Enam Mitos Tentang Intelijen Keamanan Nasional Amerika
Dakwah Media - Sehari setelah disumpah jabatan, Donald Trump kembali berbicara di markas CIA. Pidato Trump tersebut dilihat sebagai upaya untuk memperbaiki hubungannya dengan dinas intelijen. Hubungan keduanya sempat memburuk akibat sikap dan pernyataan Trump sebelumnya yang skeptis terhadap hasil penilaian intelijen terkait aksi peretasan yang diduga dilakukan Rusia terhadap surat-surat elektronik Komite Nasional Demokrat dan kampanye kandidat presiden Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Sikap skeptis itu ditunjukkan oleh Trump bersama sejumlah ahli di bidang keamanan yang menyatakan keraguan mereka mengenai rumitnya hubungan antara isu serangan siber dengan akurasi sumber-sumber intelijen. Sikap skeptis itu nampaknya semakin diperparah oleh bukti-bukti yang tak terelakkan mengenai campur tangan Rusia pada pemilu yang lalu.
Di universitas dan lembaga-lembaga akademis lain diajarkan bagaimana komunitas intelijen mengumpulkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi sensitif kepada para pembuat kebijakan dan pejabat-pejabat yang terpilih.
Berikut adalah beberapa hal yang secara salah dipahami mengenahi aktifitas-aktifitas intelijen, yang bukan hanya dipertontonkan oleh presiden Donald Trump, tetapi juga oleh laporan-laporan media terkait intervensi Rusia terhadap pilpres 2016 yang lalu.
Koreksi atau sikap yang benar terhadap mitos-mitos tersebut penting dilakukan karena publik sudah terlanjur menaruh harapan yang tidak realistis terhadap produk-produk dan analisa intelijen. Harapan yang salah ini bisa merusak kredibilitas komunitas intelijen itu sendiri, dan akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan setiap misi.
Mitos 1: Data Intelijen dan Bukti Pengadilan adalah Sama
Data intelijen dan bukti (pengadilan) itu sama sekali berbeda. Para analis intelijen bekerja dengan memahami situasi dari multi aspek, lalu membuat penilaian tentang situasi tersebut dan menginformasikannya kepada para pembuat keputusan.
Di sisi lain, para investigator penegak hukum mencari bukti-bukti yang diperlukan untuk memenuhi standar legalitas beban pembuktian (onus probandi). Di ruang pengadilan, bukti-bukti langsung sebuah kejahatan, seperti: DNA, sidik jari, dan kesaksian/pengakuan para saksi, merupakan bukti yang terbaik.
Di kalangan komunitas intelijen, para analis terkadang harus bersinggungan dengan dinas intelijen asing, bahkan dengan kelompok-kelompok “teroris” yang memiliki kemampuan menggunakan sarana-sarana kontra-intelijen negara dan mampu melakukan kampanye penyesatan untuk mengelabuhi pejabat-pejabat intelijen AS, sehingga pada akhirnya akan menciptakan situasi ketidakpastian.
Menjadi tidak realistis apabila kita terlalu berharap dinas intelijen akan selalu didukung oleh “bukti-bukti yang sudah teruji kebenarannya” dalam melakukan penilaian. Alasan lain mengapa banyak orang begitu skeptis dengan intelijen karena minimnya penjelasan atau keterangan yang bisa diterima tentang bagaimana para analis itu membuat berbagai kesimpulan.
Sebagai contoh, Kantor Direktur Intelijen Nasional pernah mengungkap ke publik sebuah laporan mengenahi peran Rusia dalam mempengaruhi pemilu di AS pada awal Januari lalu. Merespon hal itu, Robert Graham, seorang analis sebuah perusahaan di bidang keamanan siber, mengatakan kepada Wired, “Melihat jenis data apa yang mungkin mereka miliki, seharusnya mereka bisa memberikan lebih banyak lagi detilnya. Dan mereka benar-benar membuat saya kesal.” Respon senada juga diungkap oleh Susan Hennessey, seorang anggota Brookings Institution melalui Twitter.
Tetapi berbagai kritikan tersebut tidak benar. Teknik yang dipakai oleh berbagai dinas intelijen harus tetap dirahasiakan untuk menghindari terbongkarnya metoda dan daya analisa dinas intelijen oleh musuh.
Mitos 2: Intelijen Bisa Memprediksi Masa Depan
Mantan Presiden Barack Obama dikritik karena tidak mau menunjukkan secara detil penilaian intelijen mengenahi aksi peretasan oleh Rusia terhadap proses pemilu. Sebagian orang mengatakan bahwa komunitas intelijen seharusnya bisa memberikan peringatan sedini mungkin dan akurat kepada masyarakat tentang dampak intervensi Rusia.
Berbagai kritikan itu tepat untuk melihat secara normal ke belakang atas segala peristiwa yang telah terjadi, namun akan menjadi sebuah mitos apabila digunakan untuk memprediksi peristiwa-peristiwa yang akan datang, termasuk bahwa agen-agen dinas intelijen bisa memprediksi masa depan.
Meskipun semua teknologi telah tersedia bagi komunitas intelijen, tetapi kita belum bisa membuat skenario riil di dunia nyata seperti dalam film “Minority Report” di mana unit-unit khusus intelijen bisa mencegah terjadinya pembunuhan beberapa detik sebelum terjadi dengan bantuan teknologi visualisasi dan psikologi.
