-->

Sebuah Catatan Tentang ‘Kebiasaan’



Dakwah Media - Dalam kehidupan ini terkadang kita terperangah oleh manusia-manusia yang memiliki satu kemampuan super, dimana kemampuannya itu terkadang ada diatas rata-rata. Sehingga kadang kala membuat kita kagum, terperangah merasa takjub atas kemampuannya.

Saat melihat seorang pesepak bola seperti lionel messi yang sangat jago dalam drible bola. Maka, kita seolah takjub dan kagum atasnya. Padahal harusnya kalo mau jujur harusnya kita jangan melihat dia sekarang. Tetapi, lihatlah dia jauh-jauh hari sebelum saat ini. Usaha keras yang ia lakukan bertahun-tahun lalu hingga ia bisa seperti sekarang. Kemudian Summy sang juara mobil jingkrak F1 berkali-kali, lalu Rossi yang juga berkali-kali menyabet gelar juara dunia moto GP. Kadang itu kita seolah merasa hebat mereka-mereka saat mereka berada dipuncak tetapi, kita melupakan satu hal. Bagaimana latihan, kerja keras dan pengkondisian mereka atas dirinya yang kemudian mendorongnya berusaha keras hingga bisa seperti sekarang ini. Dan itu semua bukan soal bakat atau kemampuan tapi semua soal habbit’s, soal kebiasaan. Bagaimana mereka menyesuaikan kondisinya agar bisa terbiasa dengan hal-hal yang tidak biasa dilakukan orang lain. Sehingga merekapun bisa berada di atas rata-rata orang pada umumnya.

Messi bisa merespon bola dengan cepat, mendriblingnya secara otomatis tanpa berpikir panjang sebab ia sudah terbiasa. Terbiasa berpikir, merespon dan berbuat hingga menghasilkan sesuatu gerakan yang otomatis. Dan semua itu tidak bisa di dapatkan secara instan tapi harus melalui ribuan atau bahkan jutaan kali latihan agar bisa menghasilkan sebuah respon yang otomatis. Dan begitulah manusia, sebab dirinya yang lemah dan serba kurang sehingga jika ia ingin menjadi sesuatu yang hebat dan “wow”. Ia harus melakukan jutaan kali latihan, membuat kebiasaan itu terus dan terus berulang hingga menjadi sesuatu yang otomatis.

Kebiasaan

Sebuah kebiasaan bisa menjadi sesuatu yang “wow, luar biasa baik!” tetapi, juga bisa menjadi sesuatu yang “wow, luar biasa buruk!”. Menjadi sesuatu yang membuat bangga luar biasa atau menjadi sesuatu yang sakit dan menyesakkan dada. Tergantung dengan kebiasaan apa yang ia lakukan. Kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Terbiasa taat atau terbiasa maksiat.

Ingat! Manusia berperilaku sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Sehingga saat kita melihat perilaku seseorang buruk berarti ada yang salah dalam cara pandang atau cara berpikirnya. Saat cara berpikir salah itu sudah menjadi sebuah kebiasaan maka ini bisa sinyal bahaya bagi manusia. Misalkan; Kebiasaan membuang sampah ke sungai. Andaikan terpikirkan (oleh seseorang saat membuang sampah) dengan membuang sampah ke sungai berarti ia tidak usah bersusah-susah membakar sampah atau membuat ia merasa tidak usah capek-capek mencari TPA. Cukup dengan di buang ke sungai saja semua sudah beres. Maka, ini sinyal membuat bahaya. Bahaya jika kebiasaan ini berlanjut. Diturunkan ke anak cucunya. Lama-lama kebiasaan buruk ini menjadi bencana sebab bisa mendatangkan wabah penyakit dan banjir.

Ingat! Di ilmu pengetahuan alam. Jika taman tidak terbiasa di tanami bunga maka rumput liar akan tumbuh secara berkesinambungan. Agar taman tidak di tumbuhi rumput liar maka, harus ditanami bunga atau tanaman lain yang berguna. Lantas tanaman tersebut di rawat dan di jaga supaya rumput liar tak lagi tumbuh. Menjadi sinyal bahaya adalah saat seseorang tidak tahu dan tidak paham serta terbiasa mengikuti apapun sesuai arus sehingga saat di ujung jalan baru menyesal kemudian. Tidak mengenali diri, tidak paham potensi diri lantas merasa takjub dengan yang lain hingga mau saja di dekte apa saja oleh orang tersebut. Lantas menjadi kebiasaan maka, output dari ini akan menghasilkan sebuah kebiasaan buruk. Bahkan, cenderung otomatis berbuat buruk, jika memang terbiasa berbuat buruk.

