AS, Arab Saudi, Iran, Turki dan Rusia Bersekutu di Suriah!
Dakwah Media - Rusia, Iran, dan Turki membangun aliansi baru untuk mengakhiri perang di Suriah yang sudah berlangsung hampir enam tahun lamanya. Menteri luar negeri dan menteri pertahanan dari ketiga negara 20 Desember 2016, bertemu dan menghasilkan kesepakatan yang disebut sebagai Deklarasi Moskow. Deklarasi ini digagas Rusia untuk mendapat persetujuan dari Iran dan Turki. Deklarasi Moskow berisikan kerangka kerja untuk mengakhiri konflik di Suriah.
Seperti dikutip kantor berita Xinhua Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Raja Arab Saudi Salman bin Abd Al-Aziz As-Saud pada Minggu (29/1) sepakat untuk mendukung pembentukan zona aman di Suriah dan Yaman. Dalam perbincangan telepon antara Trump dan Raja Salman, kedua pemimpin itu juga sepakat untuk mendukung gagasan lain guna membantu pengungsi yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik yang berkecamuk, demikian pernyataan Gedung Putih, Washington DC. Kedua pemimpin tersebut juga sepakat untuk bekerja sama dalam menangani tantangan terhadap keamanan dan perdamaian regional, termasuk konflik di Suriah dan Yaman.
Di saat yang sama Ankara menunjukkan dukungannya terhadap kehadiran Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam kesepakatan soal Suriah. "Kami harus pragmatis, realistis. Fakta-fakta di lapangan telah berubah secara dramatis," kata Wakil Perdana Menteri Turki Mehmet Simsek pada Forum Ekonomi Dunia di Davos. "Turki tidak bisa lagi bersikeras penyelesaian Suriah tanpa Assad. Hal ini tidak realistis," imbuhnya seperti dikutip dari Daily Mail, Sabtu (21/1/2017).
Catatan :
Suriah berada di jantung Timur Tengah dengan perbatasan di Mediterania dan perbatasan dengan negara-negara kunci di kawasan itu. Suriah menghasilkan sejumlah besar minyak dan gas namun lokasi negara itu sangat strategis dalam hal transit energi. AS memastikan mengontrol krisis Suriah dan aliran senjata ke negara itu, sehingga mampu secara efektif mengontrol hasil pergolakan.
Perang telah berlangsung hampir enam tahun sejak rakyat Suriah bangkit melawan rezim Bashar al-Assad. Rezim awalnya menggunakan dinas rahasia yang terkenal kejam untuk membungkam kritik, protes dan perlawanan, namun rezim kemudian beralih menggunakan militernya ketika perlawanan menyebar ke seluruh negeri. Pihak militer telah menggunakan seluruh kekuatan militernya untuk melawan baik penduduk sipil maupun pasukan oposisi dengan harapan bisa menghentikan pemberontakan.
Amerika menyukai Bashar al Assad di Suriah tetap berdiri, berusaha keras untuk menciptakan histeria yang membuat mujahidin Suriah adalah ancaman bagi stabilitas. Setiap pembunuhan, insiden, kecelakaan dan pembantaian dianggap kesalahan mujahidin Suriah, bahkan sebelum faktanya dapat diverifikasi. Apapun keputusan AS kepada Arab Saudi, Turki, Iran dan juga Rusia bukanlah tentang penyingkiran rezim al-Assad. Padahal penguasa Arab Saudi, Turki dan Mesir memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk menyingkirkan rezim al-Assad. Namun, mereka tetap hanya menjadi penonton, dan menolak menggunakan tentara mereka untuk menyelamatkan rakyat Suriah dari kebengisan rezim al-Assad. Kemauan politik yang minus, menyiba tabir siapa sejatinya para penguasa negeri-negeri muslim tersebut.
