HUKUM SANTRI TPQ MENYANYI DAN TEPUK TANGAN DI MASJID?
Dakwah Media - Assalamualaikum wr wb. ustadz..Ada larangan bertepuk tangan, bernyanyi dan bersuara gaduh di dlm masjid. Nah bagimana dgn santri santri TPQ yg biasanya diajari lagu lagu islami dan bertepuk tangan? Apa haram juga? (Heri Purnomo, Brondong)
Jawab:
Fakta masjid
Menurut bahasa masjid berarti tempat sujud (tempat shalat). Dalam pengertian ini seluruh muka bumi ini adalah masjid. Rasulullah SAW bersabda:”dimana saja engkau berada, jika wakut shalat tiba dirikanlah shalat, karena disitupun masjid”(HR.Muslim)
Menurut syari’i masjid adalah sebuah bangunan, tempat ibadah umat Islam, yang digunakan oleh umat Islam terutama sebagai tempat dilangsungkannya shalat berjamaah. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dinding masjid, baik sebelah luar maupun sebelah dalam, dianggap sebagai bagian dari masjid yang harus dipelihara kehormatannya. (DEPAG.2000:15-16)
Adapun fungsi masjid penulis paparkan sebagaimana dalam (DEPAG,2000:19-21) sebagai berikut:
1. Sosial
Di dalam masjid kaum muslim menemukan ketenangan hidup dan kesucian jiwa, karena di sana terdapat majelis-majelis dan forum-forum terhormat. Masjid bagi umat Islam merupakan institusi yang paling penting untuk membina suatu masyararakat Islam. Di masjidlah rasa kestauan dan persatuan umat islam ditumbuhkan.
2. Pendidikan
Masjid juga dipergunakan untuk mengadakan halaqah ilmiyah di masjid. Ulama sepakat bahwa disunahkan mengadakan halaqah ilmiyah di masjid. Dalam hal ini, hadits-hadits yang mendorong untuk mengadakan halaqh ilmiyah banyak jumlahnya, di antaranya abdullah bin Amr bin As (sabahabat; 65 H)
“ Rasulullah SAW melihat dua majelis di masjidnya, yang pertama berdoa dan bermunajat kepada Allah yang kedua belajar dan mengajar fiqih. Rasulullah SAW kemudian bersabda: kedua majelis itu baik tetapi salah satunya di antaranya lebih utama”.
3. Pemersatu umat
Masjid berfungsi sebagai alat pemersatu, sebagaimana Rasulllah SAW mempersatukan Kabilah Auz dan Khazraj di satu pihak dengan Muhajirin di pihak lain. Rasulullah SAW mempersatukan umat Islam di masjid Nabawi.
4. Agama
Di masjid, semua strata masyarakat bertemu dalam derajat yang sama, karena Allah SWT tidak memandang strata masyarakat di dunia. Bagi Allah SWT, yang paling terhormat di antara mereka adalah mereka yang paling takwa. Dalam bidang keagamaan, masjid berfungsi sebagai
tempat melakukan shalat, yang dalam hadits disebutkan sebagai tiang agama, baik wajib maupun sunnah.
Di samping memahami peran dan fungsi masjid yang sedemikian penting dan besar bagi umat Islam, kita juga sangat dituntut untuk mengetahui dan merealisir adab terhadap masjid. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Ahmad Yani dan Achmad Satori Ismail (98-101) yaitu:
a. Membangun masjid ikhlas karena Allah
b. Rajin pergi ke masjid
c. Menjaga kebersihan masjid
d. Pergi ke masjid menggunakan pakaian yang baik
e. Masuk ke masjid menjaga kebersihan bau-bau yang tidak sedap
f. Berdoa ketika berangkat ke masjid
g. Berdoa ketika masuk masjid
h. Melaksanakan shalat tahyul masjid
Hukum menyanyi dan memainkan alat musik di masjid
Terjadi khilafiah diantara para ulama', tentang hukum bernyanyi dan memainkan alat musik di masjid. Ada ulama' yang mengharamkannya dan ada ulama' yang membolehkannya.
