Pemimpin yang Dicinta, Bukan yang Ditakuti (1)
HORMAT dan kasih sayang tak ubahnya seperti kumpulan awan dan curahan hujan. Muncul dari dua pelaku yang berbeda, tapi berasal dari siklus yang satu: awan menurunkan hujan, dan kumpulan air hujan menguap menjadi awan. Sayangnya, tak sedikit yang cuma mengharapkan hujan tapi mengabaikan awan.
Pernahkah membayangkan adanya perebutan posisi imam dalam shalat. Karena terobsesi menjadi imam, para peserta shalat jamaah adu strategi saling jegal. Atau, walau sudah jelas-jelas khilaf, seorang imam super cuek. Ia tetap saja meneruskan langkahnya tanpa sedikit pun melakukan perubahan. Walaupun sebagian makmum mengatakan, “Subhanallah!”
Bayangan seperti itu mungkin sulit terlintas dalam diri siapa pun. Mereka yang paham kaidah shalat jamaah akan mengatakan mustahil kalau hal itu akan terjadi. Kenapa? Selain karena pemahaman, peserta shalat jamaah sedikit pun tak punya kepentingan soal posisi. Umumnya, orang justru berebut untuk tidak menjadi imam.
Soal kepentingan itulah yang akhirnya menjadi garis tebal perbedaan antara shalat jamaah dengan organisasi. Terlebih berbagai kenyataan menunjukkan kalau suatu organisasi punya nilai jual. Punya nilai proyek. Paling tidak, punya nilai popularitas. Kalau mau sabar, popularitas bisa menjadi investasi peningkatan nilai jual dan daya saing diri. Astaghfirullah!
Yang jadi pertanyaan, layakkah aneka kepentingan seperti itu tumbuh dalam organisasi Islam. Pertanyaan ini wajar karena hampir apa pun yang membawa embel Islam punya nilai dakwah yang lebih besar ketimbang nilai komersial. Dan misi dakwah terikat dengan dasar kepentingan utama: meraih ridha Allah swt.
Kalau dasar pijakan tadi bisa diseragamkan, dipahami, dan diyakini; kepentingan-kepentingan ‘liar’ bisa diluruskan. Masalahnya, mampukah orang-orang dalam wadah itu membakukan dasar pijakan dalam sebuah kesepakatan tertulis. Ini memang agak sulit.
Kesulitan pertama, umumnya masyarakat Indonesia sangat paternalistik. Banyak hal selalu bertumpu pada seorang bapak. Ia adalah figur utama. Selalu benar. Dan selalu harus dipercaya. Apa ini salah?
Sebagiannya memang benar. Itulah akhlak seorang anak atau junior pada seniornya. Hormat dan patuh. Tapi, ketika sang bapak mulai menyimpang dari aturan, bentuk penghormatannya berubah. Tidak lagi manut, tapi mesti diluruskan. Tentu dengan cara yang paling baik. Karena semua orang bisa salah. Sekali pun seorang senior yang banyak pengalaman.
Jadi, semangat pemakluman bukan dengan membiarkan kesalahan terjadi terus-menerus. Tapi, dengan pelurusan. Tegas, tapi bersahabat. Inilah yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab. “Kalau aku benar taati aku. Dan kalau salah, luruskan!” Seorang sahabat menambahkan, “Akan aku luruskan dengan pedangku!” Dan Umar pun tersenyum dengan ucapan itu.
Kesulitan kedua, umumnya orang Indonesia lebih biasa patuh pada hukum tak tertulis, ketimbang yang tertulis. Tidak heran jika adat, kebiasaan, lebih kuat dari hukum yang ada. Memang, hukum tak tertulis lebih sederhana. Dan hukum yang tertulis lebih jelimet, butuh ketelitian. Tidak heran jika pengurus sebuah organisasi tidak tahu jelas ad-art organisasinya. Bahkan, nomor keanggotaan diri pun kadang bisa tak tahu. Inilah sebuah kenyataan.
BERSAMBUNG
Redaktur: Saad Saefullah
0 Response to "Pemimpin yang Dicinta, Bukan yang Ditakuti (1)"
Post a Comment