Ulama Wajib Menegakkan Khilafah
Dakwah Media - Kaum Muslim di sepanjang masa Kekhilafahan mereka adalah kaum yang kuat, karena kedekatan mereka dengan Tuhannya. Juga sebagai kaum yang mulia, karena mereka konsisten menjalankan agamanya. Apabila mereka mengatakan sebuah pernyataan, maka gemparlah seluruh dunia; dan apabila mereka melakukan suatu perbuatan, maka kaum kafir pun gemetar ketakutan.
Namun kini, dari waktu ke waktu, kemungkaran dan kemaksiatan di negeri ini tampak semakin marak. Padahal pada saat yang sama, gerakan dakwah telah berjalan puluhan tahun di negeri ini. Bahkan akhir-akhir ini ditambah dengan semakin menjamurnya majelis-majelis taklim, majelis-majelis zikir dll; baik di kampung-kampung kecil maupun di pusat-pusat kota besar. Kegiatan keislaman bahkan sekarang sudah tidak asing diadakan hingga di pusat-pusat perkantoran.
Sebenarnya fenomena tersebarluasnya kemungkaran dan kemaksiatan yang bahkan telah melembaga adalah fenomena masyarakat yang hidup dalam sistem yang tidak islami. Fenomena ini tidak dijumpai dalam masyarakat islami yang menerapkan syariah dalam seluruh aspek kehidupan dalam sistem Khilafah.
Yang membuat tambah rumit, dalam masyarakat yang tidak islami, negara tidak di-set-up untuk menjamin agar tidak ada kemungkaran dan kemaksiatan di masyarakat. Bahkan negara sering justru menjadi institusi yang melembagakan dan melegalkan kemungkaran. Misal, UU Pornografi justru melegalkan pornografi, karena hanya mengatur, bukan memberantasnya. Negara juga seperti melindungi aliran-aliran sesat, melakukan lokalisasi perjudian dan pelacuran, menerapkan sistem muamalah ribawi, dll. Mengapa? Karena memang dalam sistem yang tidak islami seperti saat ini, negara memang tidak di-set-up untuk menerapkan hukum Allah. Karena itulah, al-Muassis Hizbut Tahrir al-Allamah asy-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, yang juga cucu al-Allamah asy-Syaikh al-Imam Yusuf an-Nabhani asy-Syafi’i, menegaskan bahwa menerapkan hukum selain Allah adalah afdza’ al-munkarât (kemungkaran yang paling keji).
dalam masyarakat yang tidak islami seperti sekarang, negara tidak di-set-up untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dan memberantas kemungkaran, izâlah al-munkarât dan amar makruf nahi munkar harus dilakukan oleh kaum Muslim sendiri, terutama para ulama, karena ulama memiliki istithâ’ah jauh lebih besar dibandingkan dengan umat.
Ulama adalah “uyûn al-ummah”; tentu keterlibatan mereka dalam aktivitas kolektif ini akan sangat signifikan pengaruhnya. Namun umat harus berhati-hati dengan ulama su’. Muadz bin Jabal membagi ulama sû’ di dalam tujuh tingkatan neraka. Tingkat pertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati. Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa. Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya). Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah. Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya. Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian. Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja.
Karena semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipudaya ulama sû’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.” Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama sû’.”
Bagi kaum Mukmin, apalagi bagi para ulama, sifat-sifat mulia Rasulullah saw. itu patut diteladani. Ulama adalah pewaris para nabi. Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, berarti telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna (HR Abu Dawud).
Sebagai pewaris nabi, mereka tentu akan menempuh jalan sebagaimana Rasulullah saw.; tak kenal lelah membacakan ayat-ayat-Nya dan menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia. Mereka pantang menyerah meskipun harus menghadapi beragam risiko.
Ulama harus jadi pemersatu umat bukan pemecah belah umat. Terhadap perintah mendirikan imamah/khilafah, urgen bagi ulama untuk mengabarkan kewajiban ini kepada umat. Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (pengaturan urusan umat).
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Kesimpulannya, Ulama memiliki peran penting dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan syariah Islam di Nusantara. Namun keberadaan ulama tidak lepas dari dukungan politik pemerintah sebagai institusi pelaksana hukum Islam. ulama memiliki peran besar dalam penyebaran Islam, pembentukan institusi politik Islam dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam. Ketika sekarang syariah Islam tidak diterapkan, maka ulama memiliki peran besar untuk berjuang menegakkan kembali kehidupan Islam. Sejauh mana kita sudah berjuang untuk menegakkan syariat Islam?
Seorang ulama mutaakhirin, Syaikh Taqyuddin an-Nabhani, dengan puluhan kitabnya yang ia tulis mengimbau, para ulama untuk berjuang menegakkan kembali syariah Islam. Nama An-Nabhani sebenarnya tidak asing. Ia adalah seorang cucu Syaikh Yusuf An-Nabhani, penulis sejumlah kitab, antara lain: Riyâdh al-Jannah fî Adzkâr al-Kitâb wa as-Sunnah; Fath al-Kabîr, Jam’u Karâmah al-Awliyâ’; Jâmi’ ats-Tsana ‘ala Allâh. Lalu apakah ulama sekarang sudah berjuang untuk menegakkan kembali syariah Islam?
