seluruh dunia. Adapun bentuk fitnah dan berbagai upaya penjegalan merupakan kekalahan intelektual dalam menghadapi dialog ataupun debat dengan gerakan tersebut.

Kini kinerja parpol disorot. Krisis politik sekarang ini adalah hasil dari pertarungan antara berbagai kekuatan politik, termasuk partai politik. Dilansir dari kompas.com (30/12/2012) Syamsuddin Haris, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di sela-sela diskusi ”Budaya Politik dan Kelas Menengah” di Cikini, Jakarta menyampaikan ”Parpol bukan lagi sebagai pilar demokrasi, tetapi pilar korupsi,”.

Pemerintahan partai yang dianggap korup tentu membahayakan rakyat di semua tingkat dan daerah. Demokrasi yang rusak juga harus disorot, serta kebijakan-kebijakan para penguasa komprador yang loyal kepada kaum kapitalis, bukan pro rakyat. Dan sungguh termasuk mengherankan sebagian media-media massa, para politisi, para penulis, pendidik, birokrat masih tetap mendukung kebijakan yang anti rakyat meski mereka sangat paham sejauh mana pengkhianatan dan kehinaan penguasa itu!
Rakyat Indonesia mengharapkan kepemimpinan yang hakiki.  Rakyat Indonesia, yang mayoritasnya muslim tidak berharap kepada pribadi-pribadi pemimpin yang mencelakakan mereka. Masyarakat tentu tidak ingin terjerumus dalam politik murahan partai-partai pragmatis yang menempatkan kepentingan pribadi pemimpin atau kelompoknya di atas kepentingan umat. Ironis lagi jika mengabdi pada kepentingan ‘tuan kapitalis dan imperialisnya’. Masyarakat sudah bosan terhadap partai yang memperpanjang umur rezim dan sistem korup.

Di antara elit-elit parpol-parpol itu di dalamnya ada yang muslim, sementara diantara mereka bertekad untuk terus mempertahankan identitas sekuler. Pertanyaannya apakah benar mendirikan partai berdasarkan ideologi Islam dan memperjuangkan penegakan syariah Islam menjadi “sebuah kehinaan dan kerugian” terhadap agama kita? Lalu apakah dengan meninggalkan syariah dari Allah yang menciptakan manusia, lalu berhukum dengan hukum hawa nafsu, apakah membuat politisi yang muslim dan para pendukungnya merasa bangga?

Terkait pembahasan suksesi kepemimpinan, di dalam Islam, pemilihan pemimpin bukanlah untuk memilih orang yang akan mengganti hukum Allah. Akan tetapi pemilihan itu adalah untuk memilih orang yang akan mengimplementasikan sistem Islam, sistem yang diridhoi Allah SWT. Di dalam Islam idak ada kekuasaan legislatif yang menetapkan hukum selain Allah. Akan tetapi yang ada adalah para mujtahid yang akan mengistinbath hukum-hukum syara’ dari al-Quran dan as-Sunnah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya berupa Ijmak Sahabat dan Qiyas. Dan Khalifah adalah orang yang mengadopsi hukum-hukum syara’ dan menetapkannya sebagai undang-undang yang berlaku.

Dalam Islam, tugas mendirikan partai-partai politik yang menyerukan Islam, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, serta menjaga penguasa agar segala sikap dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan. Sementara perlakuan negara khilafah terhadap partai politik yang pro asing penjajah, maka negara khilafah bisa mengambil tindakan tegas. Pertama, negara khilafah bisa membekukan sementara atau selamanya partai politik seperti ini. Kedua, para pengurus dan atau anggotanya bisa dimintai pertanggungjawaban, untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Ketiga, jika terbukti pengurus atau anggotanya menjadi agen negara kafir, maka mereka bisa dikenai sanksi hukum.

Sangat berbeda dalam demokrasi yang rusak, semua pemerintahan baik demokratis maupun diktator, apakah disebut loyal kepada Cina, Inggris maupun yang loyal kepada Amerika, menjadi sangat ironis ketika semuanya tetap mengerahkan segenap daya upayanya untuk mensukseskan rencana-rencana kaum imperialis demi menjaga kekuasaan mereka. Sampai akhirnya rakyat bosan dan lelah setelah mengetahui penguasa yang didukung parpol-parpol pro-penjajahan sama sekali tidak memperhatikan penelantaran kekayaan rakyat. Mari kita renungkan.

Oleh: Umar Syarifudin 
Plis Like Fanpage Kami ya

Related Posts

0 Response to "Ketika ‘Parpol-Parpol’ Itu Gagal! "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close