Kontrak Karya dirubah, Swasta Pertambangan Semakin Bebas Menjarah
Dakwah Media - Awal tahun 2017 ini liberalisasi di sektor pertambangan semakin menjadi-jadi dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. PP Nomor 1 tahun 2017 ini akan mengatur beberapa hal antara lain yaitu tentang Ketentuan tentang divestasi saham yang mencapai 51% yang akan dilakukan secara bertahap dan perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usah pertambangan khusus (IUPK), paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha.
Menteri ESDM, Ignasius Jonan, menegaskan bahwa pemerintah tidak memaksakan perusahaan KK menjadi IUPK asalkan perusahaan-perusahaan KK tidak mengalami masalah dalam melakukan pengolahan dan pemurnian seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yang menyatakan, perusahaan KK dalam 5 tahun setelah Undang-Undang itu diterbitkan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian. “Jika tidak siap, pindah ke IUPK”, ujar Jonan.
PP Nomor 1 Tahun 2017 sebenarnya bisa dikatakan sebagai upaya pemerintah memberikan jaminan bagi perusahaan swasta pertambangan mineral untuk terus melanjutkan usahanya ditengah-tengah desakan tuntutan UU No 4 tahun 2009 tentang kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri. Bahkan menurut Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan bahwa PP Nomor 1 Tahun 2017, hanya mengakomodir PT Freeport Indonesia. Ahmad Redi, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil menilai, aturan baru yang digagas oleh pemerintah tersebut, hanyalah upaya untuk memberikan perpanjangan kontrak kepada Freeport melalui syarat perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK). Hal itu bisa saja benar mengingat kontrak Freeport yang seharusnya habis pada tahun 2021 mendatang, dapat diperpanjang dengan adanya perubahan status menjadi IUP atau IUPK sehingga Freeport setidaknya dapat memperpanjang kontrak hingga 10 tahun tanpa harus terbebani membangun smelter (pemurnian mineral).
Hal ini menunjukkan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan aturan yang telah dibuat, mengingat Freeport merupakan salah satu perusahaan tambang yang tidak memperlihatkan kesungguhan dan keseriusan dalam pembangunan smelter. Artinya Freeport sebenarnya telah melanggar UU No 4 Tahun 2009 yang mengharuskan pembangunan smelter bagi setiap perusahaan pertambangan mineral setelah 5 tahun undang-undang tersebut diberlakukam. Maka seharusnya Freeport tidak diberikan kelonggaran apalagi diberikan kesempatan perpanjangan kontrak.
Bisa jadi kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah kepada Freeport dan perusahaan tambang mineral lainnya dikarenakan desakan defisit APBN 2017 yang begitu besar. Dimana kita ketahui Profil APBN 2017 menunjukkan bahwa hampir 85% pendapatan negara berasal dari pajak. Sedang sisanya diperoleh dari penerimaan negara non pajak seperti keuntungan dari penjualan bahan bahan baku termasuk didalamnya batubara, bahan tambang dan hutan. APBN 2017 dibuat dengan asumsi. anggaran pendapatan direncanakan Rp 1.750 triliun. Belanja negara ditargetkan Rp 2.080 triliun. Dengan demikian, defisit mencapai Rp 330 triliun. Berbagai strategi dilakukan oleh pemerintah salah satunya dengan memperbanyak jumlah wajib pajak selain memperkaya jenis-jenis pungutan kepada rakyat dan perusahaan baik dalam bentuk pajak maupun retribusi.
Melemahnya peran negara dalam mencari sumber pendapatan dari selain pajak terlihat dari terus turunnya porsi penerimaan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) baik dari sumberdaya alam dan laba BUMN. PNBP sendiri hanya 14 persen dari total penerimaan 2017. Itu pun porsinya terus menyusut sejalan dengan makin rendahnya kontrol Pemerintah pada sumber-sumber penerimaan tersebut selain harga sumberdaya alam yang sedang turun. Apalagi harga komoditas seperti minyak bumi dan batubara dalam beberapa tahun terakhir merosot tajam. Tahun ini penerimaan dari sumberdaya alam hanya dianggarkan Rp 80 triliun, lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai Rp 90 triliun.
