Bantahan Dari Dosen untuk Dosen Sekular Radikal
Dakwah Media - Beberapa waktu lalu seorang Dosen UGM menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi tentang harapannya soal NKRI dan Pancasila, suratnya sebagai berikut :
Bersama dengan ini menyampaikan rasa kesediham, kekhawatiran dan kecemasan akan keutuhan NKRI dan Pancasila dari bahaya politik radikal agama. Saya memohon bapak Presiden berkenan melindungi para pelajar dan mahasiswa Indonesia dari bahaya faham sesat radikal agama di sekolah dan kampus. Mereka adalah generasi penerus. Negara harus hadir dan bertanggung jawab penuh menyelamatkan anak bangsa.
Saat ini sekolah-sekolah negeri dan universitas negeri termasuk UGM begitu sangat radikal, intoleran, menggerogoti Ideologi Negara Pancasila, dan keutuhan NKRI. Radikalisasi di Sekolah dan Universitas harus segera dihentikan. Negara harus tegas dan keras soal Pancasila dan NKRI. Kebebasan berpolitik bagi warga negara bukan berarti boleh menyentuh Ideologi Negara Pancasila dan menggerogoti keutuhan NKRI. Saya mengusulkan sebagai berikut:
1. Presiden mengeluarkan Kepres soal larangan pelaksanaan kebebasan berpolitik dengan cara menggerogoti Ideologi Negara Pancasila dan memecah belah keutuhan NKRI. Dan sekaligus menegaskan kembali, bahwa Pancasila sebagai Ideologi Negara, dan NKRI harga mati. Ini amat sangat urgen. Kepres ini menjadi payung hukum bagi TNI-Polri untuk bertindak tegas, jika perlu tindakan represif. Dalam hal ini Presiden Jokowi harus lebih banyak berperan sebagai Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan, sehingga nuansa politiknya minimal.
2. Kurikulum pendidikan kulikuler dan ekstrakulikuler di sekolah-sekolah negeri dari TK hingga SMA harus berwawasan kebangsaan. Pancasila dan NKRI harus kembali digaungkan pada anak bangsa secara konsisten dan berkesinambungan dengan latar belakang pengetahuan sejarah yang memadahi. Bangsa uang besar adalah bangsa yang mau menghargai sejarah perjuangan bangsanya. Awasi dengan ketat guru-guru agama di sekolah yang begitu jahatnya telah menyusupkan faham sesat radikal agama ke anak bangsa.
3. Benahi manajemen perguruan tinggi utamanya perguruan tinggi negeri, termasuk UGM, untuk fokus pada kegiatan akademik. Penggunaan fasilitas Negara di kampus-kampus oleh civitas akademika harus diutamakan untuk kegiatan akademik, bukan untuk kegiatan politik radikal agama yang ujung-ujungnya justru menggerogoti eksistensi NKRI.
4. Awasi kegiatan-kegiatan di Masjid, jangan sampai Masjid yang mustinya jadi tempat ibadah, justru malah jadi tempat menebar kebencian antar anak bangsa dan sarang penjahat Negara.
5. Negara secara riil harus memberdayakan Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam tengahan.
6. Secara Teknis, Presiden Jokowi terlebih dahulu harus mencopot Mendikbud dan Menristek Dikti, karena kedua orang ini jelas-jelas telah melakukan politik pembiaran.
Terimakasih.
Yogyakarta, 2017-05-02
Hormat saya,
(Ir. Bagas PUJILAKSONO, M.Sc., Lic.Eng., Ph.D.)
Atas surat tersebut kemudian Ma’mun Murod Al Barbasy seorang Dosen di FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta memberikan tanggap singkat terhadap surat tersebut sebagai berikut :
Bagus juga mentradisikan berkirim surat pada siapapun secara terbuka, termasuk kepada Presiden RI. Kalau saya mencermati isi suratnya, saya mencoba menanggapi secara singkat bahwa kalau mendasarkan pada dikotomi klasik terkait kelompok Islam dan kelompok nasionalis, maka isi surat tersebut menggambarkan bahwa sang dosen yang berkirim surat tersebut masuk tipologi dosen kelompok nasionalis, sehingga wajar kirim surat isinya begitu.