Dalam konteks kekayaan dan militer, ketidakmampuan rezim Saudi untuk memberikan perlindungan apapun terhadap umat Islam genosida umat Islam ini tampaknya tidak lebih dari tindakan kriminal. Pembantaian di Suriah, dalam satu pukulan saja, Arab Saudi bisa mengakhiri seluruh episode itu melalui kekuatan senjatanya saja, bahkan ancaman aksi dari kekuatan militer kemungkinan akan sudah cukup. Peralatan militer, teknologi dan kemajuan tidaklah berguna jika tidak cocok dengan ambisi untuk melindungi Islam dan umatnya, kurangnya ambisi dan kemauan politik, serta keterikatan pada tujuan politik Barat yang tidak lain adalah suatu hubungan antara tuan-budak.
AS yang didukung oleh antek, mitra dan temannya serta medianya mengambil setiap kesempatan untuk membersihkan konsep Islam ‘Khilafah’ dan merusaknya dalam pikiran umat Islam dan non-Muslim. Pertempuran fisik dan ideologis di wilayah tersebut dan dikembangkan di seluruh dunia menjadi semakin meninggi sehingga ada alas an untuk menyebarluaskan virus Islamophobia Trump.
Pertempuran ideologis terhadap Muslim, mencari perubahan yang nyata di wilayah tersebut dan merupakan kelanjutan dari upaya AS untuk mempertahankan penjajahannya di wilayah itu dan membenarkan kehadiran jangka panjang mereka. Kesepakatan Trump dan Saudi dalam konteks Suriah, yang tampak adalah untuk koordinasi terkait dengan aktivitas memperkuat dan mendukung Bashar al Assad.
Berseberangan secara frontal, kaum muslim Suriah dan kelompok-kelompok pejuang utama telah menyatakan mereka tidak ingin bernegosiasi dengan rezim sama sekali dan bahwa kelompok-kelompok dimana pihak barat sedang bernegosiasi dengannya bukanlah mewakili rakyat Suriah karena mereka berada di pengasingan selama beberapa dekade. Mereka semua jelas menyatakan Islam akan memainkan perannya yang sentral setelah jatuhnya al-Assad. yang membuat khawatir Barat adalah peran sentral dan berpengaruh dari para pejuang Islam.
Setelah banyaknya rakyat yang jadi korban diktator brutal al-Assad, umat di wilayah ini masih konsisten memilih penerapan Islam. Saat umat menggulingkan para penguasa diktator, tanpa adanya kesatuan -langkah, politik dan konsep bangunan sistem Islam- maka kelompok-kelompok pejuang Islam tersebut harus ingat bahwa mereka dapat dengan mudah terlempar kembali.
Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)
Seperti dikutip kantor berita Xinhua Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Raja Arab Saudi Salman bin Abd Al-Aziz As-Saud pada Minggu (29/1) sepakat untuk mendukung pembentukan zona aman di Suriah dan Yaman. Dalam perbincangan telepon antara Trump dan Raja Salman, kedua pemimpin itu juga sepakat untuk mendukung gagasan lain guna membantu pengungsi yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik yang berkecamuk, demikian pernyataan Gedung Putih, Washington DC. Kedua pemimpin tersebut juga sepakat untuk bekerja sama dalam menangani tantangan terhadap keamanan dan perdamaian regional, termasuk konflik di Suriah dan Yaman.
Di saat yang sama Ankara menunjukkan dukungannya terhadap kehadiran Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam kesepakatan soal Suriah. "Kami harus pragmatis, realistis. Fakta-fakta di lapangan telah berubah secara dramatis," kata Wakil Perdana Menteri Turki Mehmet Simsek pada Forum Ekonomi Dunia di Davos. "Turki tidak bisa lagi bersikeras penyelesaian Suriah tanpa Assad. Hal ini tidak realistis," imbuhnya seperti dikutip dari Daily Mail, Sabtu (21/1/2017).
Catatan :
Suriah berada di jantung Timur Tengah dengan perbatasan di Mediterania dan perbatasan dengan negara-negara kunci di kawasan itu. Suriah menghasilkan sejumlah besar minyak dan gas namun lokasi negara itu sangat strategis dalam hal transit energi. AS memastikan mengontrol krisis Suriah dan aliran senjata ke negara itu, sehingga mampu secara efektif mengontrol hasil pergolakan.