Dalil Ulama' yang berpendapat mengharamkan bernyanyi dan memainkan musik di masjid, diantaranya:
Allah Ta’ala berfirman ;
“Bertasbih kepada Alloh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” (Q.S. An-Nur : 36)
Nabi saw melarang akan hal itu :
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,bahwa Nabi saw, telah melarang dari mendendangkan nyanyian di dalam masjid (HR.An-Nasa’i, Tirmidzy dan Ibn Majah). Menurut Al-Bani hadits ini Hasan.
Diantara ulama' yang berpendapat di atas adalah:
Imam As Suyuthi Rahimahullah menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan yang tidak boleh ada di dalam masjid: “Di antaranya adalah menari,menyanyi di dalam masjid, memukulduf (rebana) atau rebab (sejenis alatmusik), atau selain itu dari jenis alat- alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya.Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bilIttiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal.
30. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sementara dalil Ulama' yang membolehkan bernyanyi dan memainkan musik di masjid, diantaranya:
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis:
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“ Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaituRasulullah Saw) ” [ HR. Muslim, juz II, hal. 485]
Amir bin Sa’ad Al Bajali, ia berkata:
“ Aku datang ke sebuah acara pernikahan bersama Qurazah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud AlAnshari. Di sana para budak wanita bernyanyi. Aku pun berkata, ‘Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga ahlul badr, engkau membiarkan ini semua terjadi di hadapan kalian?’. Mereka berkata:
‘Duduklah jika engkau mau dan dengarlah nyanyian bersama kami, kalau engkau tidak mau maka pergilah,sesungguhnya kita diberi rukhshah untuk mendengarkan al lahwu dalam pesta pernikahan’ ” (HR. Ibnu Maajah 3383, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah).
Juga Rasulullah SAW bersabda:
"Ramaikanlah pernikahan, jadikan pernikahan di masjid dan tabuhkanlah dengan rebana" (HR Turmudzi, ia menilainya dlaif dan ulama yang lain juga mendlaifkannya). Namun ahli hadis al-Hafidz as-Sakhawi berkata bahwa hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Mani' dan lainnya. Dengan demikian hadis ini berstatus hasan karena diperkuat (mutaba'ah) oleh riwayat lain”. (Al-Maqashid al-Hasanah 125)
Dari hadis ini ahli fikih Syafiiyah, Ibnu Hajar al-Haitami berkata:
“Hadis ini mengisyaratkan dibolehkannya menabuh rebana di masjid. Hal tersebut disampaikan oleh ulama Salaf seperti Abu Zur’ah, Ibnu Abdi Salam, Ibnu Daqiq al-Id, Asy-Syairazi dan sebagainya” (Fatawa al-Fiqhiyah al- Kubra 10/298)
JADI, Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya
kontradiksi ( ta’arudh ) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global ( ijmal ) sedang lainnya adalah penjelasan ( tafsir).
Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu ( Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi ( jama’ ) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya.
Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang
memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan
salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima“ Mengamalkan dua
dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah
satunya. ” ( Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh , hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “ Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan
untuk ditanggalkan. ” ( Syaikh Taqiyuddin an- Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , juz 1, hal.
239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian, Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian ( takhsis ), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya, pernikahan, kegembiraan. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) ( Dr. Abdurrahman al-Baghdadi , Seni Dalam Pandangan Islam , hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki , Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas , hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan.
Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang
disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il),atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr,zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran,mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya ( Dr. Abdurrahman al-Baghdadi , Seni Dalam Pandangan Islam , hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki , Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas , hal. 103).
Jadi, melantunkan lagu-lagu ISLAMI anak-anak TPQ dan TPA yang dilakukan di masjid , yakni TPQ dilaksanakan diluar waktu sholat berjamaah di masjid HUKUMNYA BOLEH.
