-->

Blunder “Kesederhanaan” Dalam Bingkai Kapitalisme-Neoliberal



Dakwah Media - Belum lama ini, kabinet kerja mengadakan rapat paripurna bersuguhkan hidangkan “kaki lima”.  Menu nasi goreng, mi godok, sate ayam, dan kwiteauw disajikan sebagai menu makan siang dalam rangka refleksi kesederhanaan.  Pak Nurhadi, Pak Rohman, Pak Agus Busiri, dan Pak Bustomi, tiba-tiba menjadi pedagang terkenal yang dipersilakan masuk ke dalam istana.  Tak lupa, mereka pun menerima pendapatan lebih dan kesejahteraan pun dirasakan.  Inilah bentuk refleksi yang ingin disampaikan presiden beserta jajaran kabinetnya kepada publik mengenai arti kesederhanaan.

Terkait kesederhanaan ini, cukup menarik ketika melihat komentar Kepala Sekretariat Kepresidenan Darmansyah Jumala yang dikutip dalam Media Massa Kompas Kamis, 5 Januari 2017.  Ia menyampaikan bahwasanya apa yang disampaikan Presiden Jokowi soal pemerataan menjadi refleksi dari sifat bersahaja Presiden Jokowi. (Kompas, 5/1/17) Sehingga, ditambahkan oleh media massa kompas di akhir tajuknya halaman 5 yang berjudul “Saat Penjual Nasi Goreng dan Mi Godok Masuk Istana” dengan memberikan sentuhan pamungkas bahwasanya Istana Kepresidenan memang tak harus selalu menunjukkan sesuatu yang mahal dan wah, termasuk dalam hal makanan.

Sekilas melihat sikap presiden mengenai kesederhanaan perlu diapresiasi.  Ya, memang semestinya pemimpin senantiasa menghidupi dirinya dengan bentuk kesederhanaan dibanding orang-orang yang dipimpinnya.  Namun, ada hal yang mengganjal ketika di satu sisi presiden menunjukkan sesuatu yang “sederhana”, akan tetapi hal tersebut tidak ditunjukkan dalam ranah kebijakan yang baru-baru ini menjadi polemik di masyarakat.  Apakah hal demikian menjadi “kesederhanaan” yang tulus atau hanya “pencitraan” ?

Saya jadi teringat, ketika presiden juga pernah berhemat dengan menaiki pesawat komersial sebagaimana rakyat lainnya melakukan penerbangan.  Penghematan dan refleksi kesederhanaan itu begitu tercermin dari sosok sahaja seorang presiden.  Namun di satu sisi, saya melihat kebijakan pak presiden tidak merefleksikan “hemat” dan “kesederhanaan” yang ingin presiden contohkan.  Sebut saja, kebijakan perpanjangan kontrak PT Freeport.  Bukankah kebijakan tersebut menjadi tidak sejalan dengan semangat “sederhana” dan “hemat” yang dicontohkan presiden ?

Fakta-fakta inilah yang sering terlihat diantara kondisi istana dan rakyat.  Angle bisa menjadi sudut pandang berbeda ketika menceritakan apa itu makna “hemat” dan “sederhana”.  Maka, ketika membahas kenaikan tarif STNK dan BPKB mencapai 100 %, itu tidaklah “sederhana” bagi rakyat ! Ketika membahas kebijakan kenaikan harga BBM yang sudah disosialisasikan di berbagai media, itu tidaklah “sederhana” bagi rakyat ! dan juga ketika membahas harga komoditas cabai yang naik di negeri ini sampai mencekik rakyat, itu juga tidak “sederhana” !

Bercerita tentang rezim yang menonjolkan “kesederhanaan”-nya ini, teringat sisi sistemik yang mencederai “kesederhanaan” hingga menjadi blunder dan akhirnya membuat rakyat “berat” dan terlampau tidak berpikir “sederhana” menanggapi kondisi yang terjadi.  Hal ini mengingat bahwasanya Indoensia sejak masa Soeharto telah “bermesraan” dengan para bandit ekonomi kapitalisme-neoliberal yang menanamkan bibit-bibit “kebebasan” dalam ranah perdagangan dan ekonomi.  Perubahan sistem ekonomi ini ditunjukkan dengan fakta Indonesia yang berada pada masa Krisis Asia 1997 hingga terjadinya reformasi 1998 terlanjur menandatangai Letter of Intent (Loi) dari Amerika Serikat (AS) untuk menerima Utang Luar Negeri (ULN) dari International Monetery Fund (IMF) dan World Bank.  Isu tambang emas Freeport pun mulai di-“goyang” pasca penandatangan lembaran LoI tersebut.

Pasca penerimaan utang luar negeri tersebut, mulailah perubahan ekonomi mengarah pada gaya ekonomi kapitalisme-neoliberal yang di-drive oleh AS. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya alam utama yakni minyak !.  Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan informasi yang telah disebarkan di berbagai media menjadi hal yang lumrah ketika pasokan minyak dunia dikendalikan oleh World Trade Organization (WTO) dan Multinational Corporation (MNC).  Apalagi ketika mata uang dikendalikan oleh mata uang dollar dan AS sedang mengaturnya, maka kondisi perubahan harga menjadi hal yang pasti akan terjadi. 