Jika hanya mengandalkan setoran pajak dari perusahaan-perusahaan swasta, maka setoran dari Freeport seperti pada tahun 2011 sangatlah kecil. Setoran yang terdiri atas pajak penghasilan badan sebesar US$ 1,6 miliar, pajak penghasilan karyawan, pajak daerah serta pajak-pajak lainnya sebesar US$ 397 juta, royalti US$ 188 juta, dan dividen bagian pemerintah US$202 juta maka total yang disetorkan sekitar US$2,4 miliar atau setara dengan Rp 22,8 triliun,kurs Rp. 9.500. Sedang pada tahun 2012, PT Freeport Indonesia hanya mampu memenuhi kewajiban pembayaran kepada pemerintah Indonesia senilai total US$955,6 juta (Rp9,08 triliun; kurs Rp 9.500) turun daripada tahun sebelumnya. "Nilai pembayaran pajak, royalti, dan dividen berfluktuasi sesuai dengan perubahan harga komoditas, tingkat penjualan dan produksi," kata Head of Corporate Communications Freeport Indonesia, Daisy Primayanti, Selasa 5 Februari 2013. Khusus untuk royalty yang dibayar Freeport, kecilnya royalty yang diterima merupakan persoalan yang sangat merugikan bagi pemerintah Indonesia. Untuk tembaga, royalty sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual. Artinya bahwa emas, perak dan tembaga yang terkandung di bumi Papua yang sejatinya merupakan milik rakyat Indonesia, 90% dimiliki oleh PT. Freeport milik negara penjajah Amerika. Begitu mengenaskan. Sudah seharusnya kekayaan alam dan bahan tambang dikelola dengan sistem Islam dengan dikembalikan kepada rakyat Indonesia untuk dikelola oleh pemerintah dengan keuntungan sebesar-besarnya digunakan bagi kesejahteraan rakyat. Itulah solusi total bagi permasalahan defisit anggaran yang selama ini selalu menjadi permasalahan besar bagi siapa saja yang memerintah Negara Indonesia.
Ini menunjukkan…
Kelemahan perundang-undangan keuangan, tata kelola sektor ekonomi juga SDA yang buruk, membuat kongkalikong penguasa busuk dan pengusaha serakah dapat dengan mudah dan legal menjarah uang rakyat dan kekayaan alam bangsa. Ideologi Kapitalisme juga membuat penguasa, parpol dan politisi dapat dibeli oleh korporasi.
Tambang emas dan SDA yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta apalagi asing. Abyadh bin Hammal menceritakan bahwa ia pernah menghadap kepada Nabi saw dan minta diberi tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun saat ia akan pergi, ada seseorang yang berada di majelis berkata kepada Rasul : “Tahukah Anda apa yang Anda berikan padanya, sungguh Anda memberinya sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Maka beliau pun menariknya kembali darinya (HR. Baihaqy dan Tirmidzy).
Rasul saw juga bersabda:
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi SDA termasuk kebijakan zalim dan khianat serupa harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, migas dan SDA lainnya harus dikelola sesuai dengan syariah. Saat itulah SDA dan migas akan menjadi berkah yang menyejahterakan seluruh rakyat.
Oleh : Lukman Noerochim, PhD (Dosen Teknik Material ITS)
Menteri ESDM, Ignasius Jonan, menegaskan bahwa pemerintah tidak memaksakan perusahaan KK menjadi IUPK asalkan perusahaan-perusahaan KK tidak mengalami masalah dalam melakukan pengolahan dan pemurnian seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yang menyatakan, perusahaan KK dalam 5 tahun setelah Undang-Undang itu diterbitkan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian. “Jika tidak siap, pindah ke IUPK”, ujar Jonan.
PP Nomor 1 Tahun 2017 sebenarnya bisa dikatakan sebagai upaya pemerintah memberikan jaminan bagi perusahaan swasta pertambangan mineral untuk terus melanjutkan usahanya ditengah-tengah desakan tuntutan UU No 4 tahun 2009 tentang kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri. Bahkan menurut Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan bahwa PP Nomor 1 Tahun 2017, hanya mengakomodir PT Freeport Indonesia. Ahmad Redi, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil menilai, aturan baru yang digagas oleh pemerintah tersebut, hanyalah upaya untuk memberikan perpanjangan kontrak kepada Freeport melalui syarat perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK). Hal itu bisa saja benar mengingat kontrak Freeport yang seharusnya habis pada tahun 2021 mendatang, dapat diperpanjang dengan adanya perubahan status menjadi IUP atau IUPK sehingga Freeport setidaknya dapat memperpanjang kontrak hingga 10 tahun tanpa harus terbebani membangun smelter (pemurnian mineral).
Hal ini menunjukkan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan aturan yang telah dibuat, mengingat Freeport merupakan salah satu perusahaan tambang yang tidak memperlihatkan kesungguhan dan keseriusan dalam pembangunan smelter. Artinya Freeport sebenarnya telah melanggar UU No 4 Tahun 2009 yang mengharuskan pembangunan smelter bagi setiap perusahaan pertambangan mineral setelah 5 tahun undang-undang tersebut diberlakukam. Maka seharusnya Freeport tidak diberikan kelonggaran apalagi diberikan kesempatan perpanjangan kontrak.