Hukum bertepuk tangan anak TPQ di masjid Berkaitan hukum tepuk tangan, Telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang hukum bertepuk tangan ( At-Tashfiiq atau At- Tashfiih ). Ada yang mengharamkan, ada yang memakruhkan, dan ada yang membolehkannya.
Dalil yang mengharamkannya
Allah Taala berfirman:
Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. (QS.Al Anfal: 35) Ada riwayat yang menyatakan bahwa Kaum Quraisy mengganggu Nabi SAW yang sedang tawaf dengan bertepuk tangan dan bersiul, maka turunlah ayat ini sebagai ancaman. Ibnu Abbas berkata: “Dahulu orang-orang Quraisy bertawaf di sekeliling Ka’bah dalam keadaan telanjang sambil brsiul dan bertepuk tangan”. Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab, Abu Salamah bin Abdurrahman, ad-dhahhak, Qatadah, ‘Athiyyah, al-
Aufi, Hajar bin Anbas dan Ibnu Abza’. (lihat tafsir Ibnu Katsir).
Imam Ash Shan’ani mengatakan:
Ada pun menari dan bertepuk tangan, itu adalah perbuatan ahli kefasikan. ( Subulus Salam , 2/192)
Dalil yang memberi keringanannya Dalam hadits disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR. Bukhari No. 652, Muslim No. 421, Abu Daud No. 940, Ibnu Hibban No. 2260, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3147, 5089, Ibnu Khuzaimah No. 1623, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 390)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :
“Dibolehkan bagi laki-laki bertasbih dan bertepuk tangan bagi wanita, jika ada hal yang membuatnya tidak nyaman sepertimengingatkan imam ketika berbuat kesalahan, memberi izin kepada orang yang akan masuk, atau memandu orang buta atau yang semisalnya.” ( Fiqhus Sunnah,1/264)
Syaikh Abdullah Al-Faqih Hafizhahullah Beliau berkata secara umum, bertepuk tangan ada dua keadaan:
Pertama . Terjadi di dalam shalat bagi untuk yang keliru, ini terlarang bagi laki-laki namun sunah bagi wanita. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.”
Kedua . Bertepuk tangan di luar shalat, ini ada dua jenis:
1. Jika memiliki hajat (keperluan), seperti minta izin, memberi peringatan, permainan ibu-ibu kepada anaknya, atau memperbagus nasyid, atau semisalnya, maka ini diperbolehkan. Disebutkan dalam Hasyiah Al-Jumal (1/432): “Tidak diharamkan jika tidak bermaksud untuk permainan ……, sesungguhnya hal itu diperlukan untuk memperbagus nasyid dan semisalnya, seperti yang dilakukan kaum wanita ketika bermain dengan anak- anak mereka.” Selesai.
2. Jika tidak ada keperluan, maka ini terlarang. Di antara ulama ada yang mengharamkannya dan ada pula yang memakruhkannya. Dalil mereka adalah firman Allah Taala tentang kaum musyrikin: Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.
Berkata para ahli tafsir: At-Tashdiyah artinya At-Tashfiiq (bertepuk tangan). Atas dasar ini, maka apa-apa yang ditanyakan itu tidaklah mengapa selama tidak mengandung perkara yang memang dilarang oleh syariah. ( Fatawa Syabakah Islamiyah, 9/3584).
Dengan mengkompromikan kedua dalil tersebut, Jadi, anak TPQ bertepuk tangan dalam upaya penanaman materi keislaman, seperti tepuk tangan islam, rukun islam, penyemangat keislaman, dll dan tidak mengganggu pelaksanaan jama'ah sholat HUKUMNYA BOLEH.
Terkait larangan kegaduhan dalam masjid itu saat sholat. Sementara di luar sholat tidak apa-apa, selama tidak ada melanggar syari'ah dan merendahkan kehormatan masjid. Hal ini, karena masjid zaman nabi juga digunakan latihan pedang dan pengi'lanan pernikahan dengan tabuh rabana.