Dalam pandangannya, masjid ya hanya untuk sholat, tak boleh untuk membincang persoalan umat lainnya, termasuk politik keumatan. Itu persis model dikotomi Islam ibadah dan Islam politik yang dulu dicanangkan dan diterapkan oleh Belanda. Dosen model begini (jumlahnya banyak) dalam otaknya tertanam bahwa radikalisme yang marak akhir-akhir ini karena pengaruh ideologi radikal dari luar, seperti HTI, ISIS dan Ikhwanul Muslimin. Padahal penyebab dominan radikalisme di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh perilaku, sikap dan kebijakan culas yang dibuat dan diterapkan oleh negara dan kroninya.
Sebelum muncul organisasi yang masuk kategori radikal, di masyarakat sudah tumbuh sikap-sikap radikal dalam menyikapi berbagai kebijakan negara. Sikap radikal ini mengalir saja, ketika masyarakat tertekan secara politik, agama, hukum dsb, pasti naluri untuk melawan akan muncul. Sikap radikal yang ditunjukan dalam pemberontakan petani jenggawah, pemberontakan masyarakat kedung ombo, dan banyak lagi, termasuk perlawanan bangsa kita terhadap penjajah Belanda, saya yakin bukan karena aliran radikal.
Perlawanan umat Islam menjelang pemilu 1971 bukan juga karena pengaruh aliran radikal, temasuk sikap umat Islam dalam menyikapi asas tunggal Pancasila bukan pula karena aliran radikal. Saya sedih saja kalau ada dosen dengan pola pikir yang begitu “sederhana”, cenderung generalisasi dan tanpa berusaha melihat konteksnya. Demikian sekadar tanggapan saya. ( Ma’mun Murod Al Barbasy )
Belakangan beberapa orang dan selebritas media sosial sangat mudah menisbatkan radikal kepada ummat islam dengan pemaknaan peyoratif selah tafsir kebhinekaan dan NKRI hanya mereka yang paham dan ummat islam bagi mereka adalah ancaman terhadap NKRI, justifikasi ini jelas serampangan karena lebih kepada phobia berlebihan terhadap islam untuk itu ummat islam perlu melakukan kontra opini terhadap framing mereka dan sebutan “sekuler radikal” rasanya pantas bagi mereka yang kerap melakukan label negatif terhadap ummat islam. (Sang Pencerah)
Bersama dengan ini menyampaikan rasa kesediham, kekhawatiran dan kecemasan akan keutuhan NKRI dan Pancasila dari bahaya politik radikal agama. Saya memohon bapak Presiden berkenan melindungi para pelajar dan mahasiswa Indonesia dari bahaya faham sesat radikal agama di sekolah dan kampus. Mereka adalah generasi penerus. Negara harus hadir dan bertanggung jawab penuh menyelamatkan anak bangsa.
Saat ini sekolah-sekolah negeri dan universitas negeri termasuk UGM begitu sangat radikal, intoleran, menggerogoti Ideologi Negara Pancasila, dan keutuhan NKRI. Radikalisasi di Sekolah dan Universitas harus segera dihentikan. Negara harus tegas dan keras soal Pancasila dan NKRI. Kebebasan berpolitik bagi warga negara bukan berarti boleh menyentuh Ideologi Negara Pancasila dan menggerogoti keutuhan NKRI. Saya mengusulkan sebagai berikut:
1. Presiden mengeluarkan Kepres soal larangan pelaksanaan kebebasan berpolitik dengan cara menggerogoti Ideologi Negara Pancasila dan memecah belah keutuhan NKRI. Dan sekaligus menegaskan kembali, bahwa Pancasila sebagai Ideologi Negara, dan NKRI harga mati. Ini amat sangat urgen. Kepres ini menjadi payung hukum bagi TNI-Polri untuk bertindak tegas, jika perlu tindakan represif. Dalam hal ini Presiden Jokowi harus lebih banyak berperan sebagai Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan, sehingga nuansa politiknya minimal.
2. Kurikulum pendidikan kulikuler dan ekstrakulikuler di sekolah-sekolah negeri dari TK hingga SMA harus berwawasan kebangsaan. Pancasila dan NKRI harus kembali digaungkan pada anak bangsa secara konsisten dan berkesinambungan dengan latar belakang pengetahuan sejarah yang memadahi. Bangsa uang besar adalah bangsa yang mau menghargai sejarah perjuangan bangsanya. Awasi dengan ketat guru-guru agama di sekolah yang begitu jahatnya telah menyusupkan faham sesat radikal agama ke anak bangsa.