Kenali Diri

Menjadi sesuatu yang penting adalah kita menngenali diri kita. Tahu segala potensi pada diri kita. Kemudian berfikir dengan cara yang benar sesuai apa yang telah di gariskan oleh Allah SWT untuk mewujudkan sebuah kebangkitan. Seperti Bangsa Arab saat awal mula kedatangan Islam. Mereka tidak mengerti tentang arti kehidupan, lantas mereka belajar tentang Islam. Sebab mereka sadar jika mereka memang tidak bisa. Kemudian menjadi menjadi orang-orang yang pertama masuk islam, pertama belajar islam. Lalu menjadi pertama yang menolong islam, pertama yang mendakwahkan dan menyebarkan islam. Hingga, kemudian kebiasaan ini berlanjut sampai detik ini. Mereka paham bahwa jika mereka ingin bangkit serta meninggalkan jahiliyah maka, mereka harus memulai kebiasaan baru. Kebiasaan menegakkan kalimat tauhid. Hingga kemudian mengantarkan mereka mengalahkan dua adidaya dunia saat itu, Persia dan Romawi. Padahal, sebelumnya Bangsa Arab bukanlah menjadi bangsa yang diperhitungkan. Tetapi pasca mereka mengenal islam dan menginternalisasikan islam dalam kehidupannya maka, merekapun menjadi matahari kedua yang menyinari dunia.

Dan semua berawal dari kebiasaan. Kebiasaan mengenal islam, mengajarkan islam, mendakwahkan islam dan menerapkan islam dalam semua aspek kehidupan. Akan tetapi, saat ini hal itu ternyata tidak tampak lagi. Sebab tatkala paham-paham semacam nasionalisme, sekulerisme, kapitalisme dan liberalisme dipaksakan di tengah-tengah kaum muslimin bangsa arab. Maka ini, membuat mereka memiliki kebiasaan baru. Kebiasaan mengabaikan saudara-saudaranya sebab ada sekat negara nasionalis. Kebiasaan berlomba-lomba akan kemewahan sebab teracuni paham kapitalisme. Serta sering berfoya-foya dan hidup hedonis sebab tercangkiti virus liberalism serta yang palin fatal adalah mengabaikan Allah SWT sebagai Rabbnya. Sebab menerapkan sistem sekuler dalam kehidupan yang menyebabkan mereka menolak aturan-aturan Allah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan parahnya ini sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan buruk yang harus segera di buang dan di hilangkan!

Kebiasaan Buruk Itu…

Kebiasaan individu yang terus berulang hingga memunculkan kemampuan di atas rata-rata tentu bisa membuat takjub semua orang. Apalagi jika kebiasaan yang baik itu di tularkan ke yang lain. Merembet sampai pada tataran mengelola urusan manusia. Tentu, akan mampu menghasilkan kehidupan yang nyaman andaikan para pemimpin suatu negeri memiliki kebiasaan-kebiasaan yang baik dan taat syariah. Namun, inilah Indonesia. Negeri muslim terbesar di dunia.

Terkadang masih saja di jumpai kebiasaan-kebiasaan buruk yang tak layak di miliki bangsa dengan mayoritas penduduknya yang muslim. Tentu kita paham jika Indonesia memiliki problematika yang kompleks. Tetapi, jika pada tataran pengelolaan Indonesia dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk maka akan mustahil jika Indonesia bisa bangkit menjadi negara adidaya. Apalagi jika kebiasaan buruk bermental terjajah sedemikian rupa melekat di benak rakyat. Sistemik, hingga membuat rakyat Indonesia secara otomatis (mohon maaf) menjadi orang-orang yang tampak seperti orang-orang bodoh. Seperti tikus yang mati di lumbung padi. Memiliki segala potensi untuk menjadikannya sebagai negara yang besar maju dan sejahterah tetapi sudah 70 tahun lebih. Sudah berkali-kali berganti pemimpin. Negeri ini belum juga mampu mewujudkan cita-cita para pejuang. Sebab mereka telah terbiasa berperilaku buruk. Diantara kebiasaan-kebiasaan buruk orang-orang Indonesia adalah:

  1. Terbiasa “Minta Bantuan Asing”. Seolah tidak mampu menyelesaikan problematika sendiri padahal ini adalah awal dari kehancuran. Ingat tidak ada makan siang gratis!
  2. Terbiasa “Ngutang” dengan dalih pembangunan. Padahal kebiasaan inilah yang menyebabkan banyak SDA kita jatuh ke tangan asing dan aseng
  3. Terbiasa “Gak Pede” dengan kemampuan pribadi. Sampai-sampai membuat wacana agar rektor perguruan Tinggi sampai pimpinan BUMNpun diwacanakan boleh di pimpin orang asing
  4. Terbiasa “Ngimpor”. Seolah menjadi ini alibi menutupi pintu ketidakmampuan meningkatkan produktivitas dalam negeri.
  5. Terbiasa “Menipu Rakyat” agar biasa menerima apa adanya tiap keadaan serba sulit. Rakyat di suruh agar terbiasa dengan banjir. Kemudian, menipu mereka dengan tidak menyebut banjir dengan istilah  “banjir” tapi dengan istilah “genangan air”
  6. Terbiasa “Melindungi seorang tersangka”. Tentu ini memiliki alasan kuat dibaliknya, terlebih jika menyangkut orang penting. Sampai-sampai membuat penista Alqur’an bebas berkeliaran
  7. Terbiasa “Mengalihkan Isu”. Ah, ini sudah menjadi makanan pokok kayaknya. Sampai-sampai rakyatpun ogah melihat berita yang tendensius tidak objektif. Yang memiliki tujuan tertentu, semisal pencitraan, dll.