Demikian, jawaban kami. Wa Allahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Fathur Rahman Alfaruq (Pengasuh Majelis Tsaqafah Islamiyah Brondong Lamongan)
Jawab:
Fakta masjid
Menurut bahasa masjid berarti tempat sujud (tempat shalat). Dalam pengertian ini seluruh muka bumi ini adalah masjid. Rasulullah SAW bersabda:”dimana saja engkau berada, jika wakut shalat tiba dirikanlah shalat, karena disitupun masjid”(HR.Muslim)
Menurut syari’i masjid adalah sebuah bangunan, tempat ibadah umat Islam, yang digunakan oleh umat Islam terutama sebagai tempat dilangsungkannya shalat berjamaah. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dinding masjid, baik sebelah luar maupun sebelah dalam, dianggap sebagai bagian dari masjid yang harus dipelihara kehormatannya. (DEPAG.2000:15-16)
Adapun fungsi masjid penulis paparkan sebagaimana dalam (DEPAG,2000:19-21) sebagai berikut:
1. Sosial
2. Pendidikan
Masjid juga dipergunakan untuk mengadakan halaqah ilmiyah di masjid. Ulama sepakat bahwa disunahkan mengadakan halaqah ilmiyah di masjid. Dalam hal ini, hadits-hadits yang mendorong untuk mengadakan halaqh ilmiyah banyak jumlahnya, di antaranya abdullah bin Amr bin As (sabahabat; 65 H)
“ Rasulullah SAW melihat dua majelis di masjidnya, yang pertama berdoa dan bermunajat kepada Allah yang kedua belajar dan mengajar fiqih. Rasulullah SAW kemudian bersabda: kedua majelis itu baik tetapi salah satunya di antaranya lebih utama”.
3. Pemersatu umat
Masjid berfungsi sebagai alat pemersatu, sebagaimana Rasulllah SAW mempersatukan Kabilah Auz dan Khazraj di satu pihak dengan Muhajirin di pihak lain. Rasulullah SAW mempersatukan umat Islam di masjid Nabawi.
4. Agama
Di masjid, semua strata masyarakat bertemu dalam derajat yang sama, karena Allah SWT tidak memandang strata masyarakat di dunia. Bagi Allah SWT, yang paling terhormat di antara mereka adalah mereka yang paling takwa. Dalam bidang keagamaan, masjid berfungsi sebagai
tempat melakukan shalat, yang dalam hadits disebutkan sebagai tiang agama, baik wajib maupun sunnah.
Di samping memahami peran dan fungsi masjid yang sedemikian penting dan besar bagi umat Islam, kita juga sangat dituntut untuk mengetahui dan merealisir adab terhadap masjid. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Ahmad Yani dan Achmad Satori Ismail (98-101) yaitu:
a. Membangun masjid ikhlas karena Allah
b. Rajin pergi ke masjid
c. Menjaga kebersihan masjid
d. Pergi ke masjid menggunakan pakaian yang baik
e. Masuk ke masjid menjaga kebersihan bau-bau yang tidak sedap
f. Berdoa ketika berangkat ke masjid
g. Berdoa ketika masuk masjid
h. Melaksanakan shalat tahyul masjid
Hukum menyanyi dan memainkan alat musik di masjid
Terjadi khilafiah diantara para ulama', tentang hukum bernyanyi dan memainkan alat musik di masjid. Ada ulama' yang mengharamkannya dan ada ulama' yang membolehkannya.
Dalil Ulama' yang berpendapat mengharamkan bernyanyi dan memainkan musik di masjid, diantaranya:
Allah Ta’ala berfirman ;
“Bertasbih kepada Alloh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” (Q.S. An-Nur : 36)
Nabi saw melarang akan hal itu :
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,bahwa Nabi saw, telah melarang dari mendendangkan nyanyian di dalam masjid (HR.An-Nasa’i, Tirmidzy dan Ibn Majah). Menurut Al-Bani hadits ini Hasan.