Kenyataan tak terbantahkan bahwa komunitas intelijen kerap menghadapi kegagalan. Mereka gagal memprediksi kekuatan jihad Afghanistan yang mendorong kejatuhan cepat Uni Soviet. Mereka juga tidak mengira fenomena Arab Spring terutama revolusi Suriah akan bergerak tak terkendali. Dan yang terbaru, mereka tidak mengetahui akan ada invasi Rusia di Krimea. Komunitas intelijen juga tidak bisa memprediksi seberapa jauh atau seberapa dekat Rusia akan ikut campur tangan terhadap pemilu AS.
Inilah yang bisa mereka lakukan. Agen-agen intelijen akan membuat apa yang mereka sebut dengan “estimasi keamanan nasional” yang hanya mencerminkan opini para analis. Opini-opini itu kemudian dipelajari dengan menggunakan skala tingkat kepercayaan (confidence level scale) yang bervariasi antara “hampir tidak mungkin” sampai dengan “hampir pasti”. Penilaian itu didasarkan pada kualitas informasi, tingkat & kedalaman pengetahuan analis terhadap isu yang sedang di-zoom, kredibilitas dan kehandalan sumber yang digunakan untuk memproduksi (informasi) intelijen, dan kemampuan untuk saling menguatkan/mengkonfirmasi dengan sumber-sumber lain.
Dengan kata lain, pengolahan data intelijen dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan kriteria yang ketat untuk memastikan validitas dan kredibilitas sebuah penilaian. Meskipun demikian, dinas intelijen tetap menggunakan skenario yang masuk akal, bukan semata-mata prediksi.
Mitos 3: Data Intelijen Adalah Hasil Operasi Rahasia
Barangkali yang tak pernah terbayangkan selama ini, bahwa sekitar 80 persen informasi intelijen yang digunakan oleh badan-badan keamanan bukan termasuk kategori rahasia, dan tidak memerlukan operasi-operasi rahasia.
Faktanya sebagian besar informasi intelijen yang dikumpulkan berasal dari “open source” atau sumber-sumber terbuka dan bisa diakses publik, seperti: internet; media masa tradisional, termasuk televisi, radio, koran, dan majalah; terutama sekali jurnal-jurnal, hasil pernyataan sikap sebuah konferensi & hasil kajian lembaga studi; foto-foto, peta, dan gambar-gambar komersial; serta berbagai database yang bisa diakses oleh publik.
Ada dua tantangan utama bagi intelijen Amerika terkait dengan “open source”. Kadang-kadang informasi yang diperlukan tidak tersedia dalam bentuk/format digital, dan terkadang juga tidak menggunakan bahasa Inggris. Komunitas intelijen AS termasuk yang menyedihkan soal penguasaan bahasa selain Bahasa Inggris, sehingga mereka kerap menyewa penerjemah asing yang berisiko terhadap misi mereka sendiri.
Situasi keterbatasan ini terkadang membuat operasi-operasi rahasia harus dilakukan. Tetapi dalam banyak kasus, hasil pengolahan data atau estimasi intelijen agak kurang menarik dan tidak selalu menghebohkan.
Mitos 4: Komunitas Intelijen Mayoritas Beranggotakan Agen-agen Rahasia
Ketika kebutuhan suatu dinas intelijen akan informasi bisa dipenuhi melalui sumber-sumber “open source”, maka peran agen-agen rahasia relatif tidak lagi dibutuhkan. Dan hanya sekitar 10 persen di antara pekerja CIA yang termasuk dalam kategori agen rahasia.
Sembilan puluh persen-nya terdiri dari para analis, manajer, ilmuan, dan staf pendukung. Mayoritas pekerja di bidang intelijen bekerja di belakang meja, dan seringnya mereka adalah para ahli geopolitik, sejarah, dan hubungan internasional. Hanya sedikit yang menggunakan jasa agen super semacam James Bond di luar negeri.
Mitos 5: Data Informasi “Top Secret” Hanya Diketahui oleh Segelintir Orang
Di negara AS, terdapat sekitar 5,1 juta orang telah memiliki ijin keamanan untuk berurusan dengan informasi-informasi sensitif. Dari jumlah tersebut, 1,4 juta orang di antaranya mengantongi “security-clearance” untuk berurusan dengan informasi kategori “top secret”. “Top secret” sendiri bukanlah ijin yang paling rahasia.
Selain itu, ada orang-orang tertentu yang tidak diketahui jumlahnya memiliki ijin di atas “top secret” seperti “informasi kompartemen sensitif” dan “program akses khusus”. Situasi lingkungan intelijen yang sedemikian “crowded” ini memperbesar risiko bahwa informasi-informasi sensitif akan bocor baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Mitos-6: Hanya Presiden yang Tahu Briefing Harian Kepresidenan
Selama masa transisi, Presiden Trump membuat preseden atau kebijakan baru dengan mendelegasikan apa yang disebut dengan “briefing harian kepresidenan” kepada Wakil Presiden Mike Pence. Kebijakan baru ini tidak semata-mata menyebabkan komunitas intelijen kehilangan agenda pertemuan dengan Big-Boss mereka, namun ke depan akan menjadi hal yang biasa bahwa briefing harian kepresidenan juga dibaca oleh orang lain.
Pernah ada laporan, selama pemerintahan Obama, dokumen briefing kepresidenan ini juga dilihat oleh lebih dari 30 orang, termasuk beberapa analis senior intelijen, penasehat senior Gedung Putih, sekretaris tiap departemen, dan sejumlah anggota Kongres yang sudah diseleksi. Meskipun ada orang-orang lain yang ikut membacanya, komunitas intelijen tetap memiliki akses ke Obama setiap hari untuk briefing, sesuatu yang sejauh ini tidak diberikan oleh Trump. [kiblat]
0 Response to "Enam Mitos Tentang Intelijen Keamanan Nasional Amerika"
Post a Comment