Kepemimpinan yang dirindu Surga
Dakwah Media - Pemimpin adalah nahkoda yang bertanggungjawab dalam mengarungi samudera perjalanan hingga sampai tujuan dengan sukses. Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT terhadap apa yang diamanahkan kepada kita. Baik dalam skala kecil, pemimpin bagi dirinya sendiri, maupun dalam lingkup yang luas, yaitu kepemimpinan sebuah Negara.
Yups, berbicara kepemimpinan di dalam Islam, tentu tidak bisa dipisahkan dengan kepemimpinan sosok qudwah teladan umat hingga akhir zaman, Nabi Muhammad saw, dimana beliau memberikan cerminan kepemimpinan dan sosok pemimpin Islam yang dirindukan surga dan menjadi teladan di tengah-tengah kehidupan, seperti halnya kepemimpinan yang saat ini tengah diperebutkan kursi panasnya di ibukota.
Di dalam Islam, pemimpin adalah seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan bertindak sesuai dengan kedudukannya tersebut. Pemimpin pun adalah seorang yang ahli dalam kepemimpinan yang diharapkan bisa memberikan pengaruh dalam melaksanakan dan mencapai visi dan misi sebuah wilayah yang dipimpinnya serta tidak semata-mata menggunakan kedudukannya untuk memimpin.
Sedangkan kepemimpinan adalah suatu peranan dan proses mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan menurut Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada amar ma’ruf nahi munkar, menyeru berbuat kebaikan dan melarang manusia berbuat keburukan. Kepemimpinan Islam adalah manifestasi dari keimanan dan amal shalih. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang hanya mementingkan diri, kelompok, keluarga, kedudukannya dan hanya bertujuan untuk hal-hal yang bersifat duniawi, money dan perhiasan dunia, bukanlah kepemimpinan Islam yang sebenarnya meskipun si pemimpin tersebut beragama Islam, berlabelkan Islam. Apalagi yang non islam; justru mustahil akan melakukan ishlah di tengah-tengah kehidupan.
Kepemimpinan Rasulullah saw merupakan contoh terbaik dalam menghayati nilai-nilai kepemimpinan. Beliau telah meletakkan kepentingan umat Islam jauh dari segala kepentingan diri dan keluarga. Sifat-sifat kepemimpinan yang dihayati dan ditonjolkan baginda telah menjadi rujukan para pengikut beliau di sepanjang zaman dan setiap generasi. Rasulullah saw telah memberikan gambaran yang super rinci bagaimana beliau bersikap sebagai seorang pemimpin; tidak pamer kemewahan dan tidak pula angkuh dengan jabatan yang beliau sandang.
Sebaliknya Rasulullah saw senantiasa menampilkan sikap keramahannya kepada umatnya, menyebarkan salam, menyantuni yang kecil, menghormati yang tua, peduli pada sesama dan selalu tunduk dan takut kepada Allah SWT. But, sayangnya saat ini kita -pemimpin- sangat banyak menginginkan kedudukan, jabatan, dan kepemimpinan. Padahal, untuk memimpin dan mengendalikan diri sendiri saja tidak sanggup. Itulah yang menyebabkan seorang pemimpin tersungkur menjadi hina dalam kepemimpinan yang salah. Tidak pernah ada seorang pemimpin jatuh karena orang lain. Seseorang hanya jatuh karena dirinya sendiri.
Begitu juga, Rasulullah saw memperlihatkan kepemimpinannya tidak dengan banyak menyuruh atau melarang. Beliau memimpin dengan suri teladan yang baik sehingga keteladannya diabadikan dalam Alquran:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab: 21).
Contoh lain, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang cemerlang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya untuk membawakan barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan.
Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang tidak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kepemimpinan Itu Adalah Amanah
Kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter, keteguhan dan sifat-sifat tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan. Itulah mengapa, tidak semua orang mampu memikul amanah kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan seperti:
Al-quwwah (kuat). Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata: “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah.
Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah.” Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menetapkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu mencapai visi dan misi kepemimpinan. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan.