Perang telah berlangsung hampir enam tahun sejak rakyat Suriah bangkit melawan rezim Bashar al-Assad. Rezim awalnya menggunakan dinas rahasia yang terkenal kejam untuk membungkam kritik, protes dan perlawanan, namun rezim kemudian beralih menggunakan militernya ketika perlawanan menyebar ke seluruh negeri. Pihak militer telah menggunakan seluruh kekuatan militernya untuk melawan baik penduduk sipil maupun pasukan oposisi dengan harapan bisa menghentikan pemberontakan.
Amerika menyukai Bashar al Assad di Suriah tetap berdiri, berusaha keras untuk menciptakan histeria yang membuat mujahidin Suriah adalah ancaman bagi stabilitas. Setiap pembunuhan, insiden, kecelakaan dan pembantaian dianggap kesalahan mujahidin Suriah, bahkan sebelum faktanya dapat diverifikasi. Apapun keputusan AS kepada Arab Saudi, Turki, Iran dan juga Rusia bukanlah tentang penyingkiran rezim al-Assad. Padahal penguasa Arab Saudi, Turki dan Mesir memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk menyingkirkan rezim al-Assad. Namun, mereka tetap hanya menjadi penonton, dan menolak menggunakan tentara mereka untuk menyelamatkan rakyat Suriah dari kebengisan rezim al-Assad. Kemauan politik yang minus, menyiba tabir siapa sejatinya para penguasa negeri-negeri muslim tersebut.
Dalam konteks kekayaan dan militer, ketidakmampuan rezim Saudi untuk memberikan perlindungan apapun terhadap umat Islam genosida umat Islam ini tampaknya tidak lebih dari tindakan kriminal. Pembantaian di Suriah, dalam satu pukulan saja, Arab Saudi bisa mengakhiri seluruh episode itu melalui kekuatan senjatanya saja, bahkan ancaman aksi dari kekuatan militer kemungkinan akan sudah cukup. Peralatan militer, teknologi dan kemajuan tidaklah berguna jika tidak cocok dengan ambisi untuk melindungi Islam dan umatnya, kurangnya ambisi dan kemauan politik, serta keterikatan pada tujuan politik Barat yang tidak lain adalah suatu hubungan antara tuan-budak.
AS yang didukung oleh antek, mitra dan temannya serta medianya mengambil setiap kesempatan untuk membersihkan konsep Islam ‘Khilafah’ dan merusaknya dalam pikiran umat Islam dan non-Muslim. Pertempuran fisik dan ideologis di wilayah tersebut dan dikembangkan di seluruh dunia menjadi semakin meninggi sehingga ada alas an untuk menyebarluaskan virus Islamophobia Trump.
Pertempuran ideologis terhadap Muslim, mencari perubahan yang nyata di wilayah tersebut dan merupakan kelanjutan dari upaya AS untuk mempertahankan penjajahannya di wilayah itu dan membenarkan kehadiran jangka panjang mereka. Kesepakatan Trump dan Saudi dalam konteks Suriah, yang tampak adalah untuk koordinasi terkait dengan aktivitas memperkuat dan mendukung Bashar al Assad.
Berseberangan secara frontal, kaum muslim Suriah dan kelompok-kelompok pejuang utama telah menyatakan mereka tidak ingin bernegosiasi dengan rezim sama sekali dan bahwa kelompok-kelompok dimana pihak barat sedang bernegosiasi dengannya bukanlah mewakili rakyat Suriah karena mereka berada di pengasingan selama beberapa dekade. Mereka semua jelas menyatakan Islam akan memainkan perannya yang sentral setelah jatuhnya al-Assad. yang membuat khawatir Barat adalah peran sentral dan berpengaruh dari para pejuang Islam.
Setelah banyaknya rakyat yang jadi korban diktator brutal al-Assad, umat di wilayah ini masih konsisten memilih penerapan Islam. Saat umat menggulingkan para penguasa diktator, tanpa adanya kesatuan -langkah, politik dan konsep bangunan sistem Islam- maka kelompok-kelompok pejuang Islam tersebut harus ingat bahwa mereka dapat dengan mudah terlempar kembali.
Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)
0 Response to "AS, Arab Saudi, Iran, Turki dan Rusia Bersekutu di Suriah!"
Post a Comment