Bisa jadi kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah kepada Freeport dan perusahaan tambang mineral lainnya dikarenakan desakan defisit APBN 2017 yang begitu besar. Dimana kita ketahui Profil APBN 2017 menunjukkan bahwa hampir 85% pendapatan negara berasal dari pajak. Sedang sisanya diperoleh dari penerimaan negara non pajak seperti keuntungan dari penjualan bahan bahan baku termasuk didalamnya batubara, bahan tambang dan hutan. APBN 2017 dibuat dengan asumsi. anggaran pendapatan direncanakan Rp 1.750 triliun. Belanja negara ditargetkan Rp 2.080 triliun. Dengan demikian, defisit mencapai Rp 330 triliun. Berbagai strategi dilakukan oleh pemerintah salah satunya dengan memperbanyak jumlah wajib pajak selain memperkaya jenis-jenis pungutan kepada rakyat dan perusahaan baik dalam bentuk pajak maupun retribusi.
Melemahnya peran negara dalam mencari sumber pendapatan dari selain pajak terlihat dari terus turunnya porsi penerimaan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) baik dari sumberdaya alam dan laba BUMN. PNBP sendiri hanya 14 persen dari total penerimaan 2017. Itu pun porsinya terus menyusut sejalan dengan makin rendahnya kontrol Pemerintah pada sumber-sumber penerimaan tersebut selain harga sumberdaya alam yang sedang turun. Apalagi harga komoditas seperti minyak bumi dan batubara dalam beberapa tahun terakhir merosot tajam. Tahun ini penerimaan dari sumberdaya alam hanya dianggarkan Rp 80 triliun, lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai Rp 90 triliun.
Jika hanya mengandalkan setoran pajak dari perusahaan-perusahaan swasta, maka setoran dari Freeport seperti pada tahun 2011 sangatlah kecil. Setoran yang terdiri atas pajak penghasilan badan sebesar US$ 1,6 miliar, pajak penghasilan karyawan, pajak daerah serta pajak-pajak lainnya sebesar US$ 397 juta, royalti US$ 188 juta, dan dividen bagian pemerintah US$202 juta maka total yang disetorkan sekitar US$2,4 miliar atau setara dengan Rp 22,8 triliun,kurs Rp. 9.500. Sedang pada tahun 2012, PT Freeport Indonesia hanya mampu memenuhi kewajiban pembayaran kepada pemerintah Indonesia senilai total US$955,6 juta (Rp9,08 triliun; kurs Rp 9.500) turun daripada tahun sebelumnya. "Nilai pembayaran pajak, royalti, dan dividen berfluktuasi sesuai dengan perubahan harga komoditas, tingkat penjualan dan produksi," kata Head of Corporate Communications Freeport Indonesia, Daisy Primayanti, Selasa 5 Februari 2013. Khusus untuk royalty yang dibayar Freeport, kecilnya royalty yang diterima merupakan persoalan yang sangat merugikan bagi pemerintah Indonesia. Untuk tembaga, royalty sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual. Artinya bahwa emas, perak dan tembaga yang terkandung di bumi Papua yang sejatinya merupakan milik rakyat Indonesia, 90% dimiliki oleh PT. Freeport milik negara penjajah Amerika. Begitu mengenaskan. Sudah seharusnya kekayaan alam dan bahan tambang dikelola dengan sistem Islam dengan dikembalikan kepada rakyat Indonesia untuk dikelola oleh pemerintah dengan keuntungan sebesar-besarnya digunakan bagi kesejahteraan rakyat. Itulah solusi total bagi permasalahan defisit anggaran yang selama ini selalu menjadi permasalahan besar bagi siapa saja yang memerintah Negara Indonesia.
Ini menunjukkan…
Kelemahan perundang-undangan keuangan, tata kelola sektor ekonomi juga SDA yang buruk, membuat kongkalikong penguasa busuk dan pengusaha serakah dapat dengan mudah dan legal menjarah uang rakyat dan kekayaan alam bangsa. Ideologi Kapitalisme juga membuat penguasa, parpol dan politisi dapat dibeli oleh korporasi.
Tambang emas dan SDA yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta apalagi asing. Abyadh bin Hammal menceritakan bahwa ia pernah menghadap kepada Nabi saw dan minta diberi tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun saat ia akan pergi, ada seseorang yang berada di majelis berkata kepada Rasul : “Tahukah Anda apa yang Anda berikan padanya, sungguh Anda memberinya sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Maka beliau pun menariknya kembali darinya (HR. Baihaqy dan Tirmidzy).
Rasul saw juga bersabda:
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi SDA termasuk kebijakan zalim dan khianat serupa harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, migas dan SDA lainnya harus dikelola sesuai dengan syariah. Saat itulah SDA dan migas akan menjadi berkah yang menyejahterakan seluruh rakyat.
Oleh : Lukman Noerochim, PhD (Dosen Teknik Material ITS)
0 Response to "Kontrak Karya dirubah, Swasta Pertambangan Semakin Bebas Menjarah"
Post a Comment