Syiah Dalam Perspektif Keindonesiaan
Oleh: Kholili Hasib
ISU gerak-gerik mencurigakan imigran gelap dari Afganistan yang diduga beraliran Syiah di Balikpapan belakangan ini menjadi pembicaraan hangat. Kita juga belum mengetahui secara pasti tujuan imigran gelap yang konon akan ke Australia itu. Info-info yang beredar baru sebatas spekulasi.
Namun, terlepas dari itu, yang jelas pergerakan Syiah kini cenderung lebih terbuka. Kecenderungan lain adalah, Syiah memakai paradigma nasionalisme-keindonesiaan. Meski begitu, tak menutup kemungkinan ada taqiyah. Buktinya, masih sangat jarang Syiah menampakkan referensi induknya. Gerakannya lebih terbuka tetapi wajah aslinya tetap saja tertutup.
Related
Pertanyaannya adalah, bisakah seseorang itu menjadi Syiah sekaligus seorang yang Nasionalis sekaligus Pancasilais?
Persoalan itu patut diutarakan, sebab worldview Syiah adalah imamah. Gara-gara doktrin imamah ini, meletuslah Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini. Apakah mungkin imamah bisa melebur dengan Pancasila?
Imamah dalam penganut Syiah merupakan figur sentral-fundamental yang mempengaruhi perilaku dan kehidupan sehari-hari penganut Syiah di manapun mereka hidup.
Di era modern, imamah dipraktikkan dalam sistem wilayah al-faqih (kekuasaan al-faqih) di Iran yang beranggotakan 86 ulama dan dipilih tiap delapan tahun. Dewan ini yang menunjuk rahbar (pemimpin agung) dan mengesahkan presiden terpilih.
Secara singkat, praktik wilayah al-faqih ini merupakan pengganti seorang Imam yang saat ini dalam keadaan kosong. Karena itu, otoritasnya meliputi politik dan agama dengan jangkauan otoritas se-dunia. Sistem nya mirip model kepausan dalam agama Katolik.
Itulah gambarannya, teologi Syiah lahir dari politik, digerakkan oleh kekuatan politik. Maka tidak heran, hingga kini strategi dakwah juga politis. Yang patut digaris bawahi, doktrin Syiah tidak pernah menghapus ambisi politik imamahnya. Tiap penganut Syiah yang ideologis, sesungguhnya sangat ambisius untuk berkuasa di lini mananpun. Hanya saja, ambisi itu tertutup ‘topeng’ taqiyah yang merupakan kewajibannya. [baca: Syiah Indonesia: “Bertaqiyah Tak Apa Asal Logis!”]
Karena dasar ideologi juga politik, di mana politiknya hanya mengacu pada imama (di Iran), mau tidak mau ini membahayakan negara. Kenyataan ini sudah disampaikan langsung oleh tokoh Syiah, Khomeini, di mana pernah berambisi menularkan ideologi revolusi kepada negara lain.
Ia pernah mengatakan: “Kenyataanya tidak ada pilihan lain selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kedzaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi olehs setiap Muslim yang ada di Negara Islam sehingga dapat tercapailah kejayaan Revolusi Politik Islam” (Ayatullah Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,hal.46).
Di kalangan kaum Syiah, tulisan Khomeini ini merupakan fatwa untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Khomeini sendiri merupakan tokoh Syiah kontemporer paling kharismatik. Sehingga fatwa ini pernah membakar pemuda Syiah di Indonesia pada tahun delapan puluhan. Pada 24 Desember tahun 1984 aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan candi Borobudur pada 21 Januari 1985.
Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin menjadi ‘Imam’ di Indonesia, sebagaimana Khomeini di Iran. Namun Jawad gagal, dan mendekam di balik jeruji besi.
Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di dunia serta para muftinya. Syeikh Muhammad Abdu Qodir Azad, Ketua Majelis Ulama Pakistan, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini berapi-api mendorong kaum Muslim untuk melakukan revolusi seperti yang ia lakukan di Iran.