3. Benahi manajemen perguruan tinggi utamanya perguruan tinggi negeri, termasuk UGM, untuk fokus pada kegiatan akademik. Penggunaan fasilitas Negara di kampus-kampus oleh civitas akademika harus diutamakan untuk kegiatan akademik, bukan untuk kegiatan politik radikal agama yang ujung-ujungnya justru menggerogoti eksistensi NKRI.
4. Awasi kegiatan-kegiatan di Masjid, jangan sampai Masjid yang mustinya jadi tempat ibadah, justru malah jadi tempat menebar kebencian antar anak bangsa dan sarang penjahat Negara.
5. Negara secara riil harus memberdayakan Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam tengahan.
6. Secara Teknis, Presiden Jokowi terlebih dahulu harus mencopot Mendikbud dan Menristek Dikti, karena kedua orang ini jelas-jelas telah melakukan politik pembiaran.
Terimakasih.
Yogyakarta, 2017-05-02
Hormat saya,
(Ir. Bagas PUJILAKSONO, M.Sc., Lic.Eng., Ph.D.)
Atas surat tersebut kemudian Ma’mun Murod Al Barbasy seorang Dosen di FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta memberikan tanggap singkat terhadap surat tersebut sebagai berikut :
Bagus juga mentradisikan berkirim surat pada siapapun secara terbuka, termasuk kepada Presiden RI. Kalau saya mencermati isi suratnya, saya mencoba menanggapi secara singkat bahwa kalau mendasarkan pada dikotomi klasik terkait kelompok Islam dan kelompok nasionalis, maka isi surat tersebut menggambarkan bahwa sang dosen yang berkirim surat tersebut masuk tipologi dosen kelompok nasionalis, sehingga wajar kirim surat isinya begitu.
Dalam pandangannya, masjid ya hanya untuk sholat, tak boleh untuk membincang persoalan umat lainnya, termasuk politik keumatan. Itu persis model dikotomi Islam ibadah dan Islam politik yang dulu dicanangkan dan diterapkan oleh Belanda. Dosen model begini (jumlahnya banyak) dalam otaknya tertanam bahwa radikalisme yang marak akhir-akhir ini karena pengaruh ideologi radikal dari luar, seperti HTI, ISIS dan Ikhwanul Muslimin. Padahal penyebab dominan radikalisme di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh perilaku, sikap dan kebijakan culas yang dibuat dan diterapkan oleh negara dan kroninya.
Sebelum muncul organisasi yang masuk kategori radikal, di masyarakat sudah tumbuh sikap-sikap radikal dalam menyikapi berbagai kebijakan negara. Sikap radikal ini mengalir saja, ketika masyarakat tertekan secara politik, agama, hukum dsb, pasti naluri untuk melawan akan muncul. Sikap radikal yang ditunjukan dalam pemberontakan petani jenggawah, pemberontakan masyarakat kedung ombo, dan banyak lagi, termasuk perlawanan bangsa kita terhadap penjajah Belanda, saya yakin bukan karena aliran radikal.
Perlawanan umat Islam menjelang pemilu 1971 bukan juga karena pengaruh aliran radikal, temasuk sikap umat Islam dalam menyikapi asas tunggal Pancasila bukan pula karena aliran radikal. Saya sedih saja kalau ada dosen dengan pola pikir yang begitu “sederhana”, cenderung generalisasi dan tanpa berusaha melihat konteksnya. Demikian sekadar tanggapan saya. ( Ma’mun Murod Al Barbasy )
Belakangan beberapa orang dan selebritas media sosial sangat mudah menisbatkan radikal kepada ummat islam dengan pemaknaan peyoratif selah tafsir kebhinekaan dan NKRI hanya mereka yang paham dan ummat islam bagi mereka adalah ancaman terhadap NKRI, justifikasi ini jelas serampangan karena lebih kepada phobia berlebihan terhadap islam untuk itu ummat islam perlu melakukan kontra opini terhadap framing mereka dan sebutan “sekuler radikal” rasanya pantas bagi mereka yang kerap melakukan label negatif terhadap ummat islam. (Sang Pencerah)
0 Response to "Bantahan Dari Dosen untuk Dosen Sekular Radikal "
Post a Comment