Selain harus memiliki kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kemampuan mengendalikan diri yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan yang dipimpinnya.
Al-taqwa (ketaqwaan). Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syari’at Islam. Ia sadar bahwa, kepemimpinan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya. Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertaqwa. Ia condong untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, mendzalimi dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan penderitaan.
Al-rifq (lemah lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata: ”Saya mendengar Rasulullah Saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” [HR. Muslim].
Selain itu, seorang pemimpin mesti berlaku lemah lembut, dan memperhatikan dengan seksama kesedihan, kemiskinan, dan keluh kesah dari yang dipimpin. Ia juga memerankan dirinya sebagai pelindung dan penjaga yang terpercaya. Dirinya selalu mencamkan sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa diberi kekuasaan oleh Allah SWT untuk mengurusi urusan umat Islam, kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka Allah SWT tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya di hari kiamat.” [HR. Abu Dâwud & at-Tirmidzi].
Untuk itu, seorang pemimpin mesti memperhatikan urusan umat dan bergaul bersama mereka dengan cara yang baik. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki kecakapan dalam hal organisasi dan administasi, akan tetapi ia juga harus memiliki jiwa kepemimpinan yang menjadikan dirinya ditaati dan dicintai oleh yang dipimpin.
Benar, bahwa kepemimpinan itu juga bersifat manusiawi. Manusia juga memiliki sifat lemah, lupa, salah dan sebagainya. Hanya saja, sebaik-baik pemimpin adalah yang mau memperbaiki kesalahan sehingga tidak terulang kembali. Ingat bahwa amanah ini adalah sesuatu anugerah yang besar jika dijalankan dengan penuh keikhlasan dan ketaqwaan namun juga bisa sebaliknya, akan menjadi beban yang tidak sepele setelah kehidupan nantinya.
So, masihkah akan memilih calon pemimpin yang sudah jelas-jelas jauh dari kreteria di atas? Tentu tidak bagi kita yang menginginkan kepemimpinan yang akan memberikan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Waallahu ‘alam bil haq.
Oleh: Ima Susiati (Mahasiswa Indonesia di Negeri Anbiya`)
Yups, berbicara kepemimpinan di dalam Islam, tentu tidak bisa dipisahkan dengan kepemimpinan sosok qudwah teladan umat hingga akhir zaman, Nabi Muhammad saw, dimana beliau memberikan cerminan kepemimpinan dan sosok pemimpin Islam yang dirindukan surga dan menjadi teladan di tengah-tengah kehidupan, seperti halnya kepemimpinan yang saat ini tengah diperebutkan kursi panasnya di ibukota.
Di dalam Islam, pemimpin adalah seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan bertindak sesuai dengan kedudukannya tersebut. Pemimpin pun adalah seorang yang ahli dalam kepemimpinan yang diharapkan bisa memberikan pengaruh dalam melaksanakan dan mencapai visi dan misi sebuah wilayah yang dipimpinnya serta tidak semata-mata menggunakan kedudukannya untuk memimpin.
Sedangkan kepemimpinan adalah suatu peranan dan proses mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan menurut Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada amar ma’ruf nahi munkar, menyeru berbuat kebaikan dan melarang manusia berbuat keburukan. Kepemimpinan Islam adalah manifestasi dari keimanan dan amal shalih. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang hanya mementingkan diri, kelompok, keluarga, kedudukannya dan hanya bertujuan untuk hal-hal yang bersifat duniawi, money dan perhiasan dunia, bukanlah kepemimpinan Islam yang sebenarnya meskipun si pemimpin tersebut beragama Islam, berlabelkan Islam. Apalagi yang non islam; justru mustahil akan melakukan ishlah di tengah-tengah kehidupan.