Dan saya kira orang-orang Indonesia masih memiliki kebiasaan-kebiasaan yang terkadang membuat hina mereka. Lihat saja yang paling terbaru, Pilkada Serentak. Meski rakyat sudah mafhum hal terbesut adalah ajang hambur-hambur uang dan seringkali menghasilkan para pemimpin yang korupsi.Tetap saja, hal ini dilakukan. Seolah tak ada cara lain dalam mengangkat pemimpin yang amanah dan taat syariah; Kemudian mereka juga terbiasa tidak mengimani Alqur’an dengan sepenuh hati. Lihat saja pendidikan kita. Malah menghasilkan manusia-manusia yang (mohon maaf) munafik. Bagaimana bisa calon non muslim memenangkan pilkada putaran pertama di daerah mayoritas muslim? Kemudian, bagaimana bisa partai berbasis islam mendukung atau bahkan mencalonkan orang non muslim sebagai calon kepala daerah?. Tentu, ini sudah cukup untuk menjadi salah satu indikasi bukti bahwa orang-orang Indonesia terbiasa dengan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Allah SWT.

Merubah Kebiasaan

Cara mudah merubah kebiasaan buruk adalah dengan memulai kebiasaan baru yang baik. Kemudian, melakukannya secara berkala dan berulang sampai pada saat kebiasaan baik tersebut bisa muncul secara langsung, otomatis. Awalnya memang sulit, tapi jika memiliki niat kuat dan tekad yang kuat maka kebiasaan baru yang baik akan dengan mudah di wujudkan. Sama seperti saat beramal dengan selembar uang seratus ribuan. Di awal akan sulit, tetapi jika sering dilakukan. Maka, insyaallah akan mudah. Beramal dengan uang ratusan ribu bisa serasa membuang selembar sampah, meski aslinya berbeda. Ikhlas, tidak dipikirin setelahnya.

Demikian pula saat paham sekuler telah lama bercokol dibenak umat. Membuat umat menjadi lupa dengan kebiasaannya terikat dengan hukum syara’. Sehingga, ketika terjadi problematika ditengah mereka solusi yang munculpun terkadang tambal sulam dan malah cenderung membuat masalah baru, bahkan bertentangan dengan syariah.

Sudah menjadi kebiasaan umum di Indonesia jika Alqur’an hanya dipakai dalam sumpah jabatan saja. Padahal Alqur’an adalah pedoman hidup manusia. Kenapa kita tidak mau atau bahkan menolak penerapan syariah islam secara kaffah? Bukankah itu juga yang diperintahkan oleh Alqur’an?

Setiap Khutbah Jum’at, Khatib senantiasa berwasiat taqwa dimanapun kita berada. Tapi, nyatanya himbauan itu hanya sekedar menjadi kebiasaan atau rutinitas saat sholat jum’at saja. Buktinya, dalam mengelola SDA; Membuat perjanjian birateral antar negara;  Peradilan dan hukum; Mengatur pergaulan pria wanita; Muamalah ekonomi, dan sebagainya. Sampai pada saat mengelola negara-pun kita terbiasa untuk tidak taqwa dimana saja berada. Sebab kita masih suka taat kepada Allah untuk urusan yang dirasa enak-enak saja. Giliran yang menurut kita tidak enak atau bertentangan dengan nurani diabaikan atau bahkan di tentang. Syariah dan Khilafah yang sejatinya adalah ajaran islam di diskreditkan, di bully bahkan para pengembannya di intimidasi dan dimusuhi. Dan sikap seperti ini kemudian dibiasakan di masyarakat. Inikan berarti membiasakan dan membiarkan masyarakat memusuhi islam. Membiasakan masyarakat menjadi phobia terhadap islam. Oleh sebab itu, mari kita ubah kebiasaan buruk kita menjauhi islam dengan  mengkaji islam secara benar, mendakwahkannya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Insyaallaj, ini akan mampu menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang biasa kita lakukan.

Oleh: Aziz Rohman - Jombang

0 Response to "Sebuah Catatan Tentang ‘Kebiasaan’"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close