Kata Khomeini: “Karena itu wahai para ulama! Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak Allah dan hak bangsa-bangsa Anda. Lalu ketika itu nanti jawaban apakah yang akan Anda berikan?.” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).
Bendera Merah-Putih (Indonesia) menandai tenda yang didirikan mahasiswa Indonesia disepanjang jalan dari Najaf menuju Karbala, sebagai pos-pos istirahat bagi para pejalan kaki dalam peringatan 40 hari kematian Husein [Abna.ir]
Karena itu, sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar Islam ke Iran diduga kuat lebih mengidolakan Iran daripada Indonesia. Lebih bangga sebagai ‘anak-anak’ Khomeini daripada wawasan Keindonesiaan. Di Kalimantan Selatan baru-baru ini ditemukan pemuda-pemuda Syiah membawa bendera Hizbullah (milisi bersenjata Syiah bentukan Garda Revolusi Iran di Libanon) pada suatu acara.
Seperti diketahui, semangat nasionalisme adalah meletakkan kesetiaan individu yang harus diberikan kepada bangsa dan negaranya. Inilah yang jadi persoalan. Sebab sesuai doktrinnya, kesetian Syiah hanya diberikan kepada imam dan imamah dengan sistem politiknya itu. Logikanya, selama seorang itu ber-Syiah Imamiyah, maka sulit melebur menjadi seorang yang nasionalis. [Baca: “Gerakan Syiah Indonesia Diremote dari Iran”]
Karena jalur ideologi politiknya hanya tunduk pada imam (di Iran), maka terjadilah sebagaimana fenomena 5 tahun belakangan ini, di mana kelompok Syiah memberontak dan mengangkat senjata di mana-mana termasuk yang terjadi di Suriah dan Syi’ah al-Hautsi yang menduduki Istana Kepresidenan Yaman.[Baca: Dr. M. Kholid Muslih: Syiah di Berbagai Negara Berpotensi Memberontak]
Sedangkan Ahlus Sunnah sejak awalnya hadir di negeri ini ikut mendirikan dan mempertahankan negara. Di zaman penjajahan, kita lihat para pahlawan Nasional kita mulai Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hasanuddin, sampai KH. Hasyim Asy’ari – yang semuanya bermadzhab Sunni-Syafi’i. Para ulama Sunni inilah yang berperan dalam gerakan kebangkitan kesadaran Nasional.
Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, mengatakan: “Kondisi penjajahan dan penindasan Belanda telah melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme. Islam menjadi anti-Politik Kristenisasi karena Kristenisasi identik dengan imperialisme atau penjajahan” (Ahmad Mansur Suryanegara,Api Sejarah, hal. 279).
Kesadaran nasional itu pertama dipelopori oleh organisasi Sjarikat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 di Surakarta. Organisasi Islam yang membidani ekonomi ini menghimpun untuk melawan penjajah secara kolektif dengan tujuan kebangkitan Nasional dengan cara merebut kembali penguasaan pasar yang dimonopoli oleh VOC. Karena itu, tidak heran pada masa-masa berikutnya basis kebangkitan Nasional melawan penjajah dari pesantren yang bermadzhab Sunni-Syafi’i.
Apalagi, Islam yang datang ke Indonesia adalah Sunni-Syafi’i, bercorak tasawuf. Para Wali Songo adalah Sunni, cepat melebur dengan pribumi. Peleburan ini untuk tujuan Islamisasi. Corak dakwah Wali Songo ini lebih mudah diterima Pribumi.
Jadi, sejak awal dan sudah akarnya, Sunni lebih mudah berindonesia. Leluhur Muslim Sunni Nusantara inilah yang membangun peradaban Nusantara agar menjadi bangsa yang lebih beradab. Dan terbukti melahirkan tradisi intelektual Sunni.*
Penulis adalah peneliti InPAS, anggota MIUMI Jatim
0 Response to "Syiah Dalam Perspektif Keindonesiaan"
Post a Comment