Kepemimpinan Rasulullah saw merupakan contoh terbaik dalam menghayati nilai-nilai kepemimpinan. Beliau telah meletakkan kepentingan umat Islam jauh dari segala kepentingan diri dan keluarga. Sifat-sifat kepemimpinan yang dihayati dan ditonjolkan baginda telah menjadi rujukan para pengikut beliau di sepanjang zaman dan setiap generasi. Rasulullah saw telah memberikan gambaran yang super rinci bagaimana beliau bersikap sebagai seorang pemimpin; tidak pamer kemewahan dan tidak pula angkuh dengan jabatan yang beliau sandang.
Sebaliknya Rasulullah saw senantiasa menampilkan sikap keramahannya kepada umatnya, menyebarkan salam, menyantuni yang kecil, menghormati yang tua, peduli pada sesama dan selalu tunduk dan takut kepada Allah SWT. But, sayangnya saat ini kita -pemimpin- sangat banyak menginginkan kedudukan, jabatan, dan kepemimpinan. Padahal, untuk memimpin dan mengendalikan diri sendiri saja tidak sanggup. Itulah yang menyebabkan seorang pemimpin tersungkur menjadi hina dalam kepemimpinan yang salah. Tidak pernah ada seorang pemimpin jatuh karena orang lain. Seseorang hanya jatuh karena dirinya sendiri.
Begitu juga, Rasulullah saw memperlihatkan kepemimpinannya tidak dengan banyak menyuruh atau melarang. Beliau memimpin dengan suri teladan yang baik sehingga keteladannya diabadikan dalam Alquran:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab: 21).
Contoh lain, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang cemerlang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya untuk membawakan barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan.
Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang tidak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kepemimpinan Itu Adalah Amanah
Kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter, keteguhan dan sifat-sifat tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan. Itulah mengapa, tidak semua orang mampu memikul amanah kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan seperti:
Al-quwwah (kuat). Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata: “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah.
Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah.” Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menetapkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu mencapai visi dan misi kepemimpinan. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan.
Selain harus memiliki kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kemampuan mengendalikan diri yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan yang dipimpinnya.
Al-taqwa (ketaqwaan). Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syari’at Islam. Ia sadar bahwa, kepemimpinan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya. Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertaqwa. Ia condong untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, mendzalimi dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan penderitaan.
Al-rifq (lemah lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata: ”Saya mendengar Rasulullah Saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” [HR. Muslim].
Selain itu, seorang pemimpin mesti berlaku lemah lembut, dan memperhatikan dengan seksama kesedihan, kemiskinan, dan keluh kesah dari yang dipimpin. Ia juga memerankan dirinya sebagai pelindung dan penjaga yang terpercaya. Dirinya selalu mencamkan sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa diberi kekuasaan oleh Allah SWT untuk mengurusi urusan umat Islam, kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka Allah SWT tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya di hari kiamat.” [HR. Abu Dâwud & at-Tirmidzi].
Untuk itu, seorang pemimpin mesti memperhatikan urusan umat dan bergaul bersama mereka dengan cara yang baik. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki kecakapan dalam hal organisasi dan administasi, akan tetapi ia juga harus memiliki jiwa kepemimpinan yang menjadikan dirinya ditaati dan dicintai oleh yang dipimpin.
Benar, bahwa kepemimpinan itu juga bersifat manusiawi. Manusia juga memiliki sifat lemah, lupa, salah dan sebagainya. Hanya saja, sebaik-baik pemimpin adalah yang mau memperbaiki kesalahan sehingga tidak terulang kembali. Ingat bahwa amanah ini adalah sesuatu anugerah yang besar jika dijalankan dengan penuh keikhlasan dan ketaqwaan namun juga bisa sebaliknya, akan menjadi beban yang tidak sepele setelah kehidupan nantinya.
So, masihkah akan memilih calon pemimpin yang sudah jelas-jelas jauh dari kreteria di atas? Tentu tidak bagi kita yang menginginkan kepemimpinan yang akan memberikan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Waallahu ‘alam bil haq.
Oleh: Ima Susiati (Mahasiswa Indonesia di Negeri Anbiya`)
0 Response to "Kepemimpinan yang dirindu Surga"
Post a Comment