Diantara ulama' yang berpendapat di atas adalah:
Imam As Suyuthi Rahimahullah menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan yang tidak boleh ada di dalam masjid: “Di antaranya adalah menari,menyanyi di dalam masjid, memukulduf (rebana) atau rebab (sejenis alatmusik), atau selain itu dari jenis alat- alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya.Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bilIttiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal.
30. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sementara dalil Ulama' yang membolehkan bernyanyi dan memainkan musik di masjid, diantaranya:
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis:
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“ Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaituRasulullah Saw) ” [ HR. Muslim, juz II, hal. 485]
Amir bin Sa’ad Al Bajali, ia berkata:
“ Aku datang ke sebuah acara pernikahan bersama Qurazah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud AlAnshari. Di sana para budak wanita bernyanyi. Aku pun berkata, ‘Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga ahlul badr, engkau membiarkan ini semua terjadi di hadapan kalian?’. Mereka berkata:
‘Duduklah jika engkau mau dan dengarlah nyanyian bersama kami, kalau engkau tidak mau maka pergilah,sesungguhnya kita diberi rukhshah untuk mendengarkan al lahwu dalam pesta pernikahan’ ” (HR. Ibnu Maajah 3383, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah).
Juga Rasulullah SAW bersabda:
"Ramaikanlah pernikahan, jadikan pernikahan di masjid dan tabuhkanlah dengan rebana" (HR Turmudzi, ia menilainya dlaif dan ulama yang lain juga mendlaifkannya). Namun ahli hadis al-Hafidz as-Sakhawi berkata bahwa hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Mani' dan lainnya. Dengan demikian hadis ini berstatus hasan karena diperkuat (mutaba'ah) oleh riwayat lain”. (Al-Maqashid al-Hasanah 125)
Dari hadis ini ahli fikih Syafiiyah, Ibnu Hajar al-Haitami berkata:
“Hadis ini mengisyaratkan dibolehkannya menabuh rebana di masjid. Hal tersebut disampaikan oleh ulama Salaf seperti Abu Zur’ah, Ibnu Abdi Salam, Ibnu Daqiq al-Id, Asy-Syairazi dan sebagainya” (Fatawa al-Fiqhiyah al- Kubra 10/298)
JADI, Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya
kontradiksi ( ta’arudh ) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global ( ijmal ) sedang lainnya adalah penjelasan ( tafsir).
Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu ( Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi ( jama’ ) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya.
Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang
memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan
salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima“ Mengamalkan dua
dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah
satunya. ” ( Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh , hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “ Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan
untuk ditanggalkan. ” ( Syaikh Taqiyuddin an- Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , juz 1, hal.
239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian, Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian ( takhsis ), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya, pernikahan, kegembiraan. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) ( Dr. Abdurrahman al-Baghdadi , Seni Dalam Pandangan Islam , hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki , Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas , hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan.
Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang
disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il),atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr,zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran,mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya ( Dr. Abdurrahman al-Baghdadi , Seni Dalam Pandangan Islam , hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki , Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas , hal. 103).
Jadi, melantunkan lagu-lagu ISLAMI anak-anak TPQ dan TPA yang dilakukan di masjid , yakni TPQ dilaksanakan diluar waktu sholat berjamaah di masjid HUKUMNYA BOLEH.
Hukum bertepuk tangan anak TPQ di masjid Berkaitan hukum tepuk tangan, Telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang hukum bertepuk tangan ( At-Tashfiiq atau At- Tashfiih ). Ada yang mengharamkan, ada yang memakruhkan, dan ada yang membolehkannya.