John Perkins dalam bukunya Pengakuan Bandit Ekonomi menceritakan tulisannya di dalam pengantar penulis :  

“Washington buru-buru meyakinkan dunia agar tetap menerima dolar sebagai mata uang standar.  Di bawah Saudi Arabian Money Laundering Affair (SAMA), pada awal 1970-an, aku membantu melakukan rekayasa agar Dinasti Saud menjual minyal hanya dalam dolar AS.  Karena Saudi mengendalikan pasar minyak, maka anggota OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak) lainnya terpaksa menurut.  Selama minyak tetap menjadi sumber daya tersebar, dominasi dolar sebagai mata uang standar dunia tetap kokoh – dan pajak tidak langsung terus mengalir.” (Perkins, Pengakuan Bandit Ekonomi, hal. xxi)

Apalagi ketika Timteng dalam kondisi konflik dan Dinasti Saudi dalam kondisi tidak stabil, keadaan harga minyak akan berubah.  Exactly statement, terhadap tulisan John Perkins di atas.
Kasus kenaikan harga STNK dan BPKB kendaraan juga harga komoditas cabai menjadi wajah kontraproduktif dari apa yang disebut “kesederhanaan”.  Kapitalisme-Neoliberal lagi-lagi membuat blunder makna “kesederhanaan” itu. Sehingga mereka yang “duduk” di kabinet rela mengobarkan rakyat demi kepentingan ekonomi global.  Rakyat dikorbankan, sedangkan korporasi asing dilayani dan disuapi makan !

Kenaikan tarif kendaraan berupa STNK dan BPKB menjadi hal yang “aneh” ketika sumber daya alam di negeri ini masih melimpah ruah.  Beginilah sistematika blunder ala kapitalisme-neoliberal.  Perdagangan bebas masih sangat tergiur dengan pasokan-pasokan besar dan sumber daya alam di Indonesia mengingat negeri mereka telah berada di ambang kegoncangan ekonomi.  Coba kita cek pernyataan David M.Smick dalam bukunya Kiamat Ekonomi Global :

“Ancaman proteksionisme, kelemahan perekonomian makro, dnan meningkatnya keseimbangan perekonomian yang menyumbang naiknya volatilitas pasar telah membuat sebagian orang percaya kalau dunia ini berada di tepi kemunduran perekonomian besar, dan bahkan kehancuran” (Smick, David M., Kiamat  Ekonomi Global, hal. 295)

Karena alasan kendala inftrastruktur dan logistik, harga cabai pun rela dinaikkan !.  Bagaimana mungkin negeri yang kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas ini telah lalai dengan pelayanan infrastruktur dan logistik dalam melayani masyarakat.  Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang tidak langsung bersentuhan dengan rakyat terus digelorakan seperti pembangunan mall, hotel, dan sebagainya.  Sebagaimana kondisi yang terus berkembang saat ini, ekonomi Indonesia terus beriringan dengan gejolak ekonomi negeri-negeri maju lain.  Smick lanjut mengatakan :

“Saya punya seorang kawan, namanya tadashi Nakamae, dan dia dipandang sebagai pakar strategi global mandiri di Jepang.  Nakamae mempromosikan satu scenario yang bernama “Chinesh Crash (Ambruknya China)”.  Dia menyatakan kalua dunia telah memasuki tren over kapasitas jangka panjang (terlalu banyak produk yang dihasilkan), pertama di bidang manufaktur, tetapi juga akhirnya dalam bidang jasa.  Nakame memprediksi kemunculan “Revolusi anti-Reagan” baru di mana berbagai pemerintah, terutama di Asia, berusaha menekan pengaruh negara yang lebih besar terhadap perekonomian mereka.” (Smick, M. David, Kiamat Ekonomi Global, hal. 295)

Kegoncangan ekonomi AS dan China yang sedang menuju ujung tanduk kejayaannya terus memanfaatkan peluang demi peluang untuk mengendalikan pasar negara dunia ketiga.  Inilah yang terus menyebabkan munculnya keanehan di dalam rezim dan kedigdayaan di luar rezim.  Ketika suatu “penindasan” berbalut “kesederhanaan”.  Ketika sebuah “kedzaliman” berbalut “penghematan”.  Suatu fenomena kepemimpinan yang mungkin sengaja di-publikasi-kan ditengah masyarakat.  Untuk apa ? tidak lain agar melupakan kedzaliman atas kebijakan yang menimpa rakyat dan menjunjung tinggi “kesederhanaan” seorang pemimpin bersahaja.  Padahal, semua itu semu.  Apalagi kalimat yang pas untuk mengatakannya ?

Blunder “Kesederhanaan”
Dalam Bingkai Kapitalisme-Neoliberal !!!

Jum’at, 6 Januari 2017
Oleh : Muhammad Alauddin Azzam (Ketua Lajnah Khusus Mahasiswa HTI DIY) 

0 Response to "Blunder “Kesederhanaan” Dalam Bingkai Kapitalisme-Neoliberal"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close