Oleh: Mahfud Abdullah (Kediri)
Namun kini, dari waktu ke waktu, kemungkaran dan kemaksiatan di negeri ini tampak semakin marak. Padahal pada saat yang sama, gerakan dakwah telah berjalan puluhan tahun di negeri ini. Bahkan akhir-akhir ini ditambah dengan semakin menjamurnya majelis-majelis taklim, majelis-majelis zikir dll; baik di kampung-kampung kecil maupun di pusat-pusat kota besar. Kegiatan keislaman bahkan sekarang sudah tidak asing diadakan hingga di pusat-pusat perkantoran.
Sebenarnya fenomena tersebarluasnya kemungkaran dan kemaksiatan yang bahkan telah melembaga adalah fenomena masyarakat yang hidup dalam sistem yang tidak islami. Fenomena ini tidak dijumpai dalam masyarakat islami yang menerapkan syariah dalam seluruh aspek kehidupan dalam sistem Khilafah.
Yang membuat tambah rumit, dalam masyarakat yang tidak islami, negara tidak di-set-up untuk menjamin agar tidak ada kemungkaran dan kemaksiatan di masyarakat. Bahkan negara sering justru menjadi institusi yang melembagakan dan melegalkan kemungkaran. Misal, UU Pornografi justru melegalkan pornografi, karena hanya mengatur, bukan memberantasnya. Negara juga seperti melindungi aliran-aliran sesat, melakukan lokalisasi perjudian dan pelacuran, menerapkan sistem muamalah ribawi, dll. Mengapa? Karena memang dalam sistem yang tidak islami seperti saat ini, negara memang tidak di-set-up untuk menerapkan hukum Allah. Karena itulah, al-Muassis Hizbut Tahrir al-Allamah asy-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, yang juga cucu al-Allamah asy-Syaikh al-Imam Yusuf an-Nabhani asy-Syafi’i, menegaskan bahwa menerapkan hukum selain Allah adalah afdza’ al-munkarât (kemungkaran yang paling keji).
dalam masyarakat yang tidak islami seperti sekarang, negara tidak di-set-up untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dan memberantas kemungkaran, izâlah al-munkarât dan amar makruf nahi munkar harus dilakukan oleh kaum Muslim sendiri, terutama para ulama, karena ulama memiliki istithâ’ah jauh lebih besar dibandingkan dengan umat.
Ulama adalah “uyûn al-ummah”; tentu keterlibatan mereka dalam aktivitas kolektif ini akan sangat signifikan pengaruhnya. Namun umat harus berhati-hati dengan ulama su’. Muadz bin Jabal membagi ulama sû’ di dalam tujuh tingkatan neraka. Tingkat pertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati. Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa. Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya). Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah. Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya. Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian. Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja.
Karena semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipudaya ulama sû’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.” Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama sû’.”
Bagi kaum Mukmin, apalagi bagi para ulama, sifat-sifat mulia Rasulullah saw. itu patut diteladani. Ulama adalah pewaris para nabi. Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, berarti telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna (HR Abu Dawud).
Sebagai pewaris nabi, mereka tentu akan menempuh jalan sebagaimana Rasulullah saw.; tak kenal lelah membacakan ayat-ayat-Nya dan menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia. Mereka pantang menyerah meskipun harus menghadapi beragam risiko.
Ulama harus jadi pemersatu umat bukan pemecah belah umat. Terhadap perintah mendirikan imamah/khilafah, urgen bagi ulama untuk mengabarkan kewajiban ini kepada umat. Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (pengaturan urusan umat).
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Kesimpulannya, Ulama memiliki peran penting dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan syariah Islam di Nusantara. Namun keberadaan ulama tidak lepas dari dukungan politik pemerintah sebagai institusi pelaksana hukum Islam. ulama memiliki peran besar dalam penyebaran Islam, pembentukan institusi politik Islam dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam. Ketika sekarang syariah Islam tidak diterapkan, maka ulama memiliki peran besar untuk berjuang menegakkan kembali kehidupan Islam. Sejauh mana kita sudah berjuang untuk menegakkan syariat Islam?
Seorang ulama mutaakhirin, Syaikh Taqyuddin an-Nabhani, dengan puluhan kitabnya yang ia tulis mengimbau, para ulama untuk berjuang menegakkan kembali syariah Islam. Nama An-Nabhani sebenarnya tidak asing. Ia adalah seorang cucu Syaikh Yusuf An-Nabhani, penulis sejumlah kitab, antara lain: Riyâdh al-Jannah fî Adzkâr al-Kitâb wa as-Sunnah; Fath al-Kabîr, Jam’u Karâmah al-Awliyâ’; Jâmi’ ats-Tsana ‘ala Allâh. Lalu apakah ulama sekarang sudah berjuang untuk menegakkan kembali syariah Islam?
Oleh: Mahfud Abdullah (Kediri)
0 Response to "Ulama Wajib Menegakkan Khilafah"
Post a Comment