Dalil yang mengharamkannya
Allah Taala berfirman:
Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. (QS.Al Anfal: 35) Ada riwayat yang menyatakan bahwa Kaum Quraisy mengganggu Nabi SAW yang sedang tawaf dengan bertepuk tangan dan bersiul, maka turunlah ayat ini sebagai ancaman. Ibnu Abbas berkata: “Dahulu orang-orang Quraisy bertawaf di sekeliling Ka’bah dalam keadaan telanjang sambil brsiul dan bertepuk tangan”. Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab, Abu Salamah bin Abdurrahman, ad-dhahhak, Qatadah, ‘Athiyyah, al-
Aufi, Hajar bin Anbas dan Ibnu Abza’. (lihat tafsir Ibnu Katsir).
Imam Ash Shan’ani mengatakan:
Ada pun menari dan bertepuk tangan, itu adalah perbuatan ahli kefasikan. ( Subulus Salam , 2/192)
Dalil yang memberi keringanannya Dalam hadits disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR. Bukhari No. 652, Muslim No. 421, Abu Daud No. 940, Ibnu Hibban No. 2260, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3147, 5089, Ibnu Khuzaimah No. 1623, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 390)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :
“Dibolehkan bagi laki-laki bertasbih dan bertepuk tangan bagi wanita, jika ada hal yang membuatnya tidak nyaman sepertimengingatkan imam ketika berbuat kesalahan, memberi izin kepada orang yang akan masuk, atau memandu orang buta atau yang semisalnya.” ( Fiqhus Sunnah,1/264)
Syaikh Abdullah Al-Faqih Hafizhahullah Beliau berkata secara umum, bertepuk tangan ada dua keadaan:
Pertama . Terjadi di dalam shalat bagi untuk yang keliru, ini terlarang bagi laki-laki namun sunah bagi wanita. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.”
Kedua . Bertepuk tangan di luar shalat, ini ada dua jenis:
1. Jika memiliki hajat (keperluan), seperti minta izin, memberi peringatan, permainan ibu-ibu kepada anaknya, atau memperbagus nasyid, atau semisalnya, maka ini diperbolehkan. Disebutkan dalam Hasyiah Al-Jumal (1/432): “Tidak diharamkan jika tidak bermaksud untuk permainan ……, sesungguhnya hal itu diperlukan untuk memperbagus nasyid dan semisalnya, seperti yang dilakukan kaum wanita ketika bermain dengan anak- anak mereka.” Selesai.
2. Jika tidak ada keperluan, maka ini terlarang. Di antara ulama ada yang mengharamkannya dan ada pula yang memakruhkannya. Dalil mereka adalah firman Allah Taala tentang kaum musyrikin: Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.
Berkata para ahli tafsir: At-Tashdiyah artinya At-Tashfiiq (bertepuk tangan). Atas dasar ini, maka apa-apa yang ditanyakan itu tidaklah mengapa selama tidak mengandung perkara yang memang dilarang oleh syariah. ( Fatawa Syabakah Islamiyah, 9/3584).
Dengan mengkompromikan kedua dalil tersebut, Jadi, anak TPQ bertepuk tangan dalam upaya penanaman materi keislaman, seperti tepuk tangan islam, rukun islam, penyemangat keislaman, dll dan tidak mengganggu pelaksanaan jama'ah sholat HUKUMNYA BOLEH.
Terkait larangan kegaduhan dalam masjid itu saat sholat. Sementara di luar sholat tidak apa-apa, selama tidak ada melanggar syari'ah dan merendahkan kehormatan masjid. Hal ini, karena masjid zaman nabi juga digunakan latihan pedang dan pengi'lanan pernikahan dengan tabuh rabana.
Demikian, jawaban kami. Wa Allahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Fathur Rahman Alfaruq (Pengasuh Majelis Tsaqafah Islamiyah Brondong Lamongan)
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "HUKUM SANTRI TPQ MENYANYI DAN TEPUK TANGAN DI MASJID?"